Teater Populer mementaskan lakon karya sastrawan Belanda, Manuel van Loggem, berjudul Suara-suara Mati di Teater Salihara, Komunitas Salihara, Jakarta, 1-2 Desember.

Suara-suara Mati menghidupkan lagi panggung Teater Populer, kelompok teater yang didirikan mendiang sutradara besar Teguh Karya pada Oktober 1968. Dari lakon karya mendiang Manuel van Loggem, seorang penulis dan kritikus Belanda, Slamet Rahardjo, dan para awak Teater Populer mengajak kita berkaca kepada ilusifnya kekinian hidup kita.

Remasan kertas koran terserak di mana-mana, memenuhi lantai rumah tempat sepasang suami-istri berdiam dan mendendam dalam diam. Hamparan remasan kertas seperti segala sampah pikiran dan sampah hati di isi kepala suami dan istri.

Diiringi suara ketukan keras kayu beradu dan kegelapan, beberapa orang muncul ke panggung Teater Salihara, Jakarta, Jumat (2/12). Suara remasan-remasan kertas beradu lantai mengisi sunyi, orang-orang itu menyapu dan memunguti remasan kertas yang menghampar. Seorang lelaki berpakaian hitam-hitam, dengan tubuh yang berbalut kain putih panjang, muncul dan duduk di sebuah kursi yang persis ada di tengah bibir depan panggung.

Para penyapu itu berhenti, mendengar si lelaki mengujar soal bayang-bayang. ”Bayang-bayang itu cuma bercerita kepada kita tentang kebohongan. Bahkan dengan punggung membelakangi bola lampu, mereka tetap merasa bersalah kepada kenangan tentang rasa salah. Emosi pernah mengisi penuh kamar tawa dan lupa. Lalu pergi di suatu subuh, dengan koper berisi ruang putih, berjendela, tanpa kabel dan pulsa.”

Cahaya menerangi sepasang meja-kursi kecil di balik sebuah tirai besar putih yang tembus pandang, tempat seorang perempuan duduk dan membaca. Ketukan beruntun terdengar keras mencuri perhatian si perempuan. ”Kamu lagi?”

Ketukan keras itu terdengar lagi membuat si perempuan bangkit dari duduk. ”Kamukah itu?” Wajahnya yang kini melongok dari balik tirai terlihat sumringah, penuh harap.

Ketukan keras itu bertalu, bertalu lagi. ”Siapa?” Si perempuan melangkah ke balik tirai, wajahnya yang penuh harap berganti mimik cemas. Ia tahu, tak ada tamu. Ia tahu, cuma ia sendiri yang mendengar ketukan yang kini bertalu memekakkan telinga itu. Di setiap ketukan, ia menjerit, tetapi yang terdengar malah kian mencekam.

Tiga dendam

Si perempuan muda (Artasya Sudirman) adalah istri seorang lelaki renta (Slamet Rahardjo), berdiam di sebuah rumah yang ”dibelah” tiga tirai putih besar. Dua orang yang sama-sama kehilangan karena bayinya mati di rumah yang sama.

Tiga tirai tembus pandang yang ”membelah” rumah itu sepertinya memperlihatkan segala isi rumah, tetapi semua yang terlihat ternyata palsu. Sang istri dan suami menyimpan rahasianya masing-masing terkait si jabang bayi dan kematian si jabang bayi.

Seorang sahabat (Jack Rachadian) yang datang berkunjung adalah bagian dari rahasia sang istri dan sang suami, tetapi juga menjadi pembuka rahasia-rahasia lainnya. Termasuk rahasia di balik kesetiaan si istri yang bersetia merawat suami yang sakit-sakitan sejak buah hatinya meninggal. Sahabat yang juga membuka rahasia di balik tangan kanan cacat si suami berikut rahasia surat-surat palsu yang selalu diterima si istri. Dan juga, rahasia di balik kematian bayi mereka. Semua berawal dari tiga dendam berbeda yang masingmasing dimiliki si suami, sang istri, dan sang sahabat.

Teater Populer mementaskan lakon karya sastrawan Belanda, Manuel van Loggem, berjudul Suara-suara Mati di Teater Salihara, Komunitas Salihara, Jakarta, 1-2 Desember.
Teater Populer mementaskan lakon karya sastrawan Belanda, Manuel van Loggem, berjudul Suara-suara Mati di Teater Salihara, Komunitas Salihara, Jakarta, 1-2 Desember.

Manuel van Loggem, sastrawan peraih ANV-Vesser Neerlandia Prize 1978 dan Edmond Hustinx Prize, itu memang piawai membangun lakon ketegangan psikologis tentang tiga orang yang saling menipu yang lain. Dan Sunarto Timur mampu mengalihbahasakan dialog-dialog kepalsuan itu berikut bagaimana ketika orang itu juga sedang menipu dirinya sendiri dan terus membangun pembenaran untuk segala penyesalan mereka.

Slamet Rahardjo, aktor kawakan yang juga salah satu pendiri Teater Populer, juga piawai menggarap lakon Suara-suara Mati dengan segar. Ia berjudi dengan menaruh tirai putih besar di bibir depan panggung berikut meja-kursi di sana yang awalnya terasa mengganggu. Tirai putih berikut meja-kursi itu bahkan nyaris tak pernah terpakai hingga di bagian paling puncak dari terbongkarnya berlapis-lapis kebohongan di rumah itu.

Slamet meminta koreografer Elly Luthan menggarap koreografi tari yang hadir pas, tanpa merusak nuansa realis dari lakon. Ia bahkan menyorotkan video mapping tangisan seorang bayi ke tiga tirainya, sebuah kejutan yang tak terduga. Namun, Slamet tetap menjadikan Suara-suara Mati bertumpu kepada kekuatan berlakon Slamet, Artasya, dan Jack.

Umum-umum saja

Slamet Rahardjo memilih lakon ini untuk menghidupkan panggung Teater Populer, kelompok teater yang didirikan Teguh Karya bersama alumni Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) Jakarta pada 1968. Dengan produksi yang melibatkan para seniman lintas generasi itu, Slamet melanjutkan tradisi Teater Populer yang disebutnya ”biasa” dan ”umum-umum saja” itu.

”Sejak awal Teguh Karya mendirikan kelompok teater ini, ini sudah memilih kata ’populer’ sebagai nama. Saya awalnya merasa risih karena nama itu terkesan norak. Teguh bilang, populer itu artinya umum, sesuai dengan keinginannya membuat pertunjukan teater untuk publik umum. Napas Teater Populer adalah itu, ’biasa’, yang umum-umum saja, dan saya ingin menghidupkan lagi napas itu lewat pertunjukan ini,” kata Slamet.

Slamet dengan piawainya membingkai lakon Suara-suara Mati dengan kekinian hidup kita yang semakin ilusif dan kabur. ”Ini kisah kepalsuan tiga orang di dalam sebuah rumah, tetapi membawa pernyataan kepada rumah besar kita yang semakin penuh ilusi. Kehidupan kita semakin ilusif. Begitu hebatnya sampai-sampai kita kebingungan sendiri hal-hal apa yang fakta dan mana yang hanya berupa ilusi,” kata Slamet.

ARYO WISANGGENI G


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 04 Desember 2016, di halaman 18 dengan judul “Teater: Ilusi Tiga Dendam”