Para jurnalis bekerja dan bertemu jurnalis lain di Warkop Jurnalis jalan Agus Salim, Medan. Kompas/Aufrida Wismi Warastri

Bagi warga Medan, kedai kopi bukan sekadar tempat untuk menikmati kopi. Bahkan, kedai kopi telah menjelma menjadi ruang pertemuan, ruang persaudaraan, ruang rekreasi, bahkan ruang publik yang membebaskan.

Cobalah duduk sebentar di kedai kopi Apek, di pojokan Jalan Hindu dan Jalan Perdana Medan, pada pagi hari. Anda akan bertemu warga Medan yang beraneka etnis, seperti India, Tionghoa, Toba, Mandailing, Jawa, Arab, Melayu, Karo, atau Nias. Mereka bersua di kedai kopi. Tak terkecuali mantan Sekda Sumatera Utara, Nurdin Lubis (63), Jumat (14/11).

”Saya sudah (sering) duduk di sini sejak 1980 waktu masih bekerja di inspektorat,” kata Nurdin yang siang itu singgah di kedai menunggu waktu shalat Jumat.

A Ing (40), generasi ketiga pemilik kedai, pun langsung menyiapkan secangkir teh susu, segelas teh tawar, dan satu buah roti panggang srikaya, tanpa lebih dulu Nurdin memesannya, saking hafalnya.

Nurdin biasa duduk di pojok kedai, lalu berbicara banyak hal dengan kawan atau warga yang ditemui dalam kedai. Saat dirinya masih menjabat sebagai Sekda, berkas-berkas yang perlu ditandatangani pun dibawa ajudannya ke Kedai Apek.

Meskipun tempatnya sederhana berlantai plester tidak rata dengan meja-meja bundar, yang tidak berubah sejak dibuka tahun 1922, kedai kopi itu menjadi ruang rileks dan ruang pertemuan bagi warga Medan yang multikultur. Hanalore br Simanjuntak, Kepada Badan Penanggulangan Bencana Kota Medan, misalnya, bisa tiba-tiba bertemu Nurdin di kedai itu lalu berbicara banyak hal dan tertawa bersama.

Jika Nurdin bertemu kawannya di Kedai Apek, Daun Ginting (76), warga Perumnas Simalingkar, Medan, suka duduk di Warung Kopi Samping, di Jalan Parung I, Medan, tak jauh dari jembatan layang Jamin Ginting. Ia menjadi pelanggan kedai kopi itu sejak tahun 1960.

Begitu melihat Daud datang, Jenda Malem br Ginting (34) juga generasi ketiga pengelola warung kopi, langsung membuatkan teh susu, minuman kegemaran Daud, tanpa lebih dulu Daud memesan. ”Sudah hafal,” kata Jenda.

Daun bercerita, waktu dirinya masih bertani di Berastagi, sekitar 70 kilometer dari Medan, ia biasa naik bus dari Berastagi ke kedai itu selama 45 menit, ngopi di kedai, lalu pulang lagi ke Berastagi naik bus, kembali bekerja di ladang.

Warga bertemu dan bermain catur di Warung Kopi Samping, Jalan Parung I Medan, pekan lalu. Warung kopi juga menjadi ruang rekreasi warga. Kompas/Aufrida Wismi Warastri
Warga bertemu dan bermain catur di Warung Kopi Samping, Jalan Parung I Medan, pekan lalu. Warung kopi juga menjadi ruang rekreasi warga.
Kompas/Aufrida Wismi Warastri

Daud datang ke kedai kopi itu karena di situlah ruang pertemuan para pedagang sayuran yang membawa hasil buminya ke Medan. ”Banyak yang diperoleh di kedai kopi,” kata Daud, selain informasi juga teman baru. ”Calon gubernur pun sampai pernah kampanye di sini,” kata Daud.

Awalnya Daud datang ke Warkop Geleng yang dikelola almarhum Geleng Ginting, ayah Jenda. Jenda juga ikut mengelola warung itu. Namun, tiga tahun lalu saat Jenda membangun warung kopi di samping Warkop Geleng, Daud pun berpindah duduk ke Warkop Samping karena sudah terbiasa dilayani Jenda. ”Namanya Warkop Samping karena memang di samping Warkop Geleng,” kata Perdana Torong (36), suami Jenda. Sementara Warkop Geleng dikelola bibi-bibi Jenda.

Saat pindah ke Simalingkar, Medan, Daud pun terus menjalani tradisi ke warkop Samping. Ia tetap naik angkot meskipun di rumahnya ada mobil. Ia membaca koran atau bertemu kawan di warung itu. ”Orang sudah tahu kalau mencari saya di sini,” kata Daud.

Doni Sembiring (60), pensiunan PTPN IV, warga Simpang Pos, bahkan bisa datang dua kali sehari ke warkop itu untuk berbagai urusan. ”Pagi datang, sore datang lagi,” kata Doni. Di warung kopi ia bisa tertawa, bebas berbicara politik, juga main catur dan menambah kawan.

”Minumnya sebenarnya tidak seberapa, tetapi gembiranya itu yang dicari. Banyak kawan baru di sini. Kata orang, yang suka berada di warung kopi biasanya lebih panjang umur,” kata Doni.

Lain lagi Warkop Bang Is JL Agus Salim, Medan, yang terkenal dengan nama Warkop Jurnalis. Warung kopi dalam tenda di atas parit, tak jauh dari tempat sampah umum itu menjadi tempat nongkrong dan bekerja para jurnalis dari puluhan media cetak ataupun elektronik di Medan.

Meskipun aroma busuk parit dan sampah sering tercium, para jurnalis tidak pernah terganggu. Laptop-laptop berjejeran di atas meja. Apalagi jaringan internet berbayar dipasang Telkom di warung itu membuat jurnalis betah berjam-jam.

Pemimpin Kota Medan dan Provinsi Sumut, seperti Wali Kota Medan Djulmi Eldin hingga Gubernur Sumut Tengku Erry Nuradi pun perlu hadir di warkop jika ingin bertemu para jurnalis.

Budaya agraris

Antropolog Universitas Negeri Medan Usman Pelly mengatakan, tradisi menjadikan warung kopi di Medan sebagai ruang publik tak lepas dari predikat Medan sebagai kota Paris van Sumatera yang metropolis sejak adab 19. Kafe-kafe di Kota Paris yang populer sejak abad ke-18 diduga turut memengaruhi budaya di Medan. Jan Breman dalam buku ”Menjinakkan Sang Kuli” menulis, sebelum abad ke-19 saat investasi dunia pada perkebunan tembakau meledak di Medan, sering satu meja di Medan dikelilingi tujuh orang tamu yang mewakili beragam bangsa, yaitu Belanda, Rusia, Jerman, Denmark, Inggris, Polandia, berkebangsaan Swiss, dan Norwegia. Para pemilik dan profesional perkebunan dari London Sumatra Company atau Harrison Crossfield dari berbagai penjuru dunia menjadi pelanggan kedai kopi di Medan, termasuk Kedai Kopi Apek.

Menurut Nurdin, warung kopi sebagai ruang pubik juga dipengaruhi tradisi perkampungan di Pantai Barat Sumatera. Di Mandailing, ruang pertemuan itu bernama lopo, di Toba disebut lapo, dan di Melayu kedai. Nurdin menengarai, warung kopi sebagai bagian dari budaya agraris. Sebelum ke ladang atau saat istirahat, petani biasanya singgah di kedai minum kopi. Di kedai kopi itu alih ilmu para tua-tua kepada anak muda dan pertukaran informasi terjadi.

Saat informasi bisa diperoleh dengan menyentuh telepon pintar, pertemuan tatap muka tetap tidak tergantikan. Di kedai kopi warga Medan bertemu, saling sapa, bekerja, juga tertawa.

AUFRIDA WISMI WARASTRI


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 04 Desember 2016, di halaman 08 dengan judul “Mari Bertemu di Kedai Kopi”