Kelompok Papermoon Puppet Theatre menampilkan cerita berjudul

Kunta, lelaki tua, adalah seorang pengumpul koran bekas yang punya kebiasaan unik. Alih-alih menjual koran bekas yang dia kumpulkan untuk mendapat uang, Kunta justru menukarkan koran bekasnya dengan buku cerita anak yang telah ditelantarkan sang pemilik. Kelak, buku-buku itu akan mendatangkan keajaiban di rumahnya.

Suatu hari, seorang bocah laki-laki bernama Pong secara diam-diam mengikuti Kunta hingga ke rumah. Saat Kunta masuk ke rumah dan mulai membaca buku, Pong melihat berbagai makhluk ajaib, mulai dari jenis naga hingga sosok yang menyerupai serangga besar, muncul dan beterbangan dari buku yang dibaca lelaki tua itu. Pong ternganga melihat kejadian itu dan sejak itulah ketertarikannya membaca buku muncul kembali.

Cerita Kunta dan Pong merupakan bagian dari pertunjukan The Old Man’s Book oleh Papermoon Puppet Theatre yang digelar di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Jumat (2/12). Pentas berdurasi sekitar 45 menit itu merupakan salah satu suguhan dalam Pesta Boneka #5 yang digelar 2-4 Desember 2016 di PKKH UGM dan Dusun Kepek, Desa Timbulharjo, Bantul, Yogyakarta.

Pesta Boneka adalah festival teater boneka internasional yang digelar dua tahun sekali sejak 2008. Penyelenggara festival tersebut adalah Papermoon Puppet Theatre, kelompok teater boneka yang berbasis di Yogyakarta. Tahun ini, Pesta Boneka mengambil tema ”Home” atau rumah. ”Kami mengambil tema ’rumah’ karena rumah adalah awal mula segala sesuatu dan rumah merupakan isu besar di dunia saat ini,” kata Maria Tri Sulistyan, Direktur Pesta Boneka #5 sekaligus pendiri Papermoon Puppet Theatre, Maria Tri Sulistyani.

Pesta Boneka #5 awalnya direncanakan diikuti 17 partisipan dari sejumlah negara, yakni Indonesia, Australia, Filipina, Jepang, Thailand, Inggris, Belanda, Perancis, Afganistan, dan Amerika Serikat. Namun, menurut Maria, salah seorang seniman yang diundang dalam festival itu, yakni Ahmad Nasir Formuli dari Afganistan, gagal berangkat karena tak mendapat visa untuk masuk ke Indonesia.

Disiplin lain

Meski jelas-jelas disebut sebagai festival teater boneka, Pesta Boneka sejak awal terlihat berupaya mempertanyakan dan menguji batas-batas teater boneka. Itulah kenapa festival itu tak hanya mengundang seniman yang memang menekuni teater boneka, tetapi juga seniman dari disiplin lain, semisal penari dan perupa.

Dalam Pesta Boneka #5, penari Kana Ote dari Jepang (yang jelas bukan seniman teater boneka) bahkan diberi kehormatan untuk menampilkan pertunjukan sebagai pembuka festival. Pertunjukan hasil kolaborasi dengan Papermoon Puppet Theatre itu menghadirkan dua penari yang berupaya menghidupkan potongan tubuh boneka seperti kepala dan tangan.

Pada akhirnya, pertunjukan tersebut lebih mirip dengan pentas tari, sementara potongan tubuh boneka yang dihadirkan barangkali lebih pantas disebut sebagai properti pendukung. Namun, pada momen-momen tertentu dalam pentas itu, kita juga melihat bahwa boneka-boneka tersebut tampak sungguh hidup sehingga jangan-jangan kedua penari yang memainkannya itu merupakan ”properti pendukung”.

Kelompok Papermoon Puppet Theatre menampilkan cerita berjudul The Old Mans Book dalam acara Pesta Boneka #5 di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri UGM, Yogyakarta, Jumat (2/12) (atas). Kolaborasi antara seniman Kana Ote dari Jepang dan anggota kelompok Papermoon Puppet Theatre ditampilkan dalam acara Pesta Boneka #5 (bawah).  *** Local Caption *** Pesta Boneka #5 - Kolaborasi antara seniman Kana Ote dari Jepang dengan anggota kelompok Papermoon Puppet Theatre ditampilkan dalam acara Pesta Boneka #5 di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri UGM, Yogyakarta, Jumat (2/12). Acara yang digelar setiap dua tahun sekali itu merupakan wadah pertemuan seniman teater boneka dari berbagai negara sekaligus menjadi sarana mengenalkan teater boneka sebagai media alternatif untuk menyampaikan suatu pesan.
Kelompok Papermoon Puppet Theatre menampilkan cerita berjudul The Old Mans Book dalam acara Pesta Boneka #5 di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri UGM, Yogyakarta, Jumat (2/12) (atas). Kolaborasi antara seniman Kana Ote dari Jepang dan anggota kelompok Papermoon Puppet Theatre ditampilkan dalam
acara Pesta Boneka #5 (bawah).

 

Sementara itu, dalam pentas The Old Man’s Book, Papermoon Puppet Theatre yang berkolaborasi dengan seniman Jae Sirikarn Bunjongtad dari Thailand menampilkan teater boneka yang ”taat asas” dengan boneka sebagai penampil utama. Meski ceritanya sederhana, pentas itu berhasil ditampilkan dengan struktur narasi rapi, pesan jelas, dan humor segar. Para ”dalang” dalam pertunjukan itu juga mampu mengeksplorasi kekayaan gerak boneka sekaligus memanfaatkan permainan layar dan cahaya untuk menampilkan siluet boneka yang bercerita.

Pada sejumlah adegan, Papermoon Puppet Theatre memanfaatkan interaksi dengan penonton dan kadang terlihat upaya untuk menguji batas-batas teater boneka. Dengan semua hal itu, The Old Man’s Book bisa ditampilkan secara utuh sebagai cerita tanpa harus ada banyak dialog.

Pertunjukan Imigrazie oleh Khadija von Zinnenburg Carroll dari Inggris menampilkan pentas boneka yang mirip dengan pertunjukan wayang kulit Jawa. Penonton melihat pentas dari balik layar yang menampilkan siluet boneka dua dimensi yang dibuat Khadija bersama sejumlah seniman lain. Meski cara tutur pentas ini terlihat biasa, Imigrazie berhasil mengeksplorasi tema ”Home” dengan menampilkan kisah orang-orang yang harus berurusan dengan kantor imigrasi di Inggris.

Teknologi

Yang juga menonjol dalam Pesta Boneka #5 adalah upaya sejumlah seniman mengeksplorasi teknologi. Pentas The Big Unknown oleh kelompok Frigg dari Belanda, misalnya, memanfaatkan kamera video untuk membangun pertunjukan. Dalam pentas yang berkisah tentang usaha seorang anak laki-laki mencari ayah yang tak dikenalnya itu, Frigg seolah menyajikan dua panggung bagi penonton.

Panggung pertama adalah tempat pertunjukan yang sesungguhnya, tempat tiga anggota Frigg memainkan boneka untuk membangun kisah The Big Unknown. Sementara itu, panggung kedua adalah layar yang menampilkan penggal-penggal adegan yang terjadi di panggung pertama. Frigg memanfaatkan kamera video untuk merekam sebagian adegan pertunjukannya dan hasil rekaman itu ditampilkan secaralangsung di layar yang tersedia di panggung.

Dengan permainan angle kamera dan adegan yang terencana baik, pentas itu berhasil membangun unsur dramatiknya melalui hal-hal yang mungkin dianggap kurang penting dalam teater konvensional, misalnya gerak kaki dan tangan. Walaupun pentas The Big Unknown sempat mengalami kendala teknis karena listrik padam tiba-tiba, pertunjukan yang terinspirasi oleh kisah nyata itu tetap mendapat sambutan antusias dari penonton karena cara tuturnya yang tak terduga.

Pertunjukan The Assembly of Animals oleh Tim Spooner dari Inggris juga mengeksplorasi teknologi, tetapi dengan cara dan pola pikir lain. Tim menampilkan parade boneka dan berbagai obyek lain dengan balutan sains. Tempat pertunjukan itu tak menyerupai panggung, tetapi lebih mirip laboratorium sains berisi obyek bergerak yang terhubung dengan kabel dan pelat logam, selang-selang kecil berisi cairan, dan benda entah apa yang mengepulkan asap dan mengeluarkan bunyi.

Tak ada cerita utuh dalam The Assembly of Animals. Namun, kita akan terkejut dan menikmati bagaimana boneka hewan berkaki empat mampu bergerak saat kabel yang menempel padanya dilekatkan dengan batu baterai, plastik raksasa yang tiba-tiba mengembang, dan meja logam berkaki empat yang ternyata bisa berjalan bagaikan binatang. Dipandang dari sudut mana pun, pertunjukan itu sama sekali tak mirip dengan teater (atau teater boneka) dalam pengertian konvensional.

Namun, justru kehadiran pentas seperti The Assembly of Animals itulah yang membuat Pesta Boneka berwarna dan, seperti yang tersirat dari tema festival itu tahun ini, bisa menjadi rumah yang luas dan mungkin tak berbatas bagi segala jenis teater boneka.

HARIS FIRDAUS


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 04 Desember 2016, di halaman 18 dengan judul “Rumah Luas Teater Boneka”