Perjalanan darat sekitar 2,5 jam dari Birmingham ke London (sekitar 165 kilometer) terasa ringan. Hampir tak ada kemacetan sepanjang perjalanan, kecuali ketika memasuki kota London yang riuh, membuat badan tetap fit. Terlebih, ada gairah untuk menjelajah London untuk pertama kali.
Jumat (18/11)
Lalu lalang pejalan kaki yang bergegas, pesepeda yang beriringan di jalurnya, taksi hitam (black cab) yang sambung menyambung, dan bus tingkat merah menjadi pemandangan utama di sekitar Trafalgar Square yang mulai gelap. Riuh, tetapi nyaris tanpa kebisingan. Tidak terdengar suara klakson kendaraan yang lalu lalang.
Semarak Trafalgar Square seperti memanggil-manggil saat tiba di hotel yang berjarak sekitar 100 meter di sisi selatannya. Setelah menaruh koper di kamar dan membawa payung, kaki seperti diberi sayap untuk bergerak cepat di senja musim gugur yang murung.
Pukul 17.00
Embusan angin di suhu 8 derajat celsius tidak menghambat keinginan menjelajah kota London. Tidak banyaknya waktu menjadi motivasi lain untuk bergegas dan lekas. Daftar tempattempat yang harus didatangi menjadi prioritas.
Pertama, berjalan kaki dari Trafalgar Square ke arah barat menuju Big Ben, ikon London paling kuat. Bersamaan dengan ketergesaan orang di trotoar yang lapang, kaki melangkah di tapak yang basah karena gerimis. Banyak pemandangan menarik, tetapi Big Ben dan jarumnya yang terus bergerak terasa memanggil-manggil.
Tiba di depan Big Ben yang terletak di sisi utara Sungai Thames membuat banyak orang terdiam menatap, demikian juga saya. Pukul 17.40 adalah saat yang ramai di sekitar Big Ben. Meski tingginya hanya 96 meter sebagai ujung utara Palace of Westminster, letaknya di tepi jalan membuat sosoknya dominan.
Lima menit menatap, jam yang panjang jarum pendeknya 2,7 meter dan panjang jarum panjang 4,3 meter ini berbunyi. Lima belas menit kemudian bunyinya lebih lama saat menunjuk pukul enam.
Banyak hal bisa dilakukan di sekitar Big Ben. Salah satunya menatap ke arah Sungai Thames yang bergolak karena limpahan air hujan. Di seberang Big Ben, berputar London Eye yang menyala. Pantulan cahaya di permukaan sungai membuat London Eye seperti tengah becermin.
Dengan tinggi 135 meter dan diameter 120 meter serta dibalut lampu saat gelap, London Eye menjadi magnet pemikat mata berikutnya. Putaran London Eye dan jarum Big Ben seperti seirama dan memberi pesan, hidup harus terus bergerak. Karena itu, kaki lantas melangkah menyusuri Westminster Abbey di sisi barat Big Ben.
Berjalan sekitar 300 meter, tempat pemberkatan pernikahan Pangeran William dan Kate Middleton pada 2011, Westminster Abbey ada di hadapan. Sepi karena malam dan tidak ada kegiatan. Semua pagar terkunci. Hanya lampu-lampu kecil di taman dinyalakan. Suasana hangat muncul di London yang dingin dan berangin karena lampu-lampu taman berwarna keemasan ini.
Setelah puas menikmati kawasan ini, kaki melangkah kembali ke Trafalgar Square. Taksi hitam dan bus tingkat kali ini mencuri perhatian lagi karena stiker Wonderful Indonesia terlihat melekat. Sejak 31 Oktober hingga 30 November 2016, Indonesia menjadi sponsor utama World Travel Market London 2016. Menyarungi beberapa taksi hitam dan bus tingkat merah adalah bagian dari sponsor itu.
Pukul 19.30
Tiba di Trafalgar Square, toko buku Waterstones yang ramai dan hangat jadi tujuan. Sambil mencari referensi dan menunggu teman, rencana dilanjutkan untuk mencari makan malam. Tersebutlah rumah makan Four Season di kawasan China Town di sekitar Piccadilly Circus sebagai tujuan. Bebek peking andalannya disebut-sebut sebagai yang terbaik di dunia. Kami ingin membuktikan.
Menggunakan taksi hitam sekitar 20 menit, kami menuju Piccadilly. Dari pusat keramaian ini, kami berjalan melintasi lalu lalang orang menuju tempat makan. Di depan tempat makan, 12 orang tengah antre. Tempat makan dua lantai ini penuh.
Sekitar 15 menit antre di tengah keramaian orang lalu lalang dan nyanyian sendu pemusik jalanan, kesempatan untuk makan diberikan.
Satu meja dengan empat kursi yang berdempetan dengan meja lain diperuntukkan bagi kami. Saking ramai dan penuhnya, lutut para pengunjung bisa saling bersinggungan. Dingin udara di luar lenyap karena makanan dan terutama ramainya ruangan.
Pukul 21.30
Selesai menikmati bebek peking dan bercengkerama dengan teman-teman lama, kami melanjutkan perjalanan. Jalan-jalan ini terlihat bersemangat sekali menyambut Natal. Untaian lampu yang membentuk sosok malaikat bersayap dibentangkan di antara gedung-gedung tua yang jadi pusat belanja. Di ruas jalan seperti di Oxford Circus, lampu-lampu itu membentuk ribuan bola-bola berbagai ukuran seperti bintang. Langit seperti dekat.
Menyenangkan menikmati malam dengan berjalan kaki di trotoar yang lapang. Karena sambil berjalan, dingin udara tidak terlalu menggigit tulang. Menjelang tengah malam, bersamaan dengan tutupnya pusat-pusat belanja, kami pulang. Sebelum tidur, saya menyiapkan tenaga untuk rencana pagi berikutnya.
Sabtu (19/11)
Pagi di musim gugur adalah pagi yang malas. Meski pukul 07.00, langit masih kelabu. Sabtu pagi di pusat kota London masih sepi. Daun-daun kering yang baru jatuh terbawa angin dan empasan kendaraan yang lewat. Beberapa daun tertempel di aspal karena terlindas ban dan membentuk motif unik di ruas-ruas jalan yang dingin.
Setelah sarapan, hari terakhir di London diawali dengan membeli tiket harian semua moda angkutan umum di stasiun terdekat dari hotel, Charing Cross. Dengan tiket 17.20 pounds (sekitar Rp 300.000), setiap orang bisa naik semua transportasi publik di London selama 24 jam.
Tujuan pertama adalah Portobello Market. Sabtu pagi yang cerah karena matahari yang ramah adalah saat yang tepat menumpang bus tingkat merah yang ikonik ke Portobello. Duduk di kursi paling depan di lantai atas adalah pilihan terbaik untuk menikmati pemandangan Kota London. Matahari yang mulai muncul terlihat bersahabat.
Pukul 09.30
Tiba di Portobello Market bersamaan dengan gairah para penjual barang antik dan makanan membuka dagangan. Pasar yang berdiri di ruas jalan permukiman yang ditutup ini sudah ramai pengunjung. Semakin siang, apalagi cuaca cerah, Portobello semakin ramai dan padat.
Sebelum tengah hari adalah saat terbaik menjelajah Portobello karena badan masih bisa leluasa bergerak tidak terhalang kerumunan dan kepadatan orang di ruas jalan sekitar 500 meter. Berbagai barang antik dijual. Jika mencari oleh-oleh unik, Portobello adalah surganya.
Jika lapar, banyak camilan dan makanan yang baru selesai diolah dijajakan. Musisi jalanan dengan berbagai alat musik di setiap persimpangan menambah suasana perayaan akan hidup. Beberapa pelintas berhenti, menikmati, bergoyang, bahkan ikut bernyanyi menggantikan vokalis yang butuh jeda.
Pukul 13.00
Sehari penuh terasa tidak cukup di Portobello. Namun, rencana harus dilanjutkan. Sebelum meninggalkan Portobello, Notting Hill Bookshop, yang terkenal melalui film Notting Hill (1999) yang dibintangi Hugh Grant dan Julia Roberts, jadi tujuan. Terletak di 142 Portobello Road, pintu birunya menjadi obyek foto banyak pengunjung.
Setelah mengambil gambar, sambil bergegas meninggalkan Portobello, tujuan selanjutnya adalah Abbey Road dengan bus tingkat merah. Di penyeberangan jalan paling terkenal di dunia itu The Beatles yang gondrong dan bercelana cutbray menyeberang jalan untuk sampul album dengan judul Abbey Road (1969).
Di pertigaan jalan ini, puluhan orang dari banyak negara datang khusus menunggu saat tepat menyeberang untuk minta difoto seperti The Beatles. Karena jalan ramai, aktivitas turis ini kerap dikeluhkan pengguna jalan. Namun, umumnya pengendara maklum dan sabar memberi kesempatan.
Pukul 16.00
Bersamaan dengan datangnya gelap, kami menuju stasiun kereta api bawah tanah atau metro menuju Museum Modern Tate di pusat kota London. Kereta bergerak cepat. Ditambah jalan kaki menuju museum yang menggunakan tiang listrik bercat oranye sebagai penunjuk jalan, kami tiba di museum yang ramai.
Tujuan pertama adalah toilet. Bersih, lapang, dan gratis. Setelah lega, kami memilih beberapa lokasi untuk dikunjungi seperti ruang koleksi lukisan Picasso dan Salvador Dali. Meski semua gratis, pengelola museum mendorong pengunjung berdonasi agar museum tetap gratis.
Bagi yang tidak suka mengapresiasi karya seni, museum ini bisa jadi tempat singgah atau istirahat sejenak. Pilihan oleh-oleh berdasarkan karya seniman bisa diperoleh di beberapa art shop. Tempat makan yang nyaman dan hangat bisa jadi pilihan melepas lapar dan penat.
Pukul 17.30
Natal yang mendekat digarap museum untuk menggelar bazar di taman yang menghadap Sungai Thames. Banyak makanan hangat dan enak dijajakan. Makan malam di tempat ini jadi pilihan sambil merancang pulang melintasi Millenium Bridge yang khusus pejalan kaki.
Selama perjalanan, banyak dijumpai orang dari banyak budaya dan negara. Menurut survei, lebih dari 300 bahasa terucap di London karena keragaman ini. Hal itu terbukti. Saat hendak menunggu bus tingkat menuju hotel, terdengar ujaran bahasa Indonesia dengan logat Surabaya yang kental dari seorang anak. Bersama ayah dan ibunya, anak itu tengah menikmati libur di London. Mereka ada di Inggris karena sang ayah tengah kuliah lantaran beasiswa.
Mendengar logat dalam percakapan singkat selama menunggu bus, rindu Tanah Air makin terasa. Setelah tiba di hotel, Bandar Udara Heathrow jadi tujuan. Perjalanan padat sehari menjelajah London menjadi bekal tidur dalam perjalanan panjang menuju Jakarta via Dubai.
Wisnu Nugroho
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 04 Desember 2016, di halaman 29 dengan judul “24 JAM: LONDON”