Ratna Riantiarno saat berbepran sebagai Tarsih (tengah) dalam Opera Kecoa yang dipentaskan Teater Koma di taman Ismail Marzuki, Rabu (9/11). Kompas/Mohammad Hilmi Faiq

Sepanjang 21 November-9 Desember, Festival Teater Jakarta bergulir, menjadi panggung bagi 26 kelompok teater. Tak hanya menjadi perayaan bagi laku berlakon, festival itu juga menjadi perayaan pengetahuan, kehidupan, dan mengenali yang lain atau ”liyan”.

Cinta tak datang dengan rancangan. Baitul Bilal yang dililit utang datang ke rumah Nyonya Martopo demi menagih utang. Tetapi, sang Nyonya Martopo yang kaya tak punya uang tunai untuk membayar seketika. Baitul tahu, jika ia pulang ia bakal dicokok petugas pajak. Maka, ia memilih bertahan di rumah Nyonya Martopo, membunuh waktu sambil memaksa Nyonya Martopo membayar.

Seperti lakon-lakon komedi satir Anton Chekhov lainnya, adu mulut ganjil terjadi berulang kali dalam lakon Orang Kasar saduran WS Rendra yang dipanggungkan Komunitas Ranggon Sastra pada Kamis (1/12) itu. Baitul (WS Restu) jatuh cinta, dan merayu sang Nyonya Martopo (Rere Adida). Nyonya Martopo yang sudah tujuh bulan terkabung bahagia karena dipuja, tetapi terus menyangkal dirinya jatuh hati. Bagaimana mungkin ia jatuh cinta kepada Baitul, tuan tanah pribumi kasar yang jauh dari sopan-santun golongan Eropa.

”Aku benci kepada Tuan. Pergi dari rumahku, atau aku tembak,” ujar Nyonya Martopo, sambil mengacungkan senapannya ke arah Baitul, gara-gara Baitul melamarnya.

Baitul bukannya mundur, tapi malah mendekati sang nyonya. ”Nyonya sungguh mau menembak saya?” Baitul bertanya sambil memegang ujung senapan si nyonya, mengarahkan senapan itu ke jidatnya sendiri. ”Ayo tembak. Ayo! Tembak,” bentak Baitul, ”Nyonya tidak tahu bagaimana bahagia rasanya, bisa mati di depan sepasang mata yang bagus dan berkilau ini. Mati ditembak oleh senapan yang digenggam tangan yang halus dan mungil ini,” kata Baitul, yang matanya tajam menatap mata basah Nyonya Martopo.

Di luar tegang-tegang lucu panggung itu, ada ketegangan dan kelucuan lain. Sepanjang pertunjukan, sutradara Muhammad Adli mengaku takut menonton. ”Saya terlalu tegang, jadi memilih mengatur musik pertunjukan, tanpa melihat ke arah panggung,” ujar Adli mengomentari penyutradaraan pertamanya di luar kampus Universitas Indraprasta PGRI, sekaligus penyutradaraan pertamanya dalam Festival Teater Jakarta (FTJ).

Padahal, akhir November lalu Orang Kasar sudah menyabet gelar Grup Terbaik II Festival Teater Jakarta Timur 2016. Namun, pementasan di final FTJ ’//Trans><Isi//’ 2016 pada Kamis lalu membuat Adli kembali tegang. Setelah lima bulan latihan—dengan sejumlah kejutan seperti mengganti dua pemeran utama sekitar delapan pekan sebelum pentas—Orang Kasar naik panggung Teater Kecil Taman Ismail Marzuki Jakarta.

”Pentas di panggung selalu menjadi ujung yang menegangkan. Seusai pentas, saya menerima banyak masukan dari banyak teman, betapa banyak kekurangan dalam pementasan,” kata Adli.

Mengenal ”liyan”

Sepanjang sejarahnya sejak tahun 1973, FTJ yang digulirkan Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta menjadi kompetisi teater yang mencari dan memanggungkan bakat-bakat muda. Selain Komunitas Ranggon Sastra, ada 15 kelompok teater lain yang telah ”berlaga” dalam penyisihan FTJ di lima wilayah DKI Jakarta, dan sepanjang 21 November-9 Desember ini silih berganti naik panggung final FTJ 2016, bertarung untuk menjadi jawara FTJ 2016.

Namun, bukan hasil akhir kompetisi FTJ yang berharga bagi orang-orang seperti Adli dan ratusan orang muda lain yang berlaku teater. Seperti kata Adli, pentas di panggung itu cuma ujung dari sebuah proses panjang. Untuk mementaskan Orang Kasar, para awak Komunitas Ranggon Sastra melakukan sejumlah riset, termasuk memilih konteks perkebunan Jawa Timur pada masa penjajahan Hindia Belanda sebagai tafsir baru atas lakon Chekhov.

”Proses di balik teater itu yang berharga bagi kami yang belajar berteater. Saya belajar berteater sejak 2009, belajar berdisiplin karena berteater. Tahun 2011, saya harus berlakon menjadi orang depresi yang menjelang gila dalam produksi Sampah Negeri. Saya mencoba menemui beberapa orang jalanan yang dianggap gila, berbincang untuk mengenali kehidupan mereka. Realitas yang sama sekali berbeda dibandingkan rutinitas saya sebagai mahasiswa ketika itu,” ujar Adli.

Pementasan teater bertajuk "Menjaring Malaikat" oleh Jaring Project dalam salah satu bagian dari pementasan Festival Teater Jakarta (FTJ) di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Kompas/Riza Fathoni
Pementasan teater bertajuk “Menjaring Malaikat” oleh Jaring Project dalam salah satu bagian dari pementasan Festival Teater Jakarta (FTJ) di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta.
Kompas/Riza Fathoni

Laku yang terjadi sebelum naik ke panggung itu pula yang membuat Boby Kardi, yang ”berlaga” di FTJ sejak 1999, selalu mendapat energi baru untuk berteater. Senin (28/11) lalu, Boby memerankan seorang buta dalam lakon Bunga Itu Bernama Sari, naik panggung setelah berbulan-bulan berlatih meresapi hidup di dalam kegelapan seorang buta dalam proses berlatih panjang bersama kelompok Mutiara Utara Bintang Lima.

Lakon yang disadur dari terjemahan Buta karya Khalil Gibran itu meraih gelar juara pertama dalam Festival Teater Jakarta Utara 2016. Namun, bukan kemenangan itu yang dirasa Boby berharga.

”Untuk menghayati peran itu, saya berlatih dengan mata yang terus ditutup. Merasakan harus berjalan di tengah kegelapan tanpa melihat apa-apa. Pengalaman yang mungkin tidak akan saya jalani kalau saya tidak berteater. Kini, jika melihat seorang tunanetra, saya melihatnya secara berbeda. Saya menjadi lebih mengenal diri sendiri karena berteater menyuguhkan cermin diri secara mengejutkan, dan itulah laku berteater. Pengalaman itu lebih berharga dari urusan naik panggung, atau urusan kompetisi FTJ,” kata Boby.

Tentu saja, tidak semua orang muda yang berteater menjalani laku seserius Adli atau Boby. Kebanyakan peserta FTJ 2016 adalah kelompok teater mahasiswa, yang berteater karena sukacita, dan sekadar ingin mencari jeda dari rutinitas kuliah mereka. Sutradara kelompok Sanggar Kummis, Komarudin, menyebut tidak semua mahasiswa tertarik menjalani laku ”berdarah-darah” dalam berteater. Juga laku membaca, berdiskusi, dan meneliti, proses-proses di luar panggung yang menopang hasil akhir di panggung. FTJ seperti gerbang yang punya daya pikat untuk lebih melibatkan mereka untuk lebih jauh berlaku teater.

”Jika berproses bersama kelompok teater mahasiswa, saya harus siap menghadapi orang yang selalu berganti, dan orang yang berlatih teater satu-dua kali, lalu berhenti. Dari 30 mahasiswa baru yang belajar berteater, biasanya cuma akan bertahan 6-7 orang. Ada sejumlah kelompok teater yang baru berlatih menjelang dan hanya untuk ikut FTJ. Pada situasi itulah, FTJ berperan terus menghidupi semangat berteater. Itu menghidupi semangat teman-teman muda, yang belum sepenuhnya tergerak menjalani laku teater serius, untuk lebih dalam terlibat dan mengenali teater,” kata Komarudin, seusai membincang biografi penciptaan lakon Pertja yang dipentaskan Sanggar Kummis pada Rabu (30/11).

Jembatan

Orang-orang seperti Adli, Boby, ataupun Komarudin adalah para pewaris dari pencarian para seniman teater yang ditempa FTJ sejak 1973, tetapi teater bukan cuma jembatan untuk seorang pelakon mengenal liyan. Lebih dari semata kompetisi, panggung FTJ juga jembatan bagi para penonton, termasuk publik yang jauh dari laku ”berdarah-darah” berteater untuk mengenal liyan. Pameran arsip seni pertunjukan yang dihadirkan FTJ 2016 di lobi Teater Jakarta bisa menjadi pintu bagi publik untuk menyimak perkembangan teater di Indonesia, khususnya Jakarta.

Pameran arsip itu menyuguhkan sejumlah rekaman audio dan video, hasil wawancara dan diskusi tentang seni pertunjukan dan teater dari berbagai era. Sejumlah dokumen dan kliping kritik seni teater terpilih juga dihadirkan dan menjadi pembanding dari arsip audio dan video itu. Sejumlah lokakarya terkait kerja berteater juga digelar sepanjang FTJ.

Selain itu, hingga 9 Desember mendatang, FTJ 2016 juga masih menyisakan sejumlah sajian menarik, termasuk pentas para kelompok tamu yang tak berkompetisi. Pada Minggu (4/12), Sahibul Hikayat dan Wayang Orang Barata kembali memberikan warna seni tradisi bagi penyelenggaraan FTJ. Sahibul Hikayat bakal mementaskan ”Abdul Kirom Pedagang Kacang” di Teater Luwes Institut Kesenian Jakarta pada pukul 11.00, sedangkan Wayang Orang Barata akan mementaskan lakon ”Punakawan Sungging” di Teater Kecil pada pukul 20.00. Sementara Sandiwara Sunda Miss Tjitjih akan mementaskan lakon ”Si Manis Jembatan Ancol” di Teater Kecil Jakarta pada Kamis (8/12).

Dari medan seni pertunjukan kontemporer, Kelompok mime Sena Didi Mime yang pernah diampu mendiang seniman pantomim dan aktor Didi Petet bakal mementaskan salah satu lakon terbaik mereka, ”Ruang Kelas”, di Teater Kecil pada Selasa (6/12) pukul 20.00. Penutup FTJ, lakon Semegiai Random 02 yang dipentaskan kelompok MuDA asal Jepang di Teater Jakarta pada Jumat (9/12), pun menjanjikan suguhan menarik.

Hasil kompetisi FTJ bakal diumumkan pada Jumat (9/12), dan menjadi ujung dari perhelatan kompetisi FTJ kali ini. Namun, seperti kata para pelakunya, kompetisi cuma bonus dari seluruh cucuran keringat sepanjang proses menyiapkan lakon. Lalu, kembalilah mereka ke dapur kreatifnya masing-masing, menjalani laku berikutnya, untuk dipanggungkan pada FTJ 2017 nanti. Mereka akan kembali menjelajahi pengalaman-pengalaman baru, bukan cuma demi sebuah pementasan, tetapi juga demi berkaca diri dan merayakan kehidupan.

Aryo Wisanggeni G


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 04 Desember 2016, di halaman 24 dengan judul “Laku Berdarah-darah dalam Teater”