Anda boleh tidak percaya bahwa unjuk rasa besar-besaran tanggal 4 November lalu itu gara-gara kecoa. Kemarahan menjadi amunisi yang dapat menghasilkan ledakan tak terduga. Itu bisa terjadi karena hidup tak pernah baik-baik saja….
Tentu banyak faktor penyulut unjuk rasa besar itu. Akan tetapi, yang membuat massa membesar adalah keikutsertaan kaum miskin kota dalam unjuk rasa tersebut.
Sebelum unjuk rasa, terjadi secara masif penggusuran—ada yang menghaluskannya dengan istilah relokasi. Lembaga Bantuan Hukum Jakarta menyebut terdapat 113 kasus penggusuran pada tahun 2015 dengan sasaran, antara lain 8.145 keluarga. Hanya 32 persen yang direlokasi, sisanya telantar. Pada 2016, penggusuran meningkat tiga kali lipatnya.
Lepas dari perspektif benar atau salah, yang jelas keluarga yang digusur, berikut kerabat, teman, dan sahabat kemudian marah dan memosisikan diri sebagai korban. Unjuk rasa itu menjadi saluran kemarahan terhadap pemerintah. Beruntung tidak pecah kerusuhan berkepanjangan sebagaimana ditakutkan banyak orang.
Orang-orang yang digusur itu adalah kaum miskin kota, seperti pemulung, pengojek, preman, dan pekerja seks komersial. Dalam Opera Kecoa, mereka inilah yang dimetaforakan sebagai kecoa. Mereka melata bertahan hidup di tengah kekejaman ibu kota Jakarta.
Opera Kecoa yang dipentaskan Teater Koma di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki (TIM), pada 10-20 November ini menampilkan wajah buram Ibu Kota sebagai orangtua yang tak mampu berbuat adil kepada anak-anaknya. Para penguasa dan pengusaha menendang kaum kecoa ke tubir jurang kematian dengan cara-cara paling halus hingga paling kasar. Para kecoa bertahan dan melawan.
Belasan waria mendatangi kantor Pejabat (diperankan Budi Ros). Mereka memprotes penembakan terhadap para waria yang menyebabkan Julini (Joind Bayuwinanda) terbunuh. Sang penembak adalah orang suruhan Pejabat. Julini adalah primadona dan panutan bagi kelompok waria. Mereka mendesak dibangun patung Julini untuk mengenang tragedi berdarah.
”Bikinkan monumen Julini!”
”Medali penghargaan!”
”Berikan penghargaan!”
”Jadikan Julini nama jalan, Pak!”
Tuntut para waria ini dengan suara kemayu.
Kematian Julini menghiasi berbagai media massa dengan foto-foto provokatif yang dapat membuat rakyat marah. Wartawan terus mengejar sang pejabat begitu juga para politisi, terutama lawan politik sang pejabat.
”Teman-temanku ini menuntut Juli dipatungkan. Tuntutan ini didukung oleh, eh sialan. Dia mencari ikan di air keruh. Dia mendukung, mendompleng popularitas. Dia lawan politik saya,” kata sang Pejabat yang akhirnya menyetujui pembangunan patung Julini.
Cinta kecoa
Apa pun yang dilakukan manusia ujung-ujungnya yang dicari adalah bahagia. Kebahagiaan tidak pernah pandang kelas, entah dia konglomerat kaya raya, pejabat teras, maupun kaum miskin kota, berhak untuk merasakan bahagia. Tatkala impitan hidup begitu menyesakkan dada, para kaum miskin kota saling mengeluh mengungkapkan curahan hatinya. Mereka lantas menemukan kesamaan nasib, berbuah simpati, empati, lalu jatuh hati.
Opera Kecoa memotret dengan cantik kebahagiaan kaum miskin kota ini lewat tokoh Roima (Bayu Dharmawan Saleh), seorang pengangguran yang kemudian menjadi bandit kelas teri di bawah komando Kumis. Roima memadu kasih dengan Julini, seorang waria yang rela menjajakan diri demi memperbaiki kehidupan dan masa depan bersama Roima. Julini mengobral cinta demi cinta.
Bahwa Roima jatuh cinta setengah mati dengan Julini, tidak diragukan lagi. Perasaan senasib sepenanggungan telah menyatukan mereka. Namun, diam-diam, Roima menaruh hati kepada Tuminah, pekerja seks komersial primadona, yang kegadisannya direnggut Kumis. Kegetiran hidup Tuminah menyentuh hati Roima.
Penulis naskah sekaligus sutradara Opera Kecoa N Riantiarno lewat tiga tokoh tadi bukan saja memetakan kepahitan kaum papa. Dia menukik lebih dalam tentang realitas orientasi seksual. Julini yang lebih nyaman dengan cinta sejenis seperti membuat kita semakin melek bahwa itu sudah terbaca sejak lama di negeri ini, pada saat naskah ini ditulis dan dipentaskan pertama kali tahun 1985. Itu jauh sebelum kaum kelas menengah sibuk soal wacana LGBT belakangan ini.
Sebenarnya yang lebih kompleks malah Roima. Dia bukan saja cinta sejenis, tetapi juga lawan jenis. Biseks. Itu membuat Julini cemburu. Bagi Roima, juga Julini dan Tuminah, tidak penting lagi jatuh cinta kepada siapa. Sebab cinta tidak pernah bisa memilih.
Sementara itu, di tengah kehidupan Ibu Kota yang panas, pesing, bacin, dan keruh itu, selalu muncul kelompok yang terus memperkeruh. Sebab mereka bisa bertahan hidup bergantung dari kekeruhan dan kerusuhan yang terus diproduksi. Kumis dan anak buahnya menjadi kelompok yang pekerjaan utamanya menebar teror kepada siapa saja. Dia menjanjikan keamanan semu jika orang-orang bersedia memberi setoran.
Kelompok-kelompok seperti ini selalu saja hidup bukan karena mereka saking kuatnya. Namun, memang ada yang memelihara demi kepentingan modal maupun kekuatan politik. Kelompok ini selalu berusaha menyingkirkan orang-orang yang menghendaki tatanan kehidupan menjadi lebih baik.
Perjalanan lakon
Opera Kecoa merupakan satu dari trilogi Bom Waktu, Opera Kecoa, dan Opera Julini. Semua mementaskan kemunafikan kaum kota. Mereka yang seolah jijik dan menista para kecoa, tetapi diam-diam menikmatinya: mendatangi para PSK ketika pasangan di rumah tak lagi mengundang gairah. Namun, ketika mereka butuh lahan untuk lapangan golf atau apartemen, rumah-rumah kecoa dibumihanguskan.
Opera Kecoa pun mengalami kegetiran. Lakon ini pertama kali dipentaskan pada tahun 1985 di TIM, juga di Bandung. Pada tahun 1990, lakon ini dipentaskan di tempat yang sama sebagai persiapan keliling empat kota di Jepang, tetapi pemerintah mencekalnya. Dua tahun kemudian, Opera Kecoa dipentaskan di Sydney, Australia, oleh Belvoir St Theater.
Pada tahun 2003, setelah Reformasi bergulir, lakon ini kembali dipentaskan di Jakarta dan Bandung. Pementasan ini sebagai bentuk perlawanan ”kecoa” untuk menegaskan, ”Agar jangan ada lagi pelarangan pementasan,” kata Riantiarno.
Dari sisi tema, pesan-pesan Opera Kecoa yang berdurasi sekitar 3 jam ini masih sangat relevan dengan konteks sosial politik saat ini. Suap-menyuap, korupsi, penggusuran, dan sejenisnya. Selama 31 tahun, Jakarta dan Indonesia masih belum berubah. Jangan-jangan ini kutukan, kutukan pada kehidupan yang tak pernah baik-baik saja….
MOHAMMAD HILMI FAIQ
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 November 2016, di halaman 23 dengan judul ”OPERA KECOA Hidup Tak Pernah Baik-baik Saja”