Matahari menyengat di sebagian besar wilayah Desa Liya Togo. Cuaca terik pada Senin (19/9) yang melanda desa di Kecamatan Wangiwangi Selatan, Wakatobi, Sulawesi Tenggara, itu membuat perjalanan mengelilingi desa cukup melelehkan bulir-bulir keringat.
Tubuh terasa seperti didekatkan dengan kobaran api unggun bersuhu relatif konstan. Seluruh tubuh terpapar dan membuat topi atau lilitan kain sebagai pelindung penting bagi wajah dan leher.
Sejumlah jurnalis mengelilingi sebagian wilayah Liya Togo atas undangan Swisscontact, lembaga berbentuk yayasan berorientasi bisnis pada bidang ekonomi, sosial, dan lingkungan. Kunjungan itu merupakan bagian dari perjalanan ke sejumlah lokasi di Wakatobi yang dilangsungkan pada 14-20 September lalu.
Akan tetapi, perjalanan dengan terik matahari yang seperti ”menggigit” permukaan kulit itu berakhir manis atau lebih tepatnya berakhir asam-manis.
Ini dikarenakan sajian minuman ringan bernama sampalu yang disajikan penduduk setempat. Minuman ini terbuat dari campuran buah asam (tamarind) yang dijadikan cairan berwarna coklat pekat untuk lantas diblender dengan susu kental manis dan es batu.
Penampilannya secara visual jika dilihat dari penampang depan gelas terbagi dua. Coklat muda di bagian tengah hingga dasar gelas. Buih putih dari batas tengah gelas ke permukaan.
Rasanya asam, manis, dan dingin yang meledak hingga ke langit-langit mulut di tengah hawa panas matahari.
Sejumlah pohon asam yang rimbun di perkampungan, selain mengurangi intensitas sorotan matahari, turut pula memastikan pasokan buah asam yang konstan. Tentu saja segelas tidak cukup, oleh karena itulah berlanjut pada gelas kedua.
Sajian kedua adalah penganan dari bahan tepung singkong yang menyelimuti buah pisang di dalamnya. Parutan kelapa menambah rasa gurih, selain manis yang diberikan pisang dan kelegitan tepung singkong yang membungkusnya.
Itu masih ditambah dengan sajian ubi goreng yang diambil tak jauh dari sana. Sebagian wilayah Liya Togo, dengan bebatuan memenuhi sebagian permukaannya, memang digunakan untuk menanami sejumlah jenis komoditas.
Beberapa di antaranya delima, srikaya, mangga, dan nangka. Sela-sela di antara bebatuan karang menjadi tempat yang dicari untuk menanam bibit tanaman, dengan tambahan dedaunan dan serakan sampah organik sebagai tambahan media tanam yang diselipkan di dalam sela-sela bebatuan itu.
Selain itu, karena berdekatan dengan pantai, pohon kelapa juga banyak terdapat di wilayah desa tersebut. Daging pohon kelapa inilah yang juga dijadikan campuran sayur daun kelor dengan kuah bening untuk menu makan siang. Itu masih ditambah dengan suwiran daging ikan pari, sambal, irisan tipis sayur pepaya, dan kasoami atau soami.
Soami atau kasoami adalah sumber karbohidrat yang terbuat dari ampas singkong. Cara pembuatan makanan pokok ini relatif sederhana.
Singkong dikupas dari kulitnya sebelum diparut. Lantas parutan singkong diperas hingga tinggal ampas. Ampas singkong ini lantas dikeringkan untuk menghilangkan asam sebelum diolah lebih lanjut.
Pengolahan lebih lanjut melibatkan proses penghalusan bahan yang sudah kering itu secara manual, atau menggunakan tangan. Proses selanjutnya mencetak kasoami atau soami ke dalam cetakan khusus, biasanya berbentuk kerucut dari bahan cetakan anyaman daun kelapa untuk selanjutnya dikukus.
Serasa roti
Kasoami atau soami yang dijadikan makanan pokok ini menghadirkan sensasi tersendiri tatkala disantap. Cara menikmatinya mirip seperti mengonsumsi roti. Dipegang seluruhnya untuk digigit sebagian, atau dipotong sebagian untuk dikunyah sedikit demi sedikit.
Rasa asam, terkait kandungan air dalam singkong dari proses sebelumnya, tidak serta-merta hilang begitu saja. Namun, kadarnya relatif tak berpengaruh besar, dan justru memberikan tambahan pada keragaman rasa.
Adapun sayur bening dengan kombinasi daging kelapa muda relatif menjadi sebuah kejutan. Namun, tentu saja, dengan ketersediaan pohon kelapa yang tumbuh di banyak lokasi dalam pulau tersebut, daging kelapa muda relatif tidak sulit disediakan.
Hal pasti yang bisa dirasakan dari sayur tersebut adalah kerenyahan serupa menggigit buah segar yang baru dipetik dari pohon. Kombinasi bumbu yang diracik juga seolah mempertemukan semua rasa di tengah-tengah. Ada gurih, manis, dan asin.
Belum lagi ikan segar berteman sambal yang sekali dua kali dicocolkan dengan potongan kasoami atau soami. Kata kunci semua menu itu adalah ”segar” sebab nyaris semua bahan baku berasal dari pulau yang sama, dengan ikan yang ditangkap dari perairan terdekat.
Semua sajian itu dihidangkan di dalam wadah anyaman bambu beralaskan daun pisang. Adapun sayur bening berisikan daging kelapa muda dan daun kelor disajikan dalam batok kelapa.
Kelompok Pengelola Pariwisata Liya Togo, Kepo’oli, menyiapkan dan mengirimkan sajian makan siang itu dari bagian lain pulau tersebut. Mereka juga membawa kami ke bagian lain lagi dari pulau tersebut untuk menikmati sajian makan siang itu.
Untuk mencapai tempat makan siang tersebut, pengunjung mesti berlayar dalam sampan yang bergerak dengan tenaga tolakan batang kayu ke dasar laut. Letaknya berada di dalam cekungan dengan dua bagian pulau yang menjorok di kedua sisi.
Kombinasi pemandangan lautan lepas, kecipak air laut, dan semilir angin terus-menerus memberikan asupan pada lima indera. Bagi pengunjung, ini seperti keseimbangan rasa di ujung Sulawesi Tenggara.
INGKI RINALDI
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 November 2016, di halaman 30 dengan judul “Harmoni Rasa di Ujung Tenggara”