Angin mendesau dari tanjung Soropia. Alirannya membentur rumah-rumah kayu yang tampak mengambang di atas laut. Sore itu anak-anak tetap riang bermain lompat karet dan bola plastik di jalanan tanah satu-satunya di Kampung Leppe. Sementara para lelaki bersiap melaut untuk semalam suntuk.

Kampung Leppe menepi di tanjung Soropia, berhadapan langsung dengan Teluk Kendari yang membiru. Di halaman muka tampak Pulau Bokori mengambang tengah laut, di halaman belakang perbukitan ilalang yang menjulang. Kodang (43), orang Bajo berkulit legam, memandang ke arah laut. Tangannya menunjuk Pulau Bokori. ”Itu dulu rumah kami,” katanya lirih. Tiba-tiba angin menampar muka kami. Beberapa anak berteriak sambil menghela perahu menuju keramba-keramba di sekitar tanjung.

Kodang lahir dan besar di Bokori, bahkan sampai kini jasad para leluhurnya disemayamkan di pulau itu. Tahun 1987, ketika Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara menghendaki Bokori berubah menjadi resor wisata, pulau itu dihuni ratusan keluarga orang Bajo. ”Kami dipindahkan ke Kampung Leppe atau Desa Bajo Indah ini,” ujar Kodang, pertengahan Oktober lalu.

Relokasi orang-orang Bajo menuju daratan bukan tanpa masalah. Kepala Desa Samajaya Risal mengatakan, terjadi kesalahan besar ketika pemerintah membuatkan rumah-rumah orang Bajo di daratan. ”Mereka tidak membuat kolong di bawah rumah sebagai tempat kami menambatkan perahu,” kata Risal, yang desanya bersebelahan dengan Kampung Leppe. Kini, bekas rumah-rumah yang dibikin pemerintah itu, tambah Risal, digunakan orang Bajo sebagai pemakaman.

Di sekitar tanjung Soropia terdapat sembilan kampung orang Bajo dan dua di antaranya terdapat di Pulau Saponda. Semua kampung termasuk dalam Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Setidaknya, menurut Risal, terdapat 6.000 orang suku Bajo yang menetap di sekitar tanjung Soropia. ”Orang Bajo hampir ada di semua kabupaten di Sultra, kecuali Kabupaten Kolaka Timur,” katanya.

Perahu motor pengantar menuju Pulau Bokori dari Desa Leppe. Setiap penumpang dikenai ongkos antara Rp 20.000 - Rp 25.000 pergi pulang. Kompas/Putu Fajar Arcana
Perahu motor pengantar menuju Pulau Bokori dari Desa Leppe. Setiap penumpang dikenai ongkos antara Rp 20.000 – Rp 25.000 pergi pulang.
Kompas/Putu Fajar Arcana

Musim laut

Kodang mohon diri untuk bersiap-siap melaut. Setiap pukul 17.00, ia berangkat melaut seorang diri, lalu pulang keesokan harinya sambil membawa dua gabus ikan, setara dengan 100 kilogram. Pada Oktober, biasanya musim botua (ikan putih) dan ikan kembung. Semua lelaki Bajo adalah pelaut-pelaut yang ulung. Pada musim pongka antara Oktober dan Desember, keluarga-keluarga Bajo berlayar ke tengah laut satu sampai dua bulan. Seluruh hidup mereka jalani di tengah lautan dengan menyinggahi beberapa pulau.

Biasanya orang-orang Bajo dari tanjung Soropia akan singgah di pulau-pulau Saponda, Labengki, Mauwang, Stagil, dan Sepa. ”Kira-kira berperahu 2-3 jam dari sini,” kata Kodang. Semua tangkapan ikan selama musim pongka akan dijemput oleh papelele, para pengumpul yang kemudian menjual ikan ke daratan. Selama musim itu, kata Risal, praktis anak-anak tidak bersekolah. ”Karena harus ikut melaut bersama orangtua mereka,” ujarnya.

Anak-anak Bajo riang bermain lompat karet di tepi Teluk Kendari di mana perkampungan mereka berada. Kompas/Putu Fajar Arcana (CAN) 14-10-2016 Perjalanan
Anak-anak Bajo riang bermain lompat karet di tepi Teluk Kendari di mana perkampungan mereka berada.
Kompas/Putu Fajar Arcana

Orang-orang Bajo secara naluriah mengetahui datangnya musim timur. Biasanya jatuh antara Juli dan September. Pada musim timur, angin bertiup lebih kencang dan gelombang bisa mencapai 4 meter. ”Pada musim timur, kami memilih mengurus keramba yang dekat dengan daratan,” kata Kodang. Kebetulan sore itu, Ridwan (40) sedang berperahu menuju rumah keramba miliknya. Katanya, ia sedang memelihara lobster, kerapu, dan ikan putih. ”Lobster biasanya menanti panen saat Tahun Baru Imlek,” kata Ridwan.

Risal mengatakan, Tahun Baru Imlek menjadi rujukan orang-orang Bajo di tanjung Soropia untuk menjual lobster. ”Biasanya harganya lebih tinggi karena banyak yang beli,” kata Risal.

Kehidupan para gipsy laut ini begitu sederhana. Di rumah-rumah kayu yang dibangun di tepian tanjung biasanya dihuni 2-3 keluarga. Banyak di antara mereka tidak memiliki tempat tidur, kecuali kasur-kasur tipis yang digelar di lantai ruangan. Di dapur mereka terdapat jeriken-jeriken air bersih yang mereka beli dan peralatan dapur seadanya.

Pemandangan itu akan kontras jika kita menyeberang ke Pulau Bokori, yang hanya berjarak 10-15 menit dengan perahu motor. Dari Kampung Leppe, Anda cukup membayar Rp 20.000 – Rp 25.000 untuk pergi dan pulang. Sejak akhir tahun 1980-an Bokori terus didandani, bahkan festival budaya dan olahraga digelar untuk menarik minat wisatawan. Pasca relokasi orang-orang Bajo ke daratan, Pulau Bukori nyaris tenggelam karena tak terurus. Abrasi terjadi di semua sisi, cottage yang dibangun pun mengeropos dan ditinggalkan.

Sejak beberapa tahun terakhir, pasir putih yang cantik di pulau itu kembali didaratkan. Cottage untuk penginapan dibangun lagi. Sehari-hari pulau ini tak berpenghuni, hanya para wisatawan yang menginap di bilik-bilik cottage yang harganya mencapai Rp 1,5 juta semalam. Cukup mahal memang. Namun, Anda akan mendapatkan kedamaian yang sempurna, dikelilingi oleh laut yang teduh membiru dengan terumbu karang dan para penghuninya yang tampak dari permukaan air.

Orang-orang Bajo tak mau ketinggalan. Gemuruh perubahan di pulau yang (mungkin) hanya seluas 2 kilometer persegi itu mereka respons dengan menjual jasa penyeberangan. Terkadang Kodang, Ridwan, dan Ahmad, yang semuanya nelayan, menjadi tukang perahu menyeberangkan para wisatawan ke Pulau Bokori. ”Cukup buat menambah pendapatan,” kata Ahmad.

Angin mengempas bagian depan perahu kami. Seketika air sampai ke geladak. Namun, Pulau Bokori sudah dekat. Tito (12) yang menjadi asisten juru mudi sigap melompat ke dalam air. Ia menarik perahu sampai mendarat sempurna di atas pasir putih Pulau Bokori. Inilah dulu rumah leluhur orang-orang Bajo…. Saya di sini sekarang….

Putu Fajar Arcana


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 Oktober 2016, di halaman 29 dengan judul “Angin Mendesau di Kampung Bajo”.