Ngayogjazz Pak Slamet Kecemplung Kali…

0
735

Mbah Joyo tak pernah menduga desanya akan seramai ini. Duduk di kursi butut di teras rumah, perempuan tua ini senyum-senyum menatap panggung di halaman rumahnya. Siang itu, tengah tampil Staccato dari Purwokerto. Worodharu, sang vokalis, kulitnya putih, pipinya halus, mengenakan ”sunglasses”, membawakan lagu standar ”cheek to cheek”.

Siang yang jazzy jadi hanyut dalam lirik lagu Frank Sinatra, yang menceritakan kebahagiaan hati, berdansa dalam pelukan rapat, pipi berdekatan, dancing cheek to cheek. Dalam bahasa Jawa, maksudnya tergoda pengin ngambung. Keramaian sudah berlangsung lima hari sebelumnya sejak pembikinan panggung, Mbah Joyo bercerita. Ayu, ya, Nak… komentarnya menatap panggung. Memang, saya mengiyakan.

Jakarta-nya mana, keponakan Mbah Joyo bertanya. Ini pertanyaan khas di desa. Saya jawab pusat. Pusatnya mana, tanyanya lagi. Plaza Senayan, jawab saya sekenanya. Ia bertutur saudaranya juga di Jakarta. Bekasi.

Keponakan Mbah Joyo yang lain lagi muncul menyuguhkan kopi dan tempe goreng. Jazz di desa, di tengah keteduhan pohon-pohon pisang, kelapa, mangga yang tengah berbuah, tak kalah menyenangkan dibanding jazz di lounge hotel bintang lima Jakarta. Kalau capai silakan rebahan di dalam, Nak, Mbah Joyo menawari. Ada tikar tergelar di ruang tamu.

Sosialisasi

Ngayogjazz, festival jazz tahunan kesepuluh yang diprakarsai Djaduk Ferianto, berlangsung tanggal 19 November lalu, kali ini mengambil tempat di Dukuh Kwagon, Desa Sidorejo, Kecamatan Godean, Sleman, Yogyakarta. Kwagon, seperti dusun-dusun sekitarnya, dikenal sebagai sentra industri genteng. Daerahnya berbukit-bukit, mengingatkan novel panjang SH Mintardja, Api di Bukit Menoreh.

Di dusun itulah penyelenggara membangun tujuh panggung tersebar di sudut-sudut dusun, ada yang di halaman rumah penduduk, di pendopo rumah, serta di depan tobong (tempat pembakaran genteng) yang memiliki tanah lapang luas. Seluruh panggung dinamai produk genteng dari desa itu: panggung Kodok, Morando, Kripik, Krepus, Wuwung, Garuda, Paris.

Staccato tampil di panggung Krepus. Pada saat bersamaan, di panggung lain yang merupakan panggung terbesar bernama panggung Paris, tampil penyanyi Ibu Kota, Monita Tahalea. Mengenakan busana berbentuk kemben, kecantikannya menyatu dengan dusun, dengan tobong, dengan genteng-genteng kusam di desa. ”Sugeng sonten Yogyakarta…,” serunya dalam bahasa Jawa.

Di panggung utama ini dijadwalkan tampil kelompok-kelompok seperti Momo dan Pararibu, Ricad Hutapea, Danny Eriawan Project, tak ketinggalan penampilan yang sepertinya paling ditunggu penonton, Fariz RM Anthology Kuartet.

Nama-nama tenar dijadwalkan tampil di panggung berbeda-beda, seperti Tohpati and Friends, Bonita & The Hus Band, Shadow Puppets dan Harvey Malaiholo, dan Sono Seni Ensamble, ditambah berbagai kelompok jazz dari komunitas sejumlah kota, tak ketinggalan kelompok kesenian dusun setempat.

Di luar kelompok-kelompok kesenian tradisional, seluruhnya terdapat 37 grup. Menurut Djaduk Ferianto, kelompok-kelompok itu ia saring dari jumlah lebih banyak lagi pelamar yang ingin tampil di Ngayogjazz.

Persiapan dilakukan sejak awal tahun. Begitu tempat ini terpilih, menurut Djaduk, sejak bulan Maret ia mulai ”menanam” orang-orangnya di dusun ini. Tugas mereka menyosialisasikan kegiatan yang hendak berlangsung.

”Kami mengadakan berbagai workshop di sini,” ucap Djaduk. Workshop berupa misalnya bagaimana menghias pedukuhan, menyiapkan stand-stand untuk berjualan, dan lain-lain. Ada sekitar 200 relawan dilibatkan. Para relawan ini juga menjalani berbagai pelatihan untuk bagaimana menjadi event organizer, stage manager, sound engineer, menangani kehumasan, dan lain-lain. ”Banyak lulusan proyek ini kemudian menjadi event organizer, stage manager, dan lainnya,” kata Djaduk.

Penduduk setempat membangun stand-stand untuk berjualan makanan. Mereka menjual dari nasi bungkus, pisang rebus, jagung bakar, tempe goreng yang enak dimakan sambil menyeruput kopi. Mereka menyatu dengan stand model urban yang menyajikan espresso, berbagai merchandise, alat-alat musik, CD, dan sebagainya. Bir tidak ada. Tidak apa, nanti cari di Muenchen.

Pedagang desa dengan riang gembira berseru-seru menawarkan dagangannya: Pak Slamet putrane Pak Lurah, gorengan anget regane murah (Pak Slamet anak Pak Lurah, gorengan hangat harganya murah). Orang tertawa-tawa mendengar ocehannya. Dia makin bersemangat. Pak Slamet kecemplung kali, gorengan anget silakan beli (Pak Slamet tercebur sungai, gorengan hangat silakan beli).

Penonton terus mengalir. Dalam dugaan Djaduk, penonton tahun ini lebih banyak dibanding tahun sebelumnya. Tahun lalu, jumlah penonton sekitar 30.000. Jalanan kampung sampai lorong-lorongnya mulai dipadati pengunjung. Makin malam suasana kian ramai.

Penampilan Fariz RM pada punvak acara Ngayogjazz di Yogyakarta. Kompas/Bre Redana (BRE) 19-11-2016 foto utama halaman Urban
Penampilan Fariz RM pada punvak acara Ngayogjazz di Yogyakarta.
Kompas/Bre Redana

Tanpa batas

Musik mengalir tanpa batas, dari yang jazzy memberikan suasana empuk seperti model cheek to cheek tadi, fusion, paduan etnik, serta berbagai eksperimen yang bisa disebut sangat canggih. Yang terakhir itu taruhlah seperti yang ditampilkan oleh kelompok musik kontemporer dari Solo, Sono Seni Ensembel. Didukung para pemain yang semuanya akademisi bergelar doktor ataupun kandidat doktor, sangat tak terbayangkan bagaimana di desa bisa menikmati musik secanggih ini. Mereka mengembalikan kedudukan dan harkat alat musik pada hakikat sejatinya, yaitu sumber bunyi yang bebas nilai. Hebatnya lagi, penonton menikmatinya.

Jangan tanya penampilan dari nama yang terkenal di pelataran pop seperti Fariz RM. Tampil di pengujung acara di panggung Paris, penonton berjubel menunggu di tanah lapang di depan panggung. Menghindari serbuan penggemar, sebelum naik panggung, Fariz menyepi di kegelapan tobong di pinggir panggung, di antara tumpukan genteng-genteng.

Kelebihan Fariz, ia selalu memberi sentuhan baru untuk lagu-lagu yang biasa dibawakannya. Ia didukung formasi yang juga mampu memberi darah baru bagi lagu-lagunya, seperti Jalu G Pratidina (perkusi), Eddy Syakroni (drum), dan Adi Darmawan (bas). Malam itu tak ketinggalan ia membawakan lagu indahnya yang membuat namanya melambung pada akhir tahun 1970-an, ”Hasrat dan Cinta”.

Persinggungan langsung antarmanusia, musik yang tak mengotak-ngotakkan, gratis, tak ada yang mencurigai Djaduk dapat dana dari mana (yang pasti dia selalu ngos-ngosan dalam hal ini), menjadi semacam intermeso dari suasana kota besar yang panas, fundamentalistik, dan saling curiga.

”Selain dapat ilmu baru, saya mendapatkan keluarga,” kata Djaduk.

“200 Relawan dilibatkan. Para relawan ini juga menjalani berbagai pelatihan untuk bagaimana menjadi event organizer, stage manager, sound engineer, menangani kehumasan, dan lain-lain.”

BRE REDANA


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 November 2016, di halaman 17 dengan judul “Ngayogjazz  Pak Slamet Kecemplung Kali…”