Lesehan di bale-bale, diembusi semilir angin di tengah cuaca yang sedang terik, lalu dijamu aneka masakan Betawi nan menggiurkan. Ah, Jakarta langsung terasa lebih menyenangkan hari itu.
Bale-bale di rumah Siti Laela (52) ini sehari-hari biasanya digunakan beberapa ibu di kampung Terogong, Jakarta Selatan, untuk membatik bersama. Rumah Laela memang menjadi salah satu sentra produksi dan pengembangan batik betawi yang hanya segelintir saat ini. Keluarga besarnya di masa lalu, termasuk mendiang ibunya, terampil membatik ketika Jakarta menjadi salah satu sentra industri batik hingga tahun 1970-an.
Sebagai orang Betawi, kecintaan Laela pada budaya Betawi tidak hanya ia tuangkan dalam seni membatik, tetapi juga dalam ragam masakan Betawi yang kerap ia promosikan kepada teman-temannya. Termasuk saat tim peliputan Selisik Batik tengah meliput perkembangan batik betawi yang lalu, Laela menawarkan menjamu kami dengan aneka masakan Betawi yang sebagian tak mudah dijumpai di rumah makan Betawi pada umumnya.
Di hari yang telah dijanjikannya, kami berkumpul di bale-bale menanti tak sabar hidangan yang dimasaknya hari itu. Satu per satu hidangan pun mendarat di bale-bale dengan diiringi aroma yang memikat. Mulai dari pecak gurame, sayur goreng asem, nasi goreng mengkudu, semur jengkol, es selendang mayang, manisan pepaya, dan manisan kolang-kaling.
Kelenjar saliva pun spontan berdesir, memprovokasi selera bersantap. Sayangnya, kami tak bisa langsung menyikat seluruh hidangan itu demi kepentingan pemotretan yang harus didahulukan. Menunggui sang fotografer memotret masakan satu per satu sungguh menjadi ujian kesabaran siang itu, sementara aroma sedap terus saja menggelitik saraf penciuman.
Setelah pemotretan usai, tanpa dipersilakan pun kami langsung mencomot semua masakan yang ada. Dimulai dari sajian yang paling bikin penasaran, nasi goreng mengkudu. ”Ini paling jarang ada, lho, di rumah makan Betawi. Saya ambil daun mengkudunya di sekolahan di Ciganjur. Dulu di Terogong sini juga banyak pohon mengkudu, sekarang enggak ada lagi,” cerita Laela, yang sehari-hari adalah guru bahasa Inggris di SMK Negeri 63, Ciganjur, Jakarta Selatan.
Kami lalu mendengar cerita Laela sambil asyik terus memamah. Nasi goreng mengkudu ini menggunakan daun mengkudu yang dirajang, lalu digoreng bersama nasi dengan bumbu ulek bawang merah, cabai rawit hijau, dan garam. Sederhana sekali bukan? Namun, sungguh kenikmatan justru mudah datang dari kesederhanaan. Rajangan daun mengkudu yang berbaur dengan nasi samar masih terasa renyah mengingatkan sedikit keserupaan dengan jenis kangkung lombok. Tak ada jejak rasa pahit yang dikhawatirkan.
Laela bercerita, daun mengkudu bisa enak dimasak jika dipetik dari pohon mengkudu yang daunnya sering dipetik. Oleh karena itu, ia rajin memetiki daun mengkudu pada pohon mengkudu yang tumbuh di sekolahnya tempat mengajar. ”Setelah sebulan pohonnya sering dipetiki, baru daunnya bisa enak dimasak. Selain dibikin nasi goreng, bisa juga ditumis dengan ikan teri atau direbus saja terus dicocol sambal gowang (cabe rawit, garam, dan jeruk limau),” kata Laela.
Segar gurih
Menu lain yang menyegarkan adalah sayur goreng asem. Masakan ini salah satu favorit masyarakat Betawi. Bedanya dengan sayur asem biasa, pada menu ini menggunakan kaldu iga sapi atau dahulu biasanya iga kerbau. Rasa gurih dan asam segar menjadi perpaduan dahsyat yang bikin nagih. ”Lebih sedap dan gurih kalau pakai kikil sebenarnya. Kalau Idul Adha, saya suka bikin kikil sendiri, lebih alami enggak kayak kikil di pasaran yang sudah terlalu putih bersih, biasanya dikasih obat itu,” kata Laela.
Bumbu-bumbu yang digunakan untuk sayur goreng asem ini sebagian sama dengan sayur asem pada umumnya, seperti salam, lengkuas, serai, cabai merah, bawang merah, sedikit terasi, dan tentunya asam. Bumbu-bumbu tadi dihaluskan, ditumis, baru kemudian dimasak bersama kaldu iga dan sayur-sayuran pelengkap. Menurut Laela, untuk menambah kesegaran bisa juga ditambahkan pucuk daun asam.
Kenikmatan tadi semakin menggairahkan dengan semur jengkol yang kaya rempah. Laela bercerita, dahulu ibunya biasa merebus jengkol dengan abu dapur untuk menyerap bau dan membuatnya cepat empuk. Namun, kali ini Laela tidak memakai abu dapur, cukup rempah-rempah, aroma kurang sedap dari jengkol sudah nyaris hilang. Yang tersisa hanya kepulenan daging jengkol yang bikin ketagihan. Rempah yang digunakan di antaranya jahe, kunyit, pala, kencur, lada, cengkeh, kapulaga, ketumbar, kayu manis, serai, lengkuas, juga daun salam. Kecap menjadi tambahan pamungkas yang mengesahkan si jengkol menjadi semur. Manis, legit, pulen sempurna.
”Zaman dulu, kami bikin semur jengkolnya pakai kecap Benteng. Lebih sedap!” ujar Laela.
Kecap Benteng yang dimaksud Laela adalah merek kecap legendaris dari Tangerang yang sampai sekarang masih diproduksi, tetapi sangat terbatas distribusinya, hanya di wilayah Tangerang. Kecap ini rasanya sangat istimewa, seperti pada umumnya kecap tradisional dari pabrik tempo doeloe karena menggunakan kedelai hitam yang difermentasi dahulu. Berbeda dengan kecap pabrikan yang beredar luas saat ini.
Sambil terus memamah menikmati masakan-masakan sedap itu, kami pun larut dalam cerita-cerita Laela. Lamat-lamat mulai terasa perut menggembung kekenyangan walaupun lidah masih saja belum tahu diri untuk berhenti mencicip. Bir pletok dingin bikinan Laela, es selendang mayang, dan manisan pepaya yang berwarna merah cerah menggoda menjadi penutup jamuan yang membahagiakan siang itu.
Sarie Febriane & Dwi As Setianingsih
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Oktober 2016, di halaman 31 dengan judul “Sederhana, tetapi Bikin “Nagih””.