CEO nulisbuku.com Brilliant Yotenega meneliti naskah dan sampul muka buku yang masuk sebelum proses produksi di Jakarta, Jumat (14/10). Kompas/Totok Wijayanto (TOK) 14-10-2016 utk tulisan EKONOMI MINGGU

Hasrat menerbitkan karya dalam bentuk buku tak lagi jadi sekadar mimpi. Tak perlu waktu lama untuk mewujudkan mimpi itu. Kini, ada banyak cara mewujudkan keinginan menerbitkan buku hasil karya sendiri, salah satunya melalui penerbitan mandiri. Ide itu bisa diwujudkan dengan cara yang lebih cepat, mudah, dan murah.

Di era yang diwarnai sentuhan teknologi digital seperti saat ini, penerbit buku mandiri, seperti Nulisbuku.com, Indie Book Corner, LeutikaPrio.com, dan Pustakapedia.com, naik daun. Para penerbit ini membuka peluang bagi siapa pun yang berhasrat menulis dan menerbitkan karya mereka.

Kemudahan ditawarkan penerbitan mandiri di laman mereka. Di laman LeutikaPrio, misalnya, ada petunjuk cara menerbitkan buku, kontrak kerja sama, dan paket penerbitan. Di laman Indie Book Corner, disebutkan mengenai hal teknis untuk naskah buku, misalnya jenis huruf dan ukurannya. Adapun di Nulisbuku.com dilengkapi dengan gambar agar lebih memudahkan pengakses laman.

Tren menggunakan penerbitan mandiri yang kian meningkat ini juga diakui Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Jakarta Rhenald Kasali.

Anak-anak muda yang menerbitkan buku mereka sendiri atau self publishing, semakin banyak,” katanya di Jakarta, Jumat (14/10).

Brilliant Yotenega (38) atau Ega, yang bersama tiga rekannya merintis laman penerbitan mandiri Nulisbuku.com pada 2010, meyakini, pada era digital seperti saat ini, setiap orang dapat berkarya dan menerbitkan karya dengan lebih mudah.

”Setiap orang dapat menyalurkan hobi menulis tanpa khawatir ditolak penerbit. Setiap anggota Nulisbuku.com dapat mencetak karyanya,” ujar Ega.

Melalui laman Nulisbuku.com, masyarakat dapat menulis hal-hal yang disenangi. Kemudian, mengunggah tulisan itu, menerbitkan, hingga mempromosikan karya tersebut dalam bentuk buku.

Menurut Ega, selama ini penulis dan penerbit kerap berspekulasi. ”Penerbit ingin mencari penulis yang bukunya potensial laris, sedangkan penulis juga tak bisa menjamin karyanya akan sukses di pasar. Ruang kosong itu yang coba dijembatani Nulisbuku.com,” katanya.

Setiap penulis, kata Ega, dapat menentukan sendiri harga bukunya. Semakin tinggi harga buku yang dijual, tentu semakin besar keuntungan yang dapat diraih. Dari setiap buku yang terjual, 60 persen merupakan royalti penulis. Sementara 40 persen sisanya untuk Nulisbuku.com.

Jumlah buku yang dicetak disesuaikan dengan jumlah pesanan untuk menghindari kerugian akibat stok yang menumpuk.

Kini, koleksi buku di Nulisbuku.com mencapai 10.000 judul yang 60 persennya berupa buku fiksi. Setiap bulan ada tambahan 100-150 judul baru. Adapun anggotanya sekitar 100.000 orang yang didominasi usia 18-25 tahun.

Dita (tengah) dan Irham (kanan) dari komunitas fotografi 1000kata mengecek hasil cetakan buku foto NESW yang mereka terbitkan sendiri (self publishing). Kompas/Yuniadhi Agung (MYE) 19-03-2014
Dita (tengah) dan Irham (kanan) dari komunitas fotografi 1000kata mengecek hasil cetakan buku foto NESW yang mereka terbitkan sendiri (self publishing).
Kompas/Yuniadhi Agung (MYE)
19-03-2014

Ahmad Muzambiq (34), CEO Pustakapedia.com, mengatakan, penerbit mandiri berupaya memberikan solusi bagi para penulis yang belum percaya diri menerbitkan karya mereka atau yang karyanya terlalu spesifik. Dengan cara ini, penulis diharapkan kian bergairah melahirkan karya.

Pustakapedia.com melayani tiga paket penerbitan, yakni ekonomi, bisnis, dan ekspres, dengan harga Rp 550.000 hingga Rp 1,5 juta. Jasa yang ditawarkan mulai proses penyuntingan, tata letak, hingga desain.

Untuk memudahkan proses, komunikasi dengan penulis dilakukan melalui aplikasi percakapan di telepon pintar. Penulis yang mengajukan penerbitan berasal dari Batam, Jambi, Semarang, dan Jabodetabek.

Muzambiq menceritakan, sejak beroperasi pada Maret 2016, Pustakapedia sudah mencetak lebih dari 1.000 eksemplar buku. Naskah yang dikerjakan sebanyak tiga hingga lima buku per bulan. ”Kami masih baru, jadi buku belum terlalu banyak. Akan tetapi, permintaan selalu meningkat. Meski indie, kami juga tidak mau asal-asalan sehingga kualitas terjaga,” katanya.

Muzambiq bahkan sudah berencana mengajak usaha platform buku daring untuk bermitra dalam mendistribusikan buku yang diterbitkan Pustakapedia. ”Kami fokus di daring, jadi biaya operasional lebih efisien,” jelas Muzambiq.

Membantu

Bagi penulis muda seperti Gea Xena Levina (24), penerbitan buku mandiri membantu menerbitkan buku puisinya berjudul Kota Sehabis Hujan yang diterbitkan pada 2015. Ia menggunakan jasa penerbit buku mandiri Indie Book Corner yang berbasis di Yogyakarta.

”Pada saat itu, saya belum terlalu memikirkan keuntungan yang penting ingin dibaca orang lain dulu. Ini juga jadi batu loncatan untuk karya-karya yang selanjutnya,” kata Gea.

Menurut dia, jasa penerbitan buku mandiri memudahkan penulis dalam berbagai tahap, misalnya dalam proses penyuntingan dan pencetakan buku. Penerbit juga bersedia melayani pencetakan dalam jumlah terbatas, misalnya 100 eksemplar, dengan harga terjangkau.

Sebagai anak muda yang tak kepas dari sentuhan dunia digital, Gea pun menggunakan media sosial dan jaringan pertemanan untuk mempromosikan bukunya. Meski demikian, ia juga mendapat tawaran mendistribusikan bukunya dari penerbitan mandiri.

Reza Reinaldo (20), mahasiswa sebuah perguruan tinggi di Jakarta, menggunakan penerbitan mandiri setelah karyanya ditolak oleh lebih dari 10 penerbit buku. Kini, ia sudah menerbitkan bukunya yang berjudul It’s a Cloud with Legs.

”Saya tidak perlu mencetak dulu buku itu sebelum ada yang memesan. Dengan demikian, dapat mengurangi risiko kerugian akibat stok buku yang tidak terjual,” kata Reza.

Selain itu, mental penulis dapat lebih terlatih dengan menggunakan jasa penerbitan mandiri. ”Masyarakat dapat mengetahui kemampuan kita. Kita bisa menulis sekaligus memperbaiki tulisan kita sendiri,” ujarnya.