NUSA DUA, KOMPAS Di sejumlah negara, kearifan lokal terbukti tak menjadi penghalang bagi proses pembangunan. Sebaliknya, kearifan dan tradisi lokal bisa dikembangkan untuk membantu keberhasilan pembangunan. Syaratnya, nilai-nilai di dalam tradisi itu harus dipertahankan dengan baik.
Hal ini terungkap dalam simposium bertajuk ”Reviving Culture for Rural Sustainability” (Menghidupkan Kembali Budaya bagi Keberlanjutan Pedesaan) di ajang Forum Budaya Dunia atau World Culture Forum 2016, di Nusa Dua, Bali, Selasa (11/10). Narasumber dalam simposium itu ialah Lee Soon-tak, Guru Besar Hidrologi dan Rekayasa Sumber Air Universitas Yeungnam, Korea Selatan; Lanying Zhang, Direktur Liang Shuming Rural Reconstruction, Tiongkok; serta Aleta Baun, Kepala Desa Mollo, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur.
”Pemerintah Korea Selatan menyelenggarakan kebijakan ’Saemaul Undong’. Kebijakan ini berupaya menjamin ketersediaan air bagi masyarakat, terutama petani, dan menjamin kelangsungan hidup kebudayaan dari masyarakat tersebut,” kata Lee.
Menurut dia, ”Saemaul Undong” di Korea Selatan tak ubahnya praktik kebudayaan subak di Bali. ”Air dan kebudayaan telah menjadi way of life (cara hidup) masyarakat yang harus dijamin melalui kebijakan politik pemerintah,” ujar Soon-tak.
Praktik ”Saemaul Undong” dikembangkan dari praktik-praktik kebudayaan yang sudah dijalankan masyarakat. ”’Saemaul Undong’ mensyaratkan adanya perbaikan kualitas infrastruktur, peningkatan pendapatan masyarakat, dan reformasi mental,” kata Soon-tak.
Kembali ke desa
Di Tiongkok, menurut Lanying Zhang, praktik kebudayaan masyarakat Tiongkok untuk mengolah sawah dan menata pengairan tidak jauh berbeda dengan subak di Bali. Namun, pengolahan pertanian di negara itu sudah dikembangkan dengan sistem perusahaan (corporated farming). ”Kebijakan pengolahan pertanian dengan sistem perusahaan ini menuntut tenaga kerja orang muda untuk kembali ke desa,” ujar Lanying Zhang.
Pengelolaan pertanian dengan sistem perusahaan merupakan salah satu upaya pengelolaan pertanian agar sesuai dengan era baru yang diwarnai pemanfaatan teknologi digital serta internet. Namun, perlu diingat, langkah modernisasi ini diterapkan tanpa menghilangkan berbagai tradisi kebudayaan masyarakat.
”Di dalam modernisasi, proses transformasi sosialnya juga tidak menolak tradisi-tradisi kebudayaan yang sudah ada,” ucap Lanying Zhang.
Menolak
Pemaparan berbeda disampaikan Aleta Baun. Ia justru menceritakan bagaimana warga lokal harus mati-matian mempertahankan tanah adat dari usaha penambangan.
Menurut dia, warga di desanya berjuang selama 13 tahun (1999- 2012) untuk menolak penambangan marmer. Penambangan yang dilakukan dengan membelah gunung itu mematikan sumber air bagi desa dan menghancurkan ekosistem hutan di sekitarnya.
Pada 1990-an, menurut dia, pemerintah mengubah status hutan adat menjadi hutan produksi yang dikuasai negara. Kemudian pemerintah mengizinkan usaha penambangan di wilayah itu.
Aleta mengisahkan, banyak ancaman yang dialami warga karena menolak usaha tambang. Bahkan, Aleta pernah dibacok dan mengungsi ke dalam hutan selama enam bulan sambil membawa bayinya serta meninggalkan suaminya dan dua anaknya.
”Kami akhirnya berhasil mengusir perusahaan-perusahaan tambang dan kembali menguasai tanah kami melalui perjuangan 13 tahun,” kata Aleta.
Aleta dan warga desa kemudian harus mengembalikan fungsi lahan menjadi hutan guna menyelamatkan sumber-sumber air. Mereka harus pula menghidupkan kembali ritual-ritual kebudayaan masyarakat.
”Tantangan berikutnya ialah membangun ekonomi berkelanjutan. Kami menolak ekonomi yang merusak alam,” kata Aleta. Untuk mewujudkan ekonomi berkelanjutan di Desa Mollo, Aleta membangun kelompok menenun, bertani secara organik, dan beternak.
Pada 2013, Aleta mendapat penghargaan Goldman Environmental Prize 2013. Anugerah diberikan atas perannya mengorganisasikan masyarakat lokal untuk menolak penambangan yang merusak kelestarian hutan.
Urban
Dalam simposium lainnya yang bertajuk ”Interweaving History, Urban Space and Cultural Movement” (Keterjalinan Sejarah, Ruang Urban, dan Gerakan Budaya), Wali Kota Bandung Ridwan Kamil menyebut kota atau urban sebagai bentuk kompleks satu kebudayaan. Kota harus dibangun untuk menyikapi dunia yang menjadi ekstrem, makin kompetitif dalam banyak hal, makin berbahaya, tetapi juga kian terhubung. ”Dulu, saya berpikir, makin modern, kita makin damai, tetapi ternyata tidak demikian,” kata Ridwan.
Menjadi urban, menurut dia, seseorang harus mau menerima keberagaman. Ia juga harus menjadi orang tanpa identitas atau menerima anonimitas. Ia pun harus menerima kepadatan dan keriuhan kota. Karena itu, tanpa ada aktivitas batiniah atau hanya fokus pada kemakmuran dan pertumbuhan ekonomi, manusia akan gagal sebagai warga kota.