Selama bertahun-tahun, pariwisata Kota Yogyakarta bergantung pada obyek wisata yang itu-itu saja. Ketika kabupaten sekitarnya berlomba memunculkan destinasi baru, Yogyakarta masih mengandalkan Malioboro, Keraton, Taman Pintar, dan Kebun Binatang Gembira Loka.
Harus diakui, obyek-obyek wisata andalan Kota Yogyakarta memang masih mendatangkan wisatawan dalam jumlah banyak, bahkan meningkat. Kawasan Malioboro, contohnya, tetap dipadati ribuan pengunjung saat akhir pekan. Meski trotoar sisi timur Malioboro tak lagi diperbolehkan sebagai tempat parkir sepeda motor sehingga pengunjung harus berjalan kaki lebih jauh, wisatawan tetap berdatangan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Yogyakarta, jumlah wisatawan yang datang ke Yogyakarta pada 2015 sebanyak 5.619.231 orang terdiri dari 5.338.352 wisatawan Nusantara dan 230.879 wisatawan mancanegara. Jumlah wisatawan pada 2015 tersebut meningkat sekitar 7 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Namun, jika dilihat lebih detail, ternyata ada penurunan jumlah wisatawan di beberapa obyek wisata. Penurunan antara lain terjadi di Keraton Yogyakarta dan sejumlah obyek wisata sekitarnya. Pada 2015, jumlah wisatawan ke Keraton Yogyakarta 601.593 orang atau menurun 31,6 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai 880.422 orang.
Penurunan kunjungan wisatawan juga terjadi di Taman Sari, situs yang dahulu merupakan taman dan kolam pemandian milik Keraton Yogyakarta. Tahun lalu, wisatawan yang datang ke Taman Sari 399.970 orang atau menurun 8,9 persen dibandingkan dengan pada 2014. Fenomena serupa terjadi di Museum Kereta Keraton dan Taman Pintar yang masing-masing turun 35,6 persen dan 6,1 persen.
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (Asita) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sudiyanto menilai, paling tidak ada dua faktor yang menyebabkan jumlah kunjungan wisatawan ke obyek wisata sekitar Keraton Yogyakarta menurun. Faktor pertama terkait akses menuju obyek-obyek wisata tersebut.
Mulai akhir 2014, Pemerintah Kota Yogyakarta mengubah pengaturan lalu lintas di sekitar Keraton. Sejak saat itu, bus pariwisata dilarang memasuki wilayah sekitar Keraton Yogyakarta dan dilarang parkir di Alun-alun Utara Yogyakarta untuk menjaga kelestarian kawasan cagar budaya itu.
”Larangan itu sebenarnya tidak masalah asalkan ada tempat parkir lain yang memadai. Namun, saat ini hanya ada dua tempat parkir sekitar Keraton sehingga tak cukup untuk menampung semua bus pariwisata, terutama saat musim liburan,” ujar Sudiyanto.
Faktor kedua, yakni berkembangnya berbagai daya tarik wisata baru di DIY. Sejak beberapa tahun terakhir, muncul obyek-obyek wisata baru di empat kabupaten sekitar Yogyakarta, yakni Gunung Kidul, Kulon Progo, Bantul, dan Sleman.
”Jadi, konsentrasi wisatawan sekarang terpecah dan mereka yang sudah pernah ke DIY pasti akan mencari obyek wisata baru,” kata Sudiyanto.
Optimalkan potensi
Menurut Sudiyanto, Pemkot Yogyakarta seharusnya mengembangkan daya tarik wisata baru dengan mengoptimalkan potensi yang ada, yakni bangunan cagar budaya dan kegiatan kebudayaan. Sejumlah kawasan yang memiliki bangunan cagar budaya bersejarah, misalnya Kotabaru, Kotagede, dan Jeron Beteng, bisa digarap menjadi daya tarik wisata baru. Selain mendatangkan lebih banyak wisatawan, daya tarik baru juga berpotensi memperlama masa tinggal wisatawan.
Daya tarik lain yang potensial dikembangkan adalah kampung wisata. Di Yogyakarta, sebenarnya ada belasan kampung wisata dengan daya tarik berbeda-beda. Namun, belum semua memiliki atraksi wisata yang bisa menarik wisatawan. Salah satu yang cukup siap menyambut turis adalah Kampung Wisata Cokrodiningratan di Kelurahan Cokrodiningratan, Kecamatan Jetis.
Ketua Kampung Wisata Cokrodiningratan Totok Pratopo (50) menuturkan, pihaknya memiliki paket wisata Jelajah Sepenggal Jogja. Paket ini menawarkan perjalanan menyusuri sejumlah tempat menarik di Cokrodiningratan, misalnya perkampungan di pinggir Sungai Code dan beberapa bangunan cagar budaya di Jalan AM Sangaji.
”Banyak mahasiswa dan peneliti, termasuk dari luar negeri, yang datang ke kampung kami karena tertarik dengan kehidupan warga sekitar Sungai Code,” katanya.
Selain memperkuat kampung wisata, dalam dokumen Rencana Strategis Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta Tahun 2012-2016 disebutkan, pengembangan pariwisata juga dilakukan dengan menumbuhkan pusat perdagangan baru selain kawasan Malioboro dan memperbanyak acara budaya.
Kawasan perdagangan baru itu kini terwujud dengan hadirnya XT Square atau Pusat Seni dan Kerajinan Yogyakarta di bekas Terminal Bus Umbulharjo. XT Square memiliki beberapa daya tarik, misalnya museum tiga dimensi, toko kerajinan dan fashion, warung kuliner, dan berbagai acara pertunjukan.
Model promosi
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta Eko Suryo Maharso mengatakan, pengembangan daya tarik wisata baru terus diupayakan. Apalagi, perilaku wisatawan sudah berubah, yakni lebih dipengaruhi informasi di internet. ”Perubahan perilaku ini harus disikapi oleh pelaku wisata dan pemerintah, misalnya dengan mengubah model promosi,” ujar Eko.
Promosi melalui media massa konvensional atau pameran di negara lain, menurut Eko, bisa jadi kini tidak terlalu efektif. Karena itu, Pemkot Yogyakarta bekerja sama dengan PT Telkom Indonesia Tbk mengembangkan aplikasi telepon cerdas bernama Hi Jogja. Aplikasi Hi Jogja berisi berbagai informasi terkait pariwisata di Yogyakarta, yakni obyek wisata, hotel, restoran, dan tempat-tempat menarik lainnya.
Dengan membuka aplikasi itu, wisatawan bisa dengan mudah menemukan rekomendasi tempat yang bisa mereka kunjungi saat berwisata di Kota Gudeg. Selain aplikasi Hi Jogja, juga ada sejumlah aplikasi panduan jalan-jalan ke Yogyakarta yang dibuat pihak lain, termasuk aplikasi Jogja Istimewa yang dikembangkan Pemerintah Daerah DIY.
Kualitas sumber daya manusia (SDM) yang bekerja di sektor pariwisata, ujar Eko, juga perlu ditingkatkan. Apalagi, selama ini kebanyakan warga lokal Yogyakarta masih menduduki posisi rendah dalam sektor pariwisata, misalnya menjadi petugas keamanan atau resepsionis hotel.
Pemkot menggelar pelatihan terkait pariwisata, misalnya pelatihan untuk agen perjalanan, pelatihan untuk pelaku bisnis spa, atau pelatihan untuk pengelola museum. April lalu, Pemkot Yogyakarta memfasilitasi uji kompetensi bagi sejumlah karyawan hotel nonbintang.
Namun, Eko mengingatkan, peningkatan kualitas SDM pariwisata tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah. Para pelaku usaha juga harus aktif meningkatkan kualitas karyawan mereka agar mampu melayani wisatawan dengan baik.
Perkembangan pariwisata di Yogyakarta dan sekitarnya juga menarik minat investor membangun hotel di Yogyakarta. Namun, karena jumlah hotel sudah terlalu banyak, Pemkot Yogyakarta menghentikan sementara penerbitan izin mendirikan bangunan (IMB) hotel baru sejak 2014 hingga akhir tahun ini.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik DIY, pertumbuhan hotel berbintang pada 2010-2013 sekitar 85 persen, yaitu dari 21 unit menjadi 39 unit. Pertumbuhan hotel nonbintang pada 2010-2013 sekitar 9 persen, yaitu dari 362 unit menjadi 353 unit. Jumlah hotel yang terlalu banyak memunculkan persaingan ketat dan masalah lingkungan.