Dari ketinggian 45 meter, biru laut, hijau gunung, dan jejeran tebing layaknya lukisan. Pulo Aceh, gugusan pulau terluar di Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh, menyimpan potensi wisata bahari, tetapi masih terabaikan.

Bangunan tua dengan tinggi 45 meter itu adalah mercusuar William’s Torren. Mercusuar itu dibangun pada tahun 1875 oleh kolonial Belanda, dua tahun setelah menyatakan maklumat perang dengan Aceh. William’s Torren dibangun dengan cucuran keringat dan darah rakyat pribumi yang dijajah Belanda.

Meski sudah berusia 141 tahun, mercusuar William’s Torren masih berdiri kokoh di atas tebing curam. Bangunan itu berbentuk silinder dengan ketebalan dinding mencapai 1 meter. Dinding luar dicat warna merah dan putih. Mercusuar memiliki enam lantai. Setiap lantai dilengkapi jendela. Dari jendela bergaya Eropa itu, ketenangan Samudra Hindia menenteramkan mata.

Untuk mencapai puncak, harus menaiki 174 anak tangga yang terbuat dari besi berukir. Konon, mercusuar William’s Torren hanya terdapat tiga di dunia, yakni di Pulau Karibia, Belanda, dan Pulo Aceh. Penabalan William’s Torren sebagai nama mercusuar merupakan penghormatan kepada Raja Luksemburg Willem Alexander Paul Frederich Lodewijk.

Kala itu, Belanda ingin membangun pelabuhan besar di Sabang dan mercusuar itu menjadi penunjuk arah kapal-kapal pengangkut hasil bumi merapat ke pelabuhan. Pada masa lampau, Pulo Aceh adalah penghasil kopra dan cengkeh. Setelah Belanda pulang, bangunan itu dibiarkan begitu saja.

Saat berada di atas mercusuar, Samudra Hindia dan Selat Malaka terlihat tanpa penghalang. Lautan luas terhampar dibatasi kaki langit. Di atas laut yang tenang, belasan perahu nelayan hilir-mudik. Hanya suara debur ombak pecah membentur tebing yang terdengar. Burung-burung laut terbang rendah bersama embusan angin timur yang tenang.

Tidak terlalu jauh dari lokasi itu, Pulau Sabang terlihat ditutup kabut. Pulau Rondo di sisi Pulau Sabang dengan ukuran lebih kecil seperti mengapung di atas permukaan air.

Pantai dengan pasir bersih dan air biru seperti mengajak siapa saja untuk menceburkan diri ke dalamnya.

Mercusuar William's Torren yang dibangun pada 1875 oleh Kolonial Belanda masih berdiri tegak di Desa Meulingee, Pulo Aceh, Aceh Besar, Aceh, Jumat (9/9). Berada di puncak mercusuar itu keindahan Samudera Hindia dan Selat Malaka terlihat tanpa penghalang. Pulo Aceh memiliki potensi wisata bahari, namun terabaikan. Kompas/Zulkarnaini (AIN) 09-09-2016 PESONA NUSANTARA
Mercusuar William’s Torren yang dibangun pada 1875 oleh Kolonial Belanda masih berdiri tegak di Desa Meulingee, Pulo Aceh, Aceh Besar, Aceh, Jumat (9/9). Berada di puncak mercusuar itu keindahan Samudera Hindia dan Selat Malaka terlihat tanpa penghalang. Pulo Aceh memiliki potensi wisata bahari, namun terabaikan.
Kompas/Zulkarnaini (AIN)
09-09-2016
PESONA NUSANTARA

Terabaikan

Pulo Aceh adalah kecamatan di Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Kecamatan Pulo Aceh terdiri atas gugusan pulau-pulau kecil. Dari sejumlah pulau, hanya Pulo Breuh (beras) dan Pulo Nasi yang berpenghuni.

Pulo Breuh dan Pulo Nasi dipisah laut 400 meter. Meski dua pulau tersebut masuk dalam satu kecamatan, warga Pulo Nasi dan Pulo Breuh justru lebih sering bertemu di Banda Aceh. Penyebabnya, tidak ada kapal yang rutin berlayar antarpulau. Warga berharap, suatu saat pemerintah membangun jembatan penghubung dua pulau.

Warga Pulo Breuh, Muhammad Asyik (50), mengungkapkan asal usul pulau itu diberi nama Pulo Nasi dan Pulo Breuh. ”Tempo dulu, saat berlayar dari Banda Aceh ke Pulo Nasi, orang cukup membawa nasi karena letaknya lebih dekat, pergi pagi pulang sore. Kalau ke Pulo Breuh, harus membawa beras karena letaknya jauh sehingga harus menginap. Jika membawa nasi, bisa basi,” kata Asyik.

Di Pulo Aceh terdapat 17 desa dengan jumlah penduduk sekitar 5.000 jiwa. Pekerjaan warga Pulo Aceh adalah mencari ikan di laut dan bertani. Di perairan Pulo Aceh terdapat berbagai jenis ikan, tetapi yang paling banyak dicari adalah gurita, pari, dan tuna.

”Sering-seringlah ke sini, ikannya segar-segar. Orang sini cerdas dan sehat karena makan ikan segar,” ujar Asyik.

Kepala Mukim Pulo Breuh Selatan Sofyan Abdullah mengatakan, daerah mereka minim pembangunan. Jalan-jalan belum semua diaspal. Daya listrik masih kurang. Jaringan telepon seluler belum menjangkau ke semua desa. Puskesmas sering ditinggal pergi petugas yang tidak betah menetap di Pulo Aceh.

”Gedung sekolah sudah bagus, tetapi tidak ada guru. Anak-anak di pulau banyak yang putus sekolah,” kata Munzir.

Satu-satunya alat transportasi ke sana hanya dengan kapal kayu yang dikelola warga setempat. Jadwalnya setiap hari, kecuali Jumat. Dengan kapal kayu itu pula barang kebutuhan sehari-hari diangkut.

Pada Kamis (8/9) siang , cuaca tidak begitu baik, angin bertiup kencang dan ombak tinggi. Kapal kayu berukuran 30 gros ton (GT) secara perlahan meninggalkan Pelabuhan Ikan Lampulo, Banda Aceh. Sekitar 100 penumpang duduk berimpitan. Dalam keadaan berdesak-desakan, mereka harus berbagi tempat dengan kardus mi instan, tandan pisang, dan barang lain. Saat lambung kapal diterjang gelombang, penumpang ikut basah.

Hotli (44), warga Banda Aceh, yang sudah lama memendam rasa berkunjung ke William’s Torren, terhuyung-huyung saat kapal kayu diempas gelombang. Dua jam berlayar dari Lampulo, kapal itu merapat di dermaga Desa Lampuyang.

Mercusuar terletak di Desa Meulingge, desa paling ujung di Pulo Breuh. Dari Lampuyang, dengan menggunakan sepeda motor butuh waktu sekitar dua jam untuk sampai di Meulingge. Dari Meulingge, perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki selama satu jam.

”Indah sekali bangunan ini. Saya kagum sekaligus iri bagaimana orang Belanda bisa bangun gedung sekokoh ini,” kata Hotli. Dia mengarahkan kamera ke setiap sudut bangunan.

Hotli juga mengagumi keindahan pantai di Pulau Breuh. ”Pulo ini memiliki potensi wisata bahari, tetapi belum dikelola dengan baik,” kata Hotli.

Potensi wisata Pulo Aceh memang belum dikelola. Di kawasan itu tidak ada angkutan umum, rumah makan, dan penginapan. Hotli beruntung punya kenalan dan diizinkan menginap di rumahnya.

Namun, warga Pulo Aceh menyambut baik setiap wisatawan. Mereka tidak segan menyuguhkan ikan-ikan segar dan mengajak menyeruput kopi di tepi pantai sambil menunggu matahari tenggelam.

Zulkarnaini


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 September 2016, di halaman 23 dengan judul “Dari Puncak William’s Torren”.

Comments are closed.