Bus bergerak malas menuju ke arah barat daya dari pusat Kars. Kota yang menjadi latar belakang kisah dalam novel karya Orhan Pamuk, ”Snow” (2002), itu seperti gerbang menuju reruntuhan Ani; kota purba yang pertama kali disebut para ahli sejarah Armenia pada abad ke-5.
Suhu tertinggi kota berpenduduk 80.000 jiwa di ujung timur laut Turki itu sekitar 23-24 derajat celsius dan suhu terendah pada musim dingin mencapai minus 12 derajat celsius. Suasana kota Kars yang terletak pada ketinggian 1.767 meter di atas permukaan laut itu mirip Jakarta tahun 1970-an, tetapi sejarahnya sangat tua dalam peradaban dunia.
Perjalanan sepanjang 42 kilometer, suatu hari, awal bulan September, ditemani kebun bunga di sepanjang jalur dan angin yang menyeret awan. Kuda-kuda berjingkrak di kejauhan dibingkai langit biru yang beningnya seperti kaca. Lalu, Gunung Ararat menyeruak menembus kabut, perlahan, mengapung di antara lautan awan.
Burung layang-layang terbang memasuki hamparan awang-awang, mengingatkan pada keping-keping ruang di dalam Bahtera Nuh, yang reruntuhannya diyakini tertinggal di gunung berapi berselimut salju dan senyawa aktif itu.
Dan, tiba-tiba kami sudah berhadapan dengan dinding kota tua itu.
Jalur Sutra
Memasuki gerbang dengan pintu raksasa yang sedang direstorasi, kami langsung berhadapan dengan padang terbentang dibatasi kaki langit. Reruntuhan yang menghuninya terserak di dataran bunga liar, dilatari Gunung Ararat yang konon adalah tempat kelahiran peradaban.
Dinding kokoh setinggi lebih 20 meter memagari wilayah yang pada suatu masa menjadi rumah dari lebih 100.000 orang, namun kemudian hancur dan terabaikan beberapa abad bersama sejarah yang tertimbun di dalamnya.
Situs yang—menurut data Pusat Warisan Budaya Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO)—luasnya 250,7 hektar dengan daerah penyangga seluas 432,45 hektar itu terletak di suatu dataran tinggi terpencil di Timur Laut Turki, menghadap ke suatu jurang yang merupakan perbatasan alami dengan Armenia.
Menurut para ahli, penataan kota yang pernah dijuluki ”Kota 1.001 Gereja” itu menggabungkan permukiman, rumah-rumah ibadah, dan struktur militer; karakteristik urbanisme abad pertengahan yang dibangun berabad-abad oleh dinasti Kristen, kemudian Islam. Situs kota purba Ani mengungkap gambaran komprehensif evolusi arsitektur abad pertengahan dari hampir semua inovasi arsitektur pada kurun abad ke-7 sampai ke-13.
Ani berkembang pada abad ke-10-11, saat menjadi ibu kota Kerajaan Armenia dan menguasai salah satu cabang Jalur Sutra. Posisi sebagai persimpangan penting kafilah pedagang itu dipertahankan saat wilayah itu berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Byzantium, Seljuk, dan Georgia. Rute perdagangan kota dikendalikan antara Byzantium, Persia, Suriah, Kaukasus, dan Asia Tengah.
Kegiatan perdagangan di lintasan Jalur Sutra ini, konon, sangat ramai, dihidupkan oleh para pedagang tekstil, rempah-rempah, garam, parfum, dan produk kulit dari Turki, Armenia, Georgia, Persia, Arab, dan Rusia, riuh dipadu kegiatan rumah tangga, pasar rakyat, dan kegiatan ekstraksi biji-bijian.
Pada abad ke-13 kota itu mengalami dua kali serangan Bangsa Mongol sebelum gempa bumi tahun 1319 meluluhlantakkannya. Kondisi kota terus memburuk sehingga ditinggalkan penghuninya, pertengahan abad ke-17.
Senyap panjang yang membungkus sejarahnya disingkapkan saat situs arkeologi itu ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO, 15 Juli 2016.
Ketegangan politik
Ketegangan Turki-Armenia adalah salah satu faktor utama pengabaian kota purba itu sehingga restorasi sulit dilakukan. Pemandu kami pun lebih banyak memapar sejarah dengan fokus pada pengaruh Turki dan Islam di kota purba itu, disertai peringatan, ”Jangan memotret ke arah perbatasan Armenia, kalau tidak mau kena masalah,” ujarnya, tertawa sambil menyeringai.
Bendera Turki yang berkibar di beberapa tempat, tentara bersenjata, dan tanda-tanda peringatan militer dapat menjadi petunjuk betapa segala sesuatu terkait kota purba itu, termasuk restorasi dan sejarah, merupakan locus politik yang terus-menerus memicu ketegangan.
Sejarah menunjukkan, kota purba Ani adalah simbol multikultural, ditunjukkan dalam bangunan keagamaan, istana, benteng, dan jembatan, dengan struktur teknis dan arsitektur yang merupakan perpaduan artistik dari berbagai kebudayaan.
Menyusuri sebagian reruntuhan dan galian, terlihat sisa jembatan, biara-biara di pinggir sungai, dan sisa-sisa peralatan dari perunggu dan besi. Dinding dari batu keemasan memunculkan relief lukisan dinding. Keheningan misterius membungkus siang di antara puing-puing material dan bangunan dari zaman purbakala.
Di kota purba itu terdapat masjid tertua di Anatolia, Masjid Manuchihr, mengambil nama penguasa yang membangun masjid itu. Menaranya tegak sendirian mengisi ruang kosong, seperti menjaga bangunan yang tersisa. Juga reruntuhan gereja-gereja Katolik Armenia dan simbol multikultural yang diduga sebagai kuil api Zoroastrian.
Permata dari kota purba adalah Katedral Ani, karya arsitek Trdad dari Kerajaan Bagratid, Armenia, yang juga merekonstruksi kubah Hagia Sophia di Konstantinopel (sekarang Istanbul). Arsitektur di dalam basilika bercorak Gothic itu dibangun tahun 1001, kemudian diubah menjadi Masjid Agung Fethiye pada tahun 1071, saat Ani berada di bawah kekuasaan Kerajaan Seljuk.
Tetapi biarlah, zaman mengukir sejarahnya. Roh peradaban yang terkandung dalam reruntuhan, bagi saya, jauh lebih penting ketimbang politik kekuasaan, apalagi politik agama. Para perajin, arsitek, dan pemahat yang menghasilkan karya seni untuk menghiasi Ani seharusnya mendapat penghormatan dengan ditulis namanya pada papan informasi di pintu masuk. Merekalah, dan bukan para raja dari dinasti apa pun, yang membangun Ani.
Hari itu sungguh dipadati rasa kagum. Akan tetapi, jika Anda menanyakan kesan tentang Ani, jawabannya akan mengecewakan, karena tak ada deskripsi yang dapat melampaui pengalaman saat berada di tengah reruntuhan. Hormat terdalam kepada kota purba yang pada zaman modern ini menjadi simbol sangat penting dari keragaman budaya dunia.
Matahari mulai turun saat kami meninggalkannya. Kawanan burung layang-layang semakin mendekat ke tanah. Gerombolan angsa berbaris melintasi padang depan gerbang. Kota misterius Ani segera tenggelam dalam temaram petang yang menjelang, sebelum ditelan kegelapan malam.
*) Maria Hartiningsih, jurnalis dan penulis, tinggal di Jakarta.
Maria Hartiningsih
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 September 2016, di halaman 29 dengan judul “Suatu Hari di Kota Purba, Ani”.