Hari Tani Nasional setiap 24 September adalah hari penting bagi Indonesia sebagai negara agraris. Namun, di tengah momen itu, lahan pertanian kita justru kian menyusut seiring penurunan minat kaum muda jadi petani. Untunglah, ada sejumlah anak muda yang menggairahkan sektor ini secara kreatif.
Data Biro Pusat Statistik tahun 2009 menunjukkan, jumlah petani di Indonesia mencapai 44 persen dari total angkatan kerja atau sekitar 46,7 juta jiwa. Artinya, mayoritas penduduk negeri ini menggantungkan hidup pada sektor pertanian. Mereka juga yang menghasilkan pangan.
Hanya saja, lahan pertanian kita kian menyusut akibat beralih fungsi menjadi pabrik, pariwisata, jalan, perumahan, pertokoan, hingga kawasan industri. Saat bersamaan, sektor ini kurang memikat anak muda meski banyak perguruan tinggi membuka fakultas pertanian.
Meski demikian, jangan berkecil hati. Masih banyak anak muda yang terjun dalam bidang pertanian. Mereka menjalankan pertanian secara kreatif. Untuk mengatasi keterbatasan lahan, mereka mengembangkan pertanian di kota alias urban farming.
Mereka memanfaatkan lahan di bantaran sungai, atap gedung, menyusun pertanian vertikal, atau mengembangkan teknik hidroponik. Pendekatan ini menjadi alternatif untuk menghasilkan pangan, seperti sayuran dan buah segar, serta tanaman rempah dan obat.
”Saya ingin menjadi petani yang punya ilmu dan membagikan ilmu itu di daerah asal saya di Pare, Kediri,” kata Tiya Farisa Agustin, mahasiswa semester III Fakultas Pertanian (Faperta) Institut Pertanian Bogor, Selasa (20/9).
Menurut Tiya, menjadi petani harus paham tanaman, hama, penyakit, serta iklim dan siklus. ”Hama memiliki siklus dan musim sehingga petani jangan menanam tanaman kesukaan hama,” ujarnya.
Ia juga berambisi menyebarluaskan pengetahuan itu kepada para petani. ”Di Kediri, ada perkumpulan mahasiswa berbagai ilmu. Kami ingin berbakti dan memajukan daerah,” ujarnya.
Perempuan itu memilih studi di fakultas pertanian karena banyak orang di desa asalnya yang menjadi petani atau buruh tani, termasuk ayahnya. ”Produktivitas pertanian di lahan yang sama terus menurun,” ujarnya.
Menarik juga pengalaman Ni Putu Ayu Yulia Dewi, mahasiswa semester VII Jurusan Agribisnis Faperta Universitas Udayana, Denpasar, Bali. Dia tak malu menjadi petani atau kelak mencantumkan profesi petani di kartu identitasnya.
”Saya suka jadi petani, tetapi petani modern. Saya sering lihat ibu menanam di rumah dan akhirnya saya juga senang. Di halaman rumah, saya menanam bunga dan herba rempah,” katanya.
Beberapa bulan lalu, Yulia dan teman-temannya mengikuti kompetisi Teras Usaha Mahasiswa dengan mengusung konsep Bali Urban Herbs and Souvenir. ”Semua anggota tim menanam herba rempah di rumah, tak hanya mengajak petani,” ujarnya.
Yulia yakin, petani punya masa depan bagus karena bidang usahanya dari hulu ke hilir. ”Jenis usahanya beragam, mulai dari bisnis cendera mata, pengolahan makanan, penjualan produk, hingga wisata terkait pertanian.”
Terobosan
Simak juga terobosan sekelompok anak muda di Bandung, yaitu Ronaldiaz Hartantyo, Robbi Zidna Ilman, Adi Reza Nugroho (ketiganya lulusan Teknik Arsitektur Institut Teknologi Bandung), dan Annisa Wibi Ismarlanti (alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran). Mereka membuat growbox, kotak kecil berisi media tanam dan bibit jamur tiram. Jamur itu bisa tumbuh sekitar 2-4 pekan dan dipanen 3-4 kali per bulan.
Bermitra dengan petani di Bandung, mereka memproduksi growbox yang dilengkapi alat semprot dan petunjuk penanaman. Berkat promosi di media sosial, produk itu cukup menarik publik. Kelompok ini juga menciptakan aneka resep dari jamur.
”Banyak orang berpikir, jamur hanya bisa dioseng dan digoreng, padahal bisa jadi ganti kelapa untuk klapertart, loh. Rasanya enak,” ujar Annisa.
Dari Makassar, Sulawesi Selatan, ada dua mahasiswa Universitas Hasanuddin, M Zulfikri Al-Qowy Yusring (Jurusan Teknik Elektro) dan Achmad Nur Fachry Machmud (Jurusan Teknik Sipil) yang mendirikan Kafe Pacco. Kafe ini menjual aneka makanan dari talas, seperti onde yang diisi cokelat, daging ikan, dan isian lezat lain.
Untuk mengamankan stok, mereka mengajak petani setempat menanam talas. Setelah memenangi lomba inovasi Teras Usaha Mahasiswa di harian Kompas, keduanya kian semangat mengembangkan talas.
Nah, apakah kalian tertarik menjadi petani kreatif dan gaul seperti mereka?
TIA/TRI
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 September 2016, di halaman 25 dengan judul “Kisah Para Petani Gaul”.