Pantau Medsos, Baru Nonton Film

0
787

”Kangen pelm Warkop DKI, Warkop DKI Reborn top bgt skl‎, nonton di Platinum Magelang”, demikian kicauan akun @guntur1897 di Twitter. Akun Radio Venus di Makassar yang pengikutnya cukup banyak, menulis, ”WarkopDKIReborn Jangkrik Boss dijamin bikin kamu ngakak”. Akun lain berkicau, ”akhirnya nonton juga setelah istrinya (yang nonton duluan), ngakak-ngakak”.

Begitulah media sosial di jagat maya bekerja. Tanpa diminta, tanpa dibayar, orang-orang menuliskan kesan mereka menonton film atau mempromosikannya melalui Twitter, Facebook, Path, Instagram, dan Youtube. Jika satu postingan bagus menjadi viral, hal itu ibarat promosi gratis bagi produser. Ratusan atau ribuan orang terusik, penasaran, lalu menjadwalkan hari untuk datang ke bioskop.

”Kami memasang iklan di medsos (media sosial), tapi sama sekali tidak membayar buzzer,” kata ‎produser film Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss (Part 1) dari Falcon Pictures, Frederica.Buzzer yang dimaksud adalah orang yang diminta untuk mendengungkan isu lewat medsos. Mereka yang dipilih menjadi buzzer biasanya memiliki pengikut sangat banyak, di atas 10.000 pengikut di Twitter.

Hanya 10 persen dari total budget promosi Warkop DKI Reborn yang besarnya Rp 15 miliar ‎dialokasikan untuk media sosial. Selebihnya, promosi konvensional, seperti iklan di televisi, radio, media cetak, dan media dalam jaringan (daring), poster, baliho, plus acara bincang-bincang.

Belum jelas seberapa besar pengaruh kicauan di medsos jika dibandingkan dengan iklan konvensional. Namun, pengaruh itu bisa dirasakan, dan sangat besar.

Para pemain film Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss!, Abimana Aryasatya (kiri), Vino G Bastian (kedua kiri), Indro (kedua kanan) dan Tora Sudiro menghibur pengunjung usai jumpa pers di Surabaya, Kamis (15/9). .  Antara/Moch Asim 15-09-2016
Para pemain film Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss!, Abimana Aryasatya (kiri), Vino G Bastian (kedua kiri), Indro (kedua kanan) dan Tora Sudiro menghibur pengunjung usai jumpa pers di Surabaya, Kamis (15/9). .
Antara/Moch Asim
15-09-2016

Sutradara Warkop DKI Reborn, Anggy Umbara, masih terus berkicau di Twitter hingga kini, saat jumlah penonton filmnya itu mencapai 3.735.000 orang (sembilan hari pemutaran sejak 8 September lalu). Ia juga menggandakan postingan (retweet) cuitan yang memasang tanda pagar atau hashtag #WarkopDKIReborn.

Di medsos, Anggy tidak pelit berbagi ide dan ilmu. ‎Ia, misalnya, menulis, ”kesuksesan film versi gua berada di 1. Kesuksesan cerita/hiburan pada temanya. 2. Pemain (kualitas dan nilai jual). 3. Eksekusi. 4. Promosi”.

Begitulah ketika para pemilik akun medsos dari seluruh Indonesia riuh berkicau. Cukup dilihat melalui layar telepon pintar.

Hal ini cocok dengan pernyataan Benny H Hoed (Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, 2008), bahwa manusia melihat ruang sebagai kepanjangan dirinya. Medsos adalah ruang itu, bahkan film pun menjadi semacam ruang gagasan yang sangat dekat. Mereka juga memberikan makna dan fungsi kepada ruang. ”Braga, BTC, Empire, Jatos, semua full show untuk Warkop. Anggy dan Falcon ngeri!” tulis akun @rajalubis_ dari Bandung.

Organik dan non-organik

Kini, hampir semua perusahaan film memanfaatkan media sosial untuk berpromosi. Pemilik Star Vision Plus, Chand Parwez Servia, mengatakan, ada dua versi promosi di medsos, organik dan non-organik.

Star Vision menggunakan keduanya. Organik adalah promosi yang tumbuh secara natural karena melibatkan para aktivis medsos yang juga terlibat dalam film. Promosi seperti ini misalnya diterapkan untuk film Koala Kumal lewat pemain utamanya, Raditya Dika, yang meraih 1,8 juta penonton.

Promosi non-organik yang dimaksud Parwez adalah promosi yang melibatkan buzzer. ”Ternyata lebih efektif yang organik daripada yang non-organik. Yang organik, efeknya menimbulkan lebih dari sekadar tahu, karena ada keterlibatan, hingga terjadi perluasan cakupan di medsos. Banyak retweet kalau di ‎Twitter. Banyak views dan comment kalau di Youtube dan Instagram,” ucap Parwez.

Untuk mengatasi kurang efektifnya buzzer, Parwez memilih membentuk tim medsos. Mereka bertugas menginformasikan materi-materi film.

Film Ada Apa dengan Cinta 2 sebagai kepanjangan diri para pemilik akun di medsos juga sangat bisa dirasakan. Bagaimana film itu diperbincangkan, diutak-atik isunya dengan gambar dan kalimat lucu, lantas viral.

Padahal, dana promosi di medsos tidak sebesar pasang iklan di televisi. Dana promosi AADC2 di medsos sekitar Rp 1 miliar tunai dan Rp 1 miliar barter digital. ”Barter digital itu, sponsor-sponsor kami ikut promo di media digital,” kata pemilik Miles Films, Mira Lesmana. Hasilnya, 3,6 juta penonton.

Film Habibie & Ainun (2012) produksi MD Pictures ‎pun begitu gencar dibahas di medsos. Sutradaranya, Hanung Bramantyo, yang punya 593.000 pengikut di Twitter, rajin berkicau. Hasilnya, 4.529.894 penonton dari jaringan Bioskop 21 dan 127.000 penonton dari bioskop di luar jaringan tersebut.

”Kalau ditambah dengan nonton bareng, total menjadi 4.757.589 penonton. Ini sebetulnya melampaui Laskar Pelangi, ya,” klaim Manajer Humas MD Pictures, Mita Nurani. Sebagai catatan, film Laskar Pelangi meraih 4.631.841 penonton.

Promosi film via medsos, lagi-lagi, pas belaka dengan ulasan Yuswohady bertahun-tahun lalu dalam Crowd: Marketing Becomes Horizontal (2008), ketika teknologi berbasis web 2.0 hadir. Menurut dia, konsumen mengelompok, berinteraksi intens, dan membentuk komunitas. Konsumen mendengarkan rekomendasi sesama konsumen. Jika ulasan satu film di medsos buruk atau tak memenuhi selera, lalu viral, tamatlah nasib film itu.

Meski demikian, promosi hanya satu unsur dari serangkaian penentu kesuksesan film. Konten adalah panglima meski harus menyesuaikan pula dengan selera penonton. Selera penonton ini tidak selalu mudah ditebak‎. ”Nah, Anggy dan Naveen (bos Falcon Pictures) termasuk yang sadar penonton,” tukas Ketua Badan Perfilman Indonesia Kemala Atmojo.

Susi ivvaty


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 September 2016, di halaman 5 dengan judul “Pantau Medsos, Baru Nonton Film”.