Total Meramu yang Lokal

0
847

Memasuki tahun ke-11, Jogja Fashion Week semakin menemukan bentuknya. Tak ingin mengekor pada tren Jakarta, apalagi berkiblat pada Milan atau Hongkong, Jogja Fashion Week 2016 memamerkan kreativitas lokal yang benar-benar mengusung etnik lokal. Mengambil tema ”The Heritage”, kearifan lokal lewat batik dan lurik mati-matian diramu desainernya.

Jogja Fashion Week digelar pada 24-28 Agustus di Jogja Expo Center, menampilkan karya lebih dari 50 perancang busana, dan mengetengahkan lebih dari seribu karya. Hampir seluruh desainer menggandeng perajin batik dan terjun langsung mulai dari proses desain, membatik, hingga membawanya ke catwalk.

Selain desainer kawakan, Jogja Fashion Week 2016 juga menjadi panggung bagi usaha mikro, kecil, dan menengah. Pada Kamis (25/8), dengan tema”Cross Style”, panggung mini showmenampilkan karya dari beberapa desainer, seperti Owens Joe, Joko SSP, Hanif Aisyah Nanjaya, Rosa Rovida, dan Paradise.

Owens Joe memikat mata pengunjung dengan rancangan bertema ”Suryo Mojopahit”. ”Saya ingin menampilkan surya majapahit sebagai simbol Kerajaan Majapahit. Seluruh desain disesuaikan dengan warna gula kelapa. Mengambil garis-garis dengan bahan nyaman sehingga bisa dikenakan siapa pun,” kata Owens Joe dalam jumpa pers sebelum penyelenggaraan peragaan busana.

Warna gula kelapa yang dimaksud sekilas tampak seperti warna batu bata. Keanggunan warna diperoleh dengan ramuan pewarna indigoso dari Jerman. Gaun ataupun celana panjang seluruhnya longgar sehingga begitu nyaman dipakai, tetapi tetap elegan. Meskipun sekilas tampak sederhana, rancangan Owens tampil begitu eksklusif mengusung motif klasik batik kawung dengan ramuan energi kreatif.

Rangkaian kawung dengan ukuran sebesar koin mata uang dijamin bakal menyedot perhatian karena tampil dalam paduan warna merah bata, hitam, dan emas. Uniknya, bulatan motif kawung serupa kelopak bunga ini tampak pas ketika ditabrakkan dengan motif lain seperti polkadot ataupun motif kotak-kotak.

Bukan hanya kawung, batik klasik lainnya seperti parang juga ditampilkan oleh desainer Joko SSP. Mengambil tema ”Ethnic City”, Joko menghadirkan perpaduan batik dengan kebaya cantik. Joko membagi koleksinya menjadi baju reguler bernuansa warna merah serta kebaya pernikahan dengan sutra dominansi warna hitam. ”Sekuel budayanya masih tetap kelihatan,” kata Joko tentang koleksinya.

Kebaya-kebaya modern indah dari berbagai macam bahan yang diibaratkan sebagai simfoni disuguhkan oleh Hanif Aisyah Nanjaya. Meski menghadirkan kebaya pengantin, Hanif yang sebelumnya merupakan desainer gaun kebaya pernikahan yang digunakan Rakabuming Raka (putra Presiden Joko Widodo) dengan Selvi Ananda tak mau terpaku pada motif batik klasik yang biasanya dipakai pengantin Jawa seperti sidomukti atau wahyu tumurun.

Jogja Fashion Week desainer Bella Quarta Kompas/Riza Fathoni (RZF) 25-08-2016 Untuk Aksen Koming Tulisan WKM
Jogja Fashion Week desainer Bella Quarta
Kompas/Riza Fathoni (RZF)
25-08-2016
Untuk Aksen Koming Tulisan WKM
Aksen karya Afif Syakur Arsip Pribadi 09-09-2016
Aksen karya Afif Syakur
Arsip Pribadi
09-09-2016

Percampuran mode

Sebagai panggung dari percampuran mode, Cross Style juga menghadirkan karya-karya busana muslimah lengkap dengan kerudung modern hingga syar’i. Desainer Rosa Rovida menampilkan busana serba kurung dengan potongan panjang lengkap dengan kerudung panjang. Batik mempermanis penampilan sebagai hiasan pada gaun terusan panjang ataupun pada rompi busana atasan.

Desainer dari Paradise menghadirkan 30 busana muslimah yang seluruhnya menghindari pemakaian celana panjang dan kental menghadirkan konsep garis-garis geometrik dengan suguhan warna hitam, putih, merah, dan abu-abu. Busana batik muslimah juga dihadirkan oleh MLK Batik Nusantara ataupun desainer Indah Ederra.

Keindahan batik yang diciptakan lewat kerja sama desainer dan pebatik menjadi kekuatan dari Jogja Fashion Week kali ini. Selama ini, menurut Ketua Panitia Pelaksana Jogja Fashion Week 2016 Afif Syakur, banyak pola batik yang tidak pas saat digunting menjadi pakaian jadi karena tidak ada komunikasi antara desainer dan pebatik. ”Desainer harus menjadi konseptor dari sejak sebelum proses pembatikan,” kata Afif.

Pada Sabtu (27/8), Afif bersama desainer kawakan Yogyakarta, seperti Philip Iswardono dan Lia Mustafa, juga turut mempertontonkan desain batik dengan tema ”Gedangsari”. Batik-batik yang dibuat para pebatik di Gedangsari, Gunung Kidul, disuguhkan dengan warna kesegaran baru yang sudah meninggalkan wujud batik klasiknya.

Gaun-gaun cocktail, terusan sehari-hari di atas lutut yang disuguhkan Afif Syakur, misalnya, menampilkan perpaduan warna merah menyala dan hitam dengan motif batik yang terkesan muda. Motif batik yang disuguhkan didominasi dedaunan berukuran relatif besar, tanpa motif isian, dan sama sekali telah meninggalkan jejak motif klasik ala Yogyakarta.

”Harus menyederhanakan batik dengan memadukan dengan bahan lain atau menyederhanakan motif. Batik klasik sering kali rumit dengan isen-isen. Jadul kayak pak lurah atau mau ke acara pengantin. Hanya ambil motif inti tanpa isen menjadikan busana yang up to date dengan padu padan,” tambah Afif.

Dari gula kelapa Majapahit hingga busana muslimah yang syar’i, Jogja Fashion Week menghadirkan karya batik yang tak pernah lekang oleh waktu. Batik yang menolak untuk dianggap jadul atau ndeso. Batik yang terus bergerak mengikuti arus zaman, tanpa meninggalkan kekhasannya sebagai batik yogyakarta.

Jogja Fashion Week desainer Joko SSP Kompas/Riza Fathoni (RZF) 25-08-2016 Untuk Aksen Koming Tulisan WKM
Jogja Fashion Week desainer Joko SSP
Kompas/Riza Fathoni (RZF)
25-08-2016
Untuk Aksen Koming Tulisan WKM
Jogja Fashion Week - Peserta pawai Jogja Fashion Week melintas di Jalan Malioboro, Yogyakarta, Minggu (28/8). JFW kembali digelar untuk menggairahkan industri kreatif bidang busana di Yogyakarta. Kompas/Ferganata Indra Riatmoko (DRA) 28-09-2016
Jogja Fashion Week – Peserta pawai Jogja Fashion Week melintas di Jalan Malioboro, Yogyakarta, Minggu (28/8). JFW kembali digelar untuk menggairahkan industri kreatif bidang busana di Yogyakarta.
Kompas/Ferganata Indra Riatmoko (DRA)
28-09-2016

Mawar Kusuma


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 September 2016, di halaman 22 dengan judul “Total Meramu yang Lokal”.