Butuh waktu setidaknya dua hari untuk mengelilingi Danau Toba, danau tekto-vulkanik, dengan menggunakan kapal. Mengelilingi danau via darat membutuhkan waktu yang jauh lebih lama karena banyak jalur yang hanya bisa dilalui dengan sepeda motor atau sepeda.

Kaldera seluas 1.100 kilometer itu wajib dikelilingi jika ingin melihat danau secara utuh karena tiap sudut memiliki panorama yang berbeda. Meskipun berbeda semua sudut sejatinya menyiratkan hal yang sama, yakni keheningan.

Berselingan antara sepeda motor dan kapal, Kompas menyusuri sebagian kecil Danau Toba akhir Juni lalu. Terbang 2 jam 15 menit dari Jakarta, kami mendarat di Bandara Silangit Tapanuli Utara yang kini semakin ramai setelah makin banyak pesawat membuka rute Jakarta-Silangit.

Dari Silangit perjalanan dilanjutkan ke Balige. Dari Balige perjalanan dengan kapal rakyat bisa dilakukan ke berbagai penjuru danau karena ada kapal umum di situ, meskipun hanya melayani perjalanan sehari sekali. Kapal angkutan umum Andiri milik Aken Siringo-ringo mengantar kami dari Balige ke Pulau Sibandang, pulau mungil di Kabupaten Tapanuli Utara, hasil letusan supervulcano Toba 74.000 tahun lalu.

Seorang anak melompat dari atas kapal wisatawan yang berlabuh di Kawasan Tuktuk, Samosir, Sumatera Utara, Senin (22/8). Danau vulkanik terbesar di Asia Tenggara ini menjadi tempat bermain dan belajar bagi anak-anak yang tinggal di sekitarnya. Kompas/Wisnu Widiantoro (NUT) 22-08-2016
Seorang anak melompat dari atas kapal wisatawan yang berlabuh di Kawasan Tuktuk, Samosir, Sumatera Utara, Senin (22/8). Danau vulkanik terbesar di Asia Tenggara ini menjadi tempat bermain dan belajar bagi anak-anak yang tinggal di sekitarnya.
Kompas/Wisnu Widiantoro (NUT)
22-08-2016

Sepanjang perjalanan, pemandangan bukit-bukit menghijau yang terbentuk dari aktivitas vulkanik terpapar di pinggir danau yang luas. Mata dimanjakan oleh warna air biru berpadu dengan bukit hijau, dan langit biru dengan mega berarakan. Indah, lapang, dan hening. Ditambah angin semilir bertiup, keriuhan yang masih terbawa dari kota lenyap menguap. Kapal Aken yang bertuliskan kalimat ”Kepingan Surga” pun menemukan maknanya.

Dermaga Pulau Sibandang yang dipenuhi pohon-pohon kemiri besar dipenuhi warga yang baru saja selesai berpesta adat di Sibandang. Berpakaian rapi, para ibu dan bapak itu menunggu kapal yang akan menyeberangkan mereka ke Pulau Sumatera. Desa kecil yang damai penghasil mangga itu memiliki rumah adat batak yang bagus, terawat, dan masih ditempati hingga kini.

Dari Balige, ada juga kapal sayur menuju ke Nainggolan di Pulau Samosir. Sambil membawa sepeda motor, kami menumpang kapal sayur bersama pedagang-pedagang yang membawa tahu, telur, wortel, dan aneka kebutuhan rumah tangga. Kapal riuh karena seluruh penumpang saling kenal satu sama lain sehingga suasana menjadi hangat.

Aktivitas kapal penyeberangan  di sekitar Dermaga Sibandang, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara, Senin (20/6). Selain menjadi transportasi utama warga, kapal penyeberangan juga bisa menjadi pilihan bagi wisatawan untuk menikmati keindahan Danau Toba. Kompas/Wisnu Widiantoro (NUT) 20-06-2016 Untuk Liputan Indeks Pariwisata  Danau Toba
Aktivitas kapal penyeberangan di sekitar Dermaga Sibandang, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara, Senin (20/6). Selain menjadi transportasi utama warga, kapal penyeberangan juga bisa menjadi pilihan bagi wisatawan untuk menikmati keindahan Danau Toba.
Kompas/Wisnu Widiantoro (NUT)
20-06-2016
Untuk Liputan Indeks Pariwisata
Danau Toba

Sampai Nainggolan perjalanan dilanjutkan dengan sepeda motor berkeliling tepian Danau Toba di Pulau Samosir lalu menyeberang dengan kapal kecil ke Pulau Sumatera. Udara sangat segar, angin bertiup semilir. Di daerah pegunungan suhu udara bisa mencapai 15 derajat celsius.

Hati selalu tergoda untuk selalu berhenti sekadar duduk di pinggir danau menikmati pemandangan paduan antara danau, tebing, sawah, dan kerbau-kerbau yang digembalakan. Perbedaan panorama di tiap sudut begitu terasa.

Menikmati danau dari dataran tinggi Sianjur Mula-Mula di lereng Gunung Pusuk Buhit yang berangin—tempat yang dipercaya sebagai asal-usul orang Batak— akan berbeda dengan menikmati danau dari sudut Desa Sigaol, Kecamatan Pangururan, Samosir, jarak tersempit Pulau Samosir dengan daratan Sumatera.

Budaya megalitik

Pengalaman di kedua tempat itu juga tidak sama dengan di Desa Sibulan, Kecamatan Palipi, Samosir, yang pinggiran danaunya dipenuhi tanaman padi siap panen dalam sawah terasering. Itu juga jauh berbeda dengan di depan Pulau Tulas, pulau mungil di Sianjur Mula-Mula.

Secara umum Danau Toba bisa dibagi menjadi dua kawasan, yakni kawasan yang sudah terbuka untuk wisatawan di bagian utara timur danau, seperti Parapat, Tuk­Tuk, Tomok, Balige, Muara dan Tongging. Hotel dan infrastrukturnya sudah tersedia meskipun belum tertata.

Yang kedua ada di bagian selatan­barat yang masih asli, seperti di Nainggolan, Sihotang, atau Sabulan. Tempat kedua ini jauh lebih eksotis dan menarik bagi wisatawan minat khusus yang benar-benar ingin menikmati Toba bersama warga dan menghormati nilai-nilai yang dianut warga.

Anak-anak bermain di depan rumah warga di Simarmata, Sihotang, Sumatera Utara, Selasa (21/6). Sisa-sisa tradisi megalitikum berupa kubur batu dan lumpang untuk menumbuk padi masih terlihat di lokasi itu. Kompas/Wisnu Widiantoro (NUT) 21-06-2016 Untuk Liputan Indeks Pariwisata  Danau Toba
Anak-anak bermain di depan rumah warga di Simarmata, Sihotang, Sumatera Utara, Selasa (21/6). Sisa-sisa tradisi megalitikum berupa kubur batu dan lumpang untuk menumbuk padi masih terlihat di lokasi itu.
Kompas/Wisnu Widiantoro (NUT)
21-06-2016
Untuk Liputan Indeks Pariwisata
Danau Toba

Di Desa Simarmata di Sihotang, misalnya. Budaya megalitik terasa kental di kampung itu. Alat penumbuk padi, peti mati semua terbuat dari batu. Benteng sekeliling permukiman pun dari batu yang ditumpuk. Jalan masuk masih jalan setapak yang hanya cukup untuk satu sepeda motor. Sementara air sawah mengalir dingin dari mata air. Semua yang masuk ke kampung harus minta izin terlebih dulu dengan sesepuhnya.

Di Bonan Dolok, untuk mengunjungi air terjun yang warnanya mirip air teh, siapapun harus sopan, dilarang bicara jelek, dan harus berdoa dan mempersembahkan sirih bersama penjaga sebelum masuk ke air terjun.

Kekhawatiran

Keunikan danau kaldera yang terbentuk dari letusan supervolcano Toba 74.000 tahun lalu itu dan budaya masyarakat yang ada di dalamnya membuat Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO) mendorong Danau Toba masuk dalam Jaringan Taman Bumi Dunia atau Global Geopark Network (GGN).

Namun, hingga kini Toba belum berhasil masuk GGN UNESCO karena kelembagaannya masih compang-camping. Gedung informasi Geopark di Sianjur Mula­Mula bahkan atapnya diangkat puting beliung yang sering terjadi di kawasan itu. Gedung dibangun tanpa memperhatikan kearifan lokal. Kebakaran lahan bahkan masih terus terjadi.

Lumpang penumbuk padi dan kubur batu masih terlihat  di depan rumah warga di huta Simarmata, Sihotang, Sumatera Utara, Selasa (21/6). Kompas/Wisnu Widiantoro (NUT) 21-06-2016 Untuk Liputan Indeks Pariwisata  Danau Toba
Lumpang penumbuk padi dan kubur batu masih terlihat di depan rumah warga di huta Simarmata, Sihotang, Sumatera Utara, Selasa (21/6).
Kompas/Wisnu Widiantoro (NUT)
21-06-2016
Untuk Liputan Indeks Pariwisata
Danau Toba

Manager Geo Area Samosir, Badan Pengelola Geopark Kaldera Toba, dasar pengelolaan pariwisata Toba semestinya ada pada geowisata. Pengelolaan Danau Toba berbasis pada keragaman bumi, konservasi lingkungan baik alam dan budaya, dan pengembangan ekonomi lokal.

Di tingkat warga, pembangunan Toba membuat wacana membangun hotel, cable car, atau kasino sudah berkembang. Rombongan investor dari Taiwan bahkan sudah datang ke Toba. ”Kami takut akan kehilangan hak atas tanah yang merupakan tanah adat, narkoba, prostitusi, dan perjudian. Bagaimanalah itu kalau ikut datang ke kampung kami,” kata Kepala Desa Sibandang Fakter Torop Sinaga.

Warga yang biasa hidup tenang, bertani, berkebun, dan menjalankan adat istiadat membutuhkan pembangunan pariwisata yang arif pada kehidupan mereka

Aufrida Wismi Warastri/Nobertus Arya Dwiangga Martiar


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Agustus 2016, di halaman 30 dengan judul “Sudut-sudut Hening Toba”.