Sishlik dan Yogurt di Teheran

0
760

Cara paling cepat mengenali kehidupan suatu tempat adalah melalui makanannya. Karena itu, sesaat sampai di Teheran, Iran, Minggu (7/8), reaksi pertama adalah mencoba makanan setempat, setidaknya yang dianggap mewakili makanan asli.

Kaki bawah domba yang dimasak lambat untuk membuat daging lembut dan bumbu meresap menjadi andalan rumah makan Mashhad Shandiz, Teheran, Iran. Kompas/Ninuk Mardiana Pambudy (NMP) 8 Agustus 2016
Kaki bawah domba yang dimasak lambat untuk membuat daging lembut dan bumbu meresap menjadi andalan rumah makan Mashhad Shandiz, Teheran, Iran.
Kompas/Ninuk Mardiana Pambudy (NMP)
8 Agustus 2016

Beruntung kami ditemani staf lokal Kedutaan Besar Indonesia di Iran. Dia langsung mengajak kami ke Moby Dick yang berada di daerah perkantoran, di tengah kota. Ternyata ini restoran cepat saji yang populer, terlihat dari antrean pembeli dan meja-meja yang hampir semua terisi.

Kebingungan menyergap ketika melihat deretan makanan di rak-rak. Apalagi di belakang mengantre pengunjung yang ingin segera makan siang.

Nasi ada bermacam jenis: putih, kuning, dan yang berwarna kehijauan oleh daun yang diiris halus. Pilihan jatuh pada nasi kuning yang mengingatkan pada rasa gurih santan nasi kuning di rumah.

Yang datang di piring adalah nasi putih ditutup nasi kuning dan ditaburi buah-buah kecil merah yang setengah dikeringkan. Tumbuh harapan mendapatkan rasa manis dari buah-buah merah tersebut, seperti kismis yang sering dicampurkan pada nasi dari masakan ala Lebanon.

Setelah nasi, kebingungan berlanjut saat melihat yogurt di mangkuk-mangkuk sup. Lalu ada buah zaitun yang diacar serta salad dari potongan timun, tomat dan irisan daun herba. Saya menghindar dari daging domba cincang panggang dan memilih salmon.

Kini tiba saat santap. Sambil menunggu datangnya ikan yang baru dipanggang saat dipesan, saya mencicipi nasi kuning. Alih-alih mendapat rasa manis-gurih, rasa masam yang terasa saat mengigigt buah merah.

Buah merah atau barberi, belakangan saya tahu, ada di berbagai macam makanan. Baru kemudian juga saya tahu orang Iran suka rasa masam. Itu muncul dalam bentuk susu asam alias yogurt, salad, jeruk nipis dan lemon, serta acar.

Ketika masakan salmon datang, saya tidak terlalu antusias. Ikan tersebut dipanggang terlalu kering sehingga kehilangan kelembaban dari lemak salmon yang seharusnya membuat ikan itu terasa lembut di mulut. Kali ini, rasa asam disajikan melalui saus mosterd dan acar timun.

”Sishlik”

Yang selalu ada setiap kali memasan makan lokal adalah tomat dan timun (segar atau dipanggang), daun selada, acar zaitun hijau dan hitam, yogurt, jeruk nipis, kacang-kacangan, wortel serut, selada letus, keju, nasi dari beras yang ditanam di utara Iran, dan roti gandum bulat lebar tipis yang disebut san-gak.

Nasi adalah makanan penting di Teheran. Bulirnya panjang-panjang dan berbau harum, seperti beras basmati dari India. Seperti disebutkan, nasi disajikan dalam beragam tampilan.

Khusus nasi kuning, pewarnanya adalah safron, berasal dari benang putik bunga Crocus sativus yang dikeringkan. Pengetahuan pertama saya tentang safron justru dari buku tekstil karena safron juga digunakan untuk pewarna kuning pada tekstil. Harganya sangat mahal. Jadi, sebagai pengganti, dapat menggunakan kunyit, sama seperti nasi kuning kita.

Nasi safron dengan tebaran buah barberi yang kecut.Makan siang dilengkapi yogurt yang diberi daun dil, salad irisan timun, tomat dan dedaunan herba di Restoran Moby Dick, 7-8-2016. Kompas/Ninuk Mardiana Pambudy (NMP)
Nasi safron dengan tebaran buah barberi yang kecut.Makan siang dilengkapi yogurt yang diberi daun dil, salad irisan timun, tomat dan dedaunan herba di Restoran Moby Dick, 7-8-2016.
Kompas/Ninuk Mardiana Pambudy (NMP)
Sate ikan salmon, salah satu menu di Restoran Moby Dick, Teheran, Iran. Jeruk nipis, daun selada, dan acar timun menjadi pendamping umum makanan lokal. Kompas/Ninuk Mardiana Pambudy (NMP) 7 Agustus 2016
Sate ikan salmon, salah satu menu di Restoran Moby Dick, Teheran, Iran. Jeruk nipis, daun selada, dan acar timun menjadi pendamping umum makanan lokal.
Kompas/Ninuk Mardiana Pambudy (NMP)
7 Agustus 2016

Dalam sajian prasmanan, ikan, ayam, domba, atau sapi selalu ada. Biasanya dipanggang dan dimasak tanpa bumbu menonjol. Daging direndam lebih dulu dalam air yang diberi safron, minyak zaitun, dan bawang sebelum dipanggang. Dengan bumbu yang lembut, rasa daging domba atau sapi menjadi menonjol. Tetapi, semua itu tergantung dari cara memanggang yang tepat.

Tentang masakan panggangan, restoran yang direkomendasi untuk dicoba adalah Shandiz di bagian utara Teheran. Kami menunggu hampir 1 jam walaupun sudah lewat jam makan siang, sebelum akhirnya mendapat meja.

Sambil menunggu pesanan sate domba dan ayam datang, kami menghabiskan roti san-gak, nasi safron, dan selada letus-tomat dengan teman keju dan saus yang dari rasanya terbuat dari kacang lentil.

Saat sate datang, tampilannya mengejutkan. Tusuk sate yang panjangnya hampir 1 meter itu berisi lima potong iga domba yang masih panas. Perlu bantuan pramusaji melepaskan iga-iga itu dari tusukan logam. Menurut cerita, sate yang disebut sishlik itu berasal dari kebiasaan serdadu Persia yang memanggang daging menggunakan pedang.

Sishlik (sate) iga domba di Restoran Mashhad Shandiz, Teheran Iran. Daging domba terasa lembut karena dibakar dengan panas dan waktu tepat. Foto Ninuk Mardiana Pambudy, 8 Agustus 2016 Kompas/Ninuk Mardiana Pambudy (NMP)
Sishlik (sate) iga domba di Restoran Mashhad Shandiz, Teheran Iran. Daging domba terasa lembut karena dibakar dengan panas dan waktu tepat. Foto Ninuk Mardiana Pambudy, 8 Agustus 2016
Kompas/Ninuk Mardiana Pambudy (NMP)

Yang membuat sate atau lebih tepatnya daging domba panggang di Shandiz benar-benar enak adalah dagingnya yang lembut. Rasa daging menonjol, tetapi tanpa bau domba. Selain bumbu yang lembut, panas api panggangan yang tepat memainkan peran penting. Seorang teman yang tak suka daging domba, akhirnya menghabiskan dua potong, seperti juga saya.

Hal yang secara cepat dapat dikenali dari masyarakat Teheran adalah mereka tidak keberatan duduk berdekatan satu meja panjang dengan orang asing, seperti kami alami di Moby Dick dan Shandiz. Rasa makanan mereka terhitung tawar bila dibandingkan dengan makanan berbagai daerah Nusantara, tetapi kualitasnya baik, menandakan standar hidup lumayan tinggi.

Harga makanan? Kami membayar sekitar Rp 120.000 per orang untuk iga domba dan ayam panggang, roti, nasi safron, serta salad letus, tomat, dan wortel. Tidak murah, tetapi juga tidak mahal untuk negara dengan rata-rata pendapatan per kapita hampir 6.000 dollar AS per tahun (pendapatan orang Indonesia sedikit di atas 4.000 dollar AS).

Sayang restoran ini tak menyediakan makanan penutup, meskipun menyediakan bir tanpa alkohol dan Coca-Cola yang label di kalengnya bertulis huruf Parsi.

Suasana makan siang di Restoran Mashhad Shandiz di bagian utara Teheran, Iran,menjadi favorit warga setempat orang asing karena shishlik (sate) dombanya. Foto Ninuk Mardiana Pambudy, 8 Agustus 2016 Kompas/Ninuk Mardiana Pambudy (NMP)
Suasana makan siang di Restoran Mashhad Shandiz di bagian utara Teheran, Iran,menjadi favorit warga setempat orang asing karena shishlik (sate) dombanya. Foto Ninuk Mardiana Pambudy, 8 Agustus 2016
Kompas/Ninuk Mardiana Pambudy (NMP)

Ninuk Mardiana Pambudy


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Agustus 2016, di halaman 28 dengan judul “Sishlik dan Yogurt di Teheran”.