Kisah ini terdiri atas peristiwa yang berlapis-lapis. Para aktornya secara sabar mengurai satu demi satu dengan kekuatan narasi yang mengagumkan. Selama 2,5 jam penonton diajak memasuki relung abad yang terluka; kolonialisme yang merobek-robek keadilan, serta anak bangsa yang terempas karena diskriminasi.
Ketika sampai pada surat terakhir dari Panji Darman kepada Nyai Ontosoroh (Happy Salma) dan Minke (Reza Rahadian) bangunan peristiwa menjadi utuh. Kita diberi kabar bahwa ini kisah anak-anak negeri yang mencari keadilan, tetapi dicekam masa-masa kolonialisme di awal abad ke-19. Annelies (Chelsea Islan) yang dikabarkan meninggal di Nederland lewat surat Panji Darman, menjadi puncak segala kefrustrasian Nyi Ontosoroh. Apalagi setelah itu Minke juga pamit untuk meneruskan sekolah ke Batavia. Sebagai pribumi, Nyai Ontosoroh merasa terasing dan diperlakukan tidak adil di negeri sendiri sejak ia ”dijual” oleh ayahnya, Sastrotomo, kepada seorang tuan Belanda bernama Herman Mellema.
Pementasan teater berjudul Bunga Penutup Abad, yang disutradarai Wawan Sofwan, Kamis (25/8) sampai Sabtu (27/8) di Gedung Kesenian Jakarta, diadaptasi dari dua novel Pramoedya Ananta Toer. Wawan mengambil tokoh-tokoh dalam Bumi Manusia (1980) serta kiriman surat-surat Panji Darman selama perjalanan dari Surabaya ke Nederland, sebagaimana ada dalam Anak Semua Bangsa (1980). Kedua novel ini ditulis Pram selama masa pembuangan di Pulau Buru, bersama dua novel lainnya Jejak Langkah (1985) dan Rumah Kaca (1988). Lantaran terdiri atas empat novel dan ditulis di Pulau Buru, keempatnya kemudian disebut sebagai tetralogi Pulau Buru.
Tak gampang menjinakkan Pram. Kekuatan narasi dan kematangan ideologinya melebihi rata-rata pengarang Indonesia. Apalagi sebagai penulis naskah Wawan harus berhadapan dengan jarak estetik dan ideologis yang membentang antara masa penulisan novel dengan waktu pementasan. Hal ini diperumit oleh kenyataan bahwa novel Pram, bukanlah disusun oleh peristiwa demi peristiwa konkret. Pada Pram peristiwa cenderung menjadi teks naratif, berupa kisahan-kisahan yang diberi muatan kemanusiaan dengan watak ideologis yang kental.
Tantangan pertama pentas ini, memberi ruang yang cukup kepada penonton untuk bertahan selama 2,5 jam dengan ”cuma” diberi gambaran-gambaran peristiwa. Kejadian di atas panggung, bukan peristiwa sesungguhnya. Wawan menyebut peristiwa-peristiwanya sebagai peristiwa nyata, di mana sesungguhnya cuma Nyai Ontosoroh dan Minke yang ada. Sepanjang pentas Minke yang dimainkan dengan cukup baik oleh Reza Rahadian, membacakan surat-surat Panji Darman untuk Nyai Ontosoroh, mertuanya. Dalam surat-surat itulah terdapat peristiwa lain, kita sebut saja peristiwa kisahan, yang mengilasbalik pertemuan Minke, Annelies, dan Nyai Ontosoroh. Bahkan dalam satu adegan, Nyai Ontosoroh bercerita kepada Annelies tentang kisah perkawinannya dengan Tuan Mallema. Nyai Ontosoroh bercerita hanya membawa sebuah koper seng ketika diantarkan ayahnya.
Pada sisi lapis-lapis kisah itu, ada kisah lain di mana Minke selalu bertemu dengan pelukis keturunan Perancis, Jean Marais (Lukman Sardi), yang menikahi perempuan Aceh. Pertemuan ini juga menjadi kunci pematangan ”nasionalisme” kemelayuan sebagai bangsa pribumi dari Minke, yang sebenarnya mendapatkan pendidikan Barat. Pram menggambarkan kebelandaan Minke, dengan selalu menulis dalam bahasa Belanda. Justru ”nasinalisme” kepribumian Minke disentuh Jean, yang notebene mantan serdadu bayaran kompeni.
Peristiwa naratif
Bukan perkara mudah menarik masa lampau yang luka ke masa kini yang gemerlapan. Alih-alih memberi gambaran betapa kejamnya kolonialisme, bisa saja pementasan jatuh menjadi gabungan peristiwa monoton yang nostalgik. Untungnya, Wawan dikenal sebagai salah satu aktor dan sutradara kisah-kisah realis-historik yang cukup mumpuni. Ia pernah menyutradarai pentas-pentas, seperti monolog Inggit, monolog Tan Malaka, dan monolog Kartini. Bahkan sebagai aktor ia memainkan kisah-kisah yang ditulis penulis Barat, seperti Maka Bicaralah Zarathustra (F Nietzsche), Laporan untuk Akademi (Fraz Kafka), dan Kontrabass (Patrick Sueskind). Pentas dan naskah-naskah ini setidaknya menjadi bukti bahwa ia cukup akrab dengan peristiwa-peristiwa naratif. Di atas panggung Wawan bisa melipat-lipat waktu dalam seketika, tanpa sibuk dengan pergantian setting peristiwa atau urusan pencahayaan.
Ini memang perjudian di atas panggung. Salah-salah bisa-bisa Bunga Penutup Abad, hanya menyajikan tumpukan peristiwa yang membosankan. Pentas ini sedang melawan arus kecenderungan ”drama visual” yang kini melanda realitas kita sehari-hari. Panggung teater sedang mempertaruhkan nyawa berhadapan dengan banyak drama di sekitar kita. Karena itu, menciptakan peristiwa sastrawi di atas panggung menjadi sesuatu yang sulit. Tentu selain kepiawaian Wawan, pantas diberi pujian permainan Happy Salma yang kini makin nyaris identik dengan Nyai Ontosoroh. Aktris ini sudah beberapa kali memerankan Nyai Ontosoroh dalam berbagai pentas sebelumnya.
Ada aktor-aktor lain yang kawakan di dunia film, seperti Reza dan Lukman. Keduanya, tampak tidak canggung berhadapan dengan penonton langsung, yang memberi respons langsung atas akting di panggung. Masih ada Chelsea, yang tampaknya harus lebih sering bermain panggung untuk melatih konsistensi aktingnya. Dan, tak bisa dipungkiri seluruh cikal-bakal pentas yang sastrawi itu bermula dari karya-karya Pramoedya. Pram bukan hanya menyodorkan potret buram masa lalu, tetapi mengisinya dengan ideologi kemanusiaan yang tercabik-cabik. Ada anak-anak bangsa yang terempas di masa lalu dan kini, bukan karena ketidakmampuan, tetapi sistem hukum dan birokrasi yang diskriminatif. Karena itu, tidak berpihak kepada kepentingan rakyat kebanyakan. Adakah kita sekarang begitu?
Putu Fajar Arcana
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Agustus 2016, di halaman 23 dengan judul “Kisah Abad yang Terluka”.