Trunyan, Tak Hanya Makam…

0
836

Trunyan, desa kecil di Kecamatan Kintamani, Bali, tersohor ke mancanegara, terutama karena cara pemakaman warganya yang unik. Jenazah hanya direbahkan di bawah pohon kemenyan sampai sirna dimakan waktu. Prosesi kematian itu kemudian menarik kehadiran banyak wisatawan. Tak ada ketakutan….

Pagi hari di salah satu desa tertua di Bali itu berdenyut ketika sinar matahari menerobos pepohonan. Keindahan terasa sempurna jika direguk dari pelataran pura kuno Pancering Jagat yang dipercaya sebagai pusat dunia. Keindahan ini juga direguk oleh turis-turis asing yang berjalan kaki mendaki puncak Bukit Abang I di Banjar Madya, Trunyan.

Meskipun menjadi salah satu destinasi utama wisatawan, keseharian hidup di Trunyan terasa sederhana dan jauh dari hiruk-pikuk. Tak ada hotel atau penginapan di kawasan tersebut. Bahkan, tidak satu restoran pun bisa ditemui di perkampungan. Hanya ada warung yang menjual minuman dan makanan kemasan untuk kebutuhan sehari-hari penduduk.

Biasanya wisatawan hanya mengunjungi makam tanpa sempat mereguk kehidupan sehari-hari di Trunyan. Pagi itu, Trunyan hanya dimiliki warganya yang sibuk dengan rutinitas harian. Anak sekolah dasar mengisi pelataran lapang di depan Pura Pancering Jagat dengan olahraga pagi.

Gerbang Desa. Kompas/Riza Fathoni
Gerbang Desa. Kompas/Riza Fathoni

 

Berpenduduk padat, ada 785 keluarga di Desa Trunyan, dengan kondisi alam perbukitan terjal, Pura Pancering Jagat seolah dikepung rumah penduduk yang rapat tanpa jeda. Memasuki gang-gang kecil yang hanya bisa dilewati dengan berjalan kaki, para ibu sibuk membuat perapian kayu dan mulai memasak.

Sebagian warga Trunyan lainnya mengawali hari dengan menanam aneka sayuran, seperti bawang merah, cabai, dan tomat, di tepian Danau Batur. Orang Trunyan dilarang menanam padi. Sebanyak 40 persen warga berkecimpung di pariwisata sebagai pemandu atau penarik perahu. Pada kunjungan akhir tahun lalu, banyak ladang dan rumah warga tenggelam oleh pasang naik Danau Batur.

Untungnya, sebagian dari rumah itu memang dibiarkan kosong. Pemiliknya yang menetap di empat banjar lain di Desa Trunyan hanya menghuni rumah-rumah itu saat upacara odalan atau ulang tahun Pura Pancering Jagat yang dirayakan pada Purnamaning Sasih Kapat (sekitar Oktober). Dua tahun sekali, saat odalan, warga mementaskan tarian kuno, barong brutuk. Penari barong brutuk mengenakan topeng dan pakaian dari keraras (daun pisang kering).

 

Desa tua

Di areal bekas ladang bawang yang tenggelam oleh air Danau Batur, para pria sibuk memandikan ayam aduan. Ayam jago bali menjadi hewan peliharaan berharga tinggi, sekitar Rp 400.000 per ekor. Biasanya ayam aduan dimandikan sekali dalam sebulan. Setelah diguyur air, ayam dilempar tinggi-tinggi ke arah danau.

Latihan berenang sampai tepian danau membuat ayam-ayam tumbuh kuat dan sehat sehingga siap bertarung dalam tradisi sabung ayam. Sabung ayam (tabuh rah) merupakan warisan tradisi yang tak terpisahkan dari kehidupan warga Trunyan. Tabuh rah biasa digelar saat upacara pecaruan di balai pertemuan di halaman jaba sisi Pura Pancering Jagat.

Kehidupan Trunyan. Kompas/Riza Fathoni
Kehidupan Trunyan. Kompas/Riza Fathoni

Di tepian Danau Batur itu, warga Trunyan, Wayan (40), menghampiri dan menyodorkan buku tamu sekaligus meminta sumbangan. Pada buku tamu itu terpampang nama pengunjung, antara lain gitaris Dewa Budjana dan penyanyi Trie Utami, lengkap dengan nilai sumbangan mereka untuk kemajuan wisata Trunyan. Tak ada tarif masuk yang ditetapkan
di sana.

Desa Trunyan diperkirakan ada sejak abad X Masehi. Prasasti Trunyan berangka tahun 833 Saka mengungkap izin pembangunan candi bertingkat tujuh untuk pemujaan Batara Da Tonta yang tak lain ialah Ratu Sakti Pancering Jagat. Da Tonta diwujudkan dalam rupa arca megalitik setinggi
4 meter. Guru SD Negeri Trunyan, I Nengah Percis, menyebut masyarakat Trunyan sebagai masyarakat Bali Mula. Bahkan, ada temuan pemujaan megalitik yang menunjukkan kawasan itu telah dihuni sejak prasejarah.

Kehidupan spiritual warga Trunyan merupakan versi berbeda dari Hindu di Bali. Itu terlihat dari dewa-dewa asli Trunyan yang tidak dipuja di tempat lain, seperti Ratu Sakti Pancering Jagat. Perbedaan lain dengan kebanyakan masyarakat Hindu Bali tampak pada pemakaman yang tidak melalui ngaben atau pembakaran jenazah.

 

Tiga makam

Di Trunyan, jenazah ditidurkan di tempat pemakaman yang disebut Seme Wayah. Seme Wayah bisa ditempuh dengan jalur darat atau menyeberang Danau Batur. Kali ini, kami mengawali perjalanan dengan perahu sewaan dari Desa Kedisan ke Seme Wayah. Setelah singgah di Banjar Trunyan, perjalanan diakhiri dengan jalur darat melewati Cemara Landung.

Jika ingin sepenuhnya menempuh jalur darat, wisatawan tetap harus menyewa kapal dari Banjar Trunyan karena lokasi makam yang hanya bisa ditempuh lewat Danau Batur. Membelah danau dengan kapal boat pada pagi yang hening menjadi pengalaman tak terlupakan.

Di Seme Wayah, pengunjung disambut jejeran tengkorak dengan tumpukan tulang belulang serta tebaran uang hingga aneka barang bekal kubur. Beberapa jenazah dibaringkan dengan dinding anyaman bambu untuk menghindari serbuan binatang buas. Sebatang pohon raksasa taru menyan menjulang. Konon, pohon itulah yang menetralkan bau pembusukan mayat.

Pemakaman. Kompas/Riza Fathoni
Pemakaman. Kompas/Riza Fathoni

Hanya orang yang meninggal secara wajar bisa dimakamkan di Seme Wayah. Mereka yang meninggal karena kecelakaan atau tak wajar dimakamkan di Seme Bantah, sedangkan Seme Muda untuk mengubur bayi, anak kecil, atau warga yang belum menikah. Perempuan Trunyan dilarang mengunjungi makam-makam yang saling terpisah itu. Mereka yang baru saja dari makam juga tak boleh langsung masuk ke Pura Pancering Jagat, harus melalui proses pembersihan.

Menurut Kepala Desa Trunyan Wayan Arjana, industri wisata belum berdampak kepada warga. Perekonomian desa lebih banyak ditopang pertanian dan peternakan. Warga pun cenderung acuh dengan kehadiran wisatawan. Kehadiran pengemis menjadi alarm bahwa Trunyan belum bebas dari kemiskinan. Jumlah penerima beras untuk rakyat miskin, misalnya, naik dari 438 keluarga pada 2011 menjadi 560 keluarga pada 2015.

Setiap hari, rata-rata, ada lima boat serta lima perahu dayung mengangkut wisatawan ke Trunyan. Dari setiap perahu, pemerintah desa memperoleh retribusi Rp 15.000. Ongkos sewa perahu berkapasitas tujuh orang bagi wisatawan Rp 600.000. Dalam balutan kemiskinan, Trunyan menampakkan keunikan berpadu keindahan.

 

Mawar Kusuma


 

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Januari 2016, di halaman 25 dengan judul “Trunyan Tak Hanya Makam”.