Bali selalu memiliki jalan pulang menuju kesejatiannya. Industri pariwisata yang mengomodifikasi seni ritual tidak asal ditolak. Tradisi secara lentur mencari bentuk baru tanpa kehilangan asal-usul. Oleh sebab itu, seni ritus bisa berdampingan dengan seni komersial.
Sejak buku Gregor Krause, Bali 1912, diterbitkan pertama kali di Eropa pada 1920, Bali mendunia. Babak berikutnya, tradisi dan ritual disesap industri pariwisata dan kian terkomodifikasi. Namun, Bali tak pernah menyerah, ritus-ritus di pura tanpa pernah kehilangan makna, tetap menjadi energi pulau ini. Para penari selalu menjalani laku ngayah, mempersembahkan tarian terbaik ke hadapan para dewata.
Lautan manusia berbaju putih memusar di Pura Samuan Tiga, Minggu (24/4). Pura bersejarah di Desa Pakraman Bedulu, Blahbatuh, Gianyar, itu melanjutkan prosesi panjang upacara Panca Wali Krama Kahyangan Jagad Pura Samuan Tiga.
Ribuan manusia—tua-muda, lelaki-perempuan—berlarian menyibak jubelan pengunjung pura sambil saling bergenggaman tangan—menjadi rantai manusia membelah yang kerumunan. Para perempuan mengawali gelombang rantai manusia itu.
Mereka semuanya berkebaya putih bersih dan memakai bawahan kain berwarna hitam—terayun maju dan mundur, sesekali menyenggol para pengunjung pura yang duduk rapat di antara Bale Pegat dan Bale Pawiyosan di halaman utama pura. Para lelaki di rantai manusia yang sama menjadi gelombang lebih bertenaga, benar-benar menubruk pengunjung yang lengah, bahkan menerjang anak tangga bale.
Gelombang rantai manusia itu begitu tak terduganya, hingga pegangan tangan mereka kerap terlepas putus. Gamelan Bali di beberapa bale ditabuh makin cepat, termasuk seperangkat gamelan di Bale Gong yang disakralkan.
Belasan kali rantai manusia itu berputar-putar di halaman utama Pura Samuan Tiga, membangun getaran energinya. Ketika rantai manusia itu terputus pecah, beberapa manusianya menari dengan mata terpejam seperti mengalami trans. Yang lain berlarian saling melempar bunga-bunga sesaji. Syair suci terlantun, membuncahkan energi upacara Ida Bathara Budal, Pangeremekin Karya.
Sang Dewi
Buncahan energi ombak-ombakan rantai manusia di mandala Pura Samuan Tiga itu melingkupi pelataran wantilan, bagian luar dari kompleks pura yang berjarak sekitar 100 meteran dari halaman utama. Di sana, I Gusti Putu Davina Ayuratih duduk diam, meresapi sebatang dupa ditancapkan di mahkotanya.
Wajah lelah Ratih karena menunggu gilirannya menari telah berganti menjadi raut muka tegang. Dupa telah tertancap, tiba waktunya ia ngayah atau mempersembahkan diri bagi upacara Ida Bathara Budal, Pangeremekin di Pura Samuan Tiga. Bersama puluhan gadis Desa Bedulu lainnya, Ratih akan ngayah dengan kepiawaiannya menarikan Legong Kupu-kupu.
”Ngayah dengan menari di halaman wantilan pura memang bukan tarian ritual yang ditarikan di halaman utama pura,” ujar maestro tari Bali Bulantrisna Djelantik. ”Itu seperti pelengkap bagi upacara utama di halaman pura, namun ngayah di halaman wantilan pura pun bermakna dalam bagi setiap orang Bali,” katanya.
Tuturan Bulantrisna terasakan ketika aluran gamelan mulai terdengar. Ketika puluhan gadis kecil itu menari dalam duduk mereka. Wajah tegang Ratih seketika sirna, tangannya terentang melengkung, jemarinya melengkung elok, rautnya menyatu dengan energi tarian gadis-gadis lainnya. Gerak matanya selincah tetabuhan yang berlari, juga kepakan kipasnya menarikan Legong Kupu-kupu.
Ratih tak lagi seperti bocah Desa Bedulu yang berumur delapan tahun. Kendati geraknya tetap seriang bocah, Ratih lebih seperti seorang dewi kecil yang tengah mempersembahkan keindahan tariannya demi merayakan keagungan Pura Samuan Tiga.
Pura Samuan Tiga adalah salah satu pura terpenting di Bali. Pada masa pemerintahan Çri Gunapriyadharmapatni dan Udayana Warmadewa (989-1011 M), Mpu Kuturan memprakarsai musyawarah besar antara sembilan kelompok kepercayaan Bali Aga, Çiwa, dan Buddha. Musyawarah besar itu menyatukan sembilan aliran itu menjadi Hindu Bali.
Pertemuan di Pura Samuan Tiga, 15 abad yang lalu, menjadi cikal-bakal desa pekraman dengan kahyangan tiga di seluruh banjar di Bali, sebagai penerapan konsep Tri Murti. Dan, Ratih menari bak dewi kecil di pura bersejarah itu, menarikan Legong Kupu-kupu—tarian tradisi asal Desa Bedulu yang pernah punah.
”Saya bahkan tak pernah mengenal tarian itu pada masa kecil saya,” tutur I Gusti Putu Ika Santi (34), ibunda Ratih, yang juga lahir dan besar di Desa Bedulu. ”Seperti Ratih, saya juga belajar menari sejak umur tujuh tahun, sampai kira-kira berumur 10 tahun,” ujar Santi bangga, memegang Ratih yang bergayut manja seusai menari.
”Saya baru enam kali berlatih Legong Kupu-kupu,” bisik Ratih malu-malu. ”Tarian ini susah, lebih susah dari tari Condong,” ujarnya, tetap malu-malu, riang seusai ngayah dalam odalan(upacara) besar Pura Samuan Tiga itu.
Tarian-tarian Desa Bedulu pernah mendunia. Kecak yang begitu ikonik merepresentasi tari dan musikalitas mistis Bali, misalnya, diciptakan mendiang I Wayan Limbak pada 1930 di Bedulu. Bulantrisna juga menyebut pada 1930-an, Legong Kupu-kupu Tarum dari Bedulu kondang sejak 1930, dan pada 1955 dipentaskan di Cekoslowakia, Belanda, India, dan Rusia.
”Namun, regenerasi Legong Kupu-kupu di Desa Bedulu sempat terputus. Kita beruntung, peneliti Jepang, Hiromi Ono, pernah merekam beberapa penari sepuh menarikan tarian itu pada 1995,” kata Ni Ketut Arini, guru tari. Kata Arini, ia dan beberapa muridnya mengajarkan kembali tarian itu berdasarkan rekaman Hiromi. Upacara Panca Wali Krama Kahyangan Jagad Pura Samuan Tiga menjadi momentum karena para tetua Desa Bedulu menginginkan tarian itu dihadirkan pada upacara.
Anak Agung Gde Rai, pendiri Museum Arma dan Ketua Himpunan Museum Bali, menyebut ayah-ayahan sebagai persembahan setiap pemeluk Hindu Bali kepada dewa dalam ritual pura mempertahankan kesejatian Bali. ”Para penari ngayah dengan menari, para pengukir ngayah dengan mengukir persembahan, para ibu ngayah dengan memasak aneka persembahan. Di pura, mereka memberikan yang terbaik tanpa mencari imbalan. Itu penyeimbang bagi tradisi dan ritual Bali yang disesap dan dikomodifikasi industri pariwisata Bali,” kata Agung Rai.
Menjelang Senin (25/4) tengah malam, di depan gapura Pura Samuan Tiga, ratusan anak-anak dan orangtua mereka berkerumun menikmati ngayah para penari. Mereka melanjutkan rangkaian Nganyarin dalam upacara Panca Wali Krama Kahyangan Jagad Pura Samuan Tiga.
Dua rangda (leak) menghadapi belasan pemuda bertelanjang dada. Keris-keris para pemuda itu ditepis sapuan tangan para leak. Ketika leak menepi, tinggallah para pemuda di tengah arena, yang beringas menusukkan keris-keris mereka ke dadanya sendiri.
Hampir tiap keris melenggung oleh kekebalan mereka, tetapi para pemuda tetap beringas. Para pemangku memasuki arena, mencipratkan air suci yang meredakan para pemuda.
Aryo Wisanggeni G
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 Mei 2016, di halaman 1 dengan judul “Kehidupan: Ritus Bali dalam Gedoran Industri”.