USAIN BOLT: Akhir Manis ”Si Manusia Petir”

0
655

Sembilan emas dari tiga Olimpiade. Itulah cara Usain Bolt mengakhiri kariernya di ajang Olimpiade. Manusia tercepat asal Jamaika itu telah membuat atletik, khususnya nomor lari cepat, menjadi semakin menarik.

Di Stadion Olimpiade Rio de Janeiro, Jumat (19/8) malam, Bolt bersiap di jalur 6 menanti rekannya, Nickel Ashmeade, menyerahkan tongkat. Malam itu, dalam nomor estafet 4 x 100 meter putra, Bolt menjadi pelari keempat setelah Asafa Powell, Yohan Blake, dan Ashmeade.

Saat mendapat tongkat dari Ash-
meade, Bolt tertinggal tipis dari sprinter Jepang kelahiran Jamaika, Aska Cambridge. Tenaga pun ia kerahkan untuk menambah kecepatan. Tak sampai tiga detik setelah menerima tongkat, Bolt melesat meninggalkan tim Jepang yang unggul dalam teknik peralihan tongkat.

Emas dari estafet ini menjadi emas ketiga Bolt di Olimpiade Rio setelah finis tercepat di nomor 200 meter dan 100 meter. Hasil yang sama ia peroleh di London 2012 dan Beijing 2008. Bolt pun memenuhi janji membuat ”triple-triple”, yaitu masing-masing tiga emas dari tiga Olimpiade.

”Tak ada yang tak mungkin. Saya tak pernah menetapkan batas tertentu. Saya selalu ingin menerjang halangan yang ada dan itu telah saya lakukan. Saat telah mencapainya, saya bahagia,” kata Bolt, dalam konferensi pers, tentang pencapaian triple-triple di Rio.

Dalam acara itu, Bolt juga mengemukakan rencana menjadikan Olimpiade Rio sebagai Olimpiade terakhirnya. ”Suatu saat ini akan berakhir. Perasaan saya saat ini campur aduk. Saya telah melalui momen yang membuat saya stres, tetapi sekarang saya lega. Sudah pasti saya akan merindukan Olimpiade karena ini adalah panggung terbesar semua atlet,” tutur Bolt yang dijuluki ”manusia petir”.

Perolehan sembilan medali emas dari tiga Olimpiade membuat Bolt menjadi salah satu olimpian dengan emas terbanyak. Bolt punya prestasi sama dengan beberapa atlet di era 1920-an hingga 1990-an, yaitu Larisa Latynina (senam/Uni Soviet), Paavo Nurmi (atletik/Finlandia), Carl Lewis (atletik/AS), dan Mark Spitz (renang/AS). Hanya perenang Michael Phelps, dengan 23 emas, yang mengungguli mereka.

Pemalas

Bolt kecil yang tinggal di Trelawny, sebuah kota kecil dengan waktu tempuh tiga jam dari Kingston, sebenarnya menyukai kriket dan sepak bola. Dalam dokumenter milik BBC yang berjudul ”Usain Bolt: The Fastest Man Who Ever Lived” , ayah Bolt, Wellesley, bercerita bahwa anak sulung dari tiga bersaudara itu hiperaktif sejak kecil.

Karena khawatir, Wellesley pun membawa Bolt untuk diperiksa oleh dokter. ”Energinya terlalu besar. Dia selalu bergerak, tak pernah bisa diam,” kata Wellesley.

Bolt sebenarnya lebih menyukai bermain kriket dan sepak bola di jalan bersama saudaranya, Sadiki. Dia adalah penggemar berat Manchester United. Bakatnya di dunia atletik mulai terlihat saat bersekolah di Sekolah Dasar Waldensia. Bolt sering mewakili sekolahnya dalam lomba lari 100 meter di tingkat nasional.

Kekuatan fisiknya terbentuk secara alami karena ayahnya sering meminta Bolt membawakan air, menggunakan ember, dari perkebunan tebu menuju rumahnya yang tak dilalui aliran air. Meski telah mewakili sekolah di nomor lari, Bolt tetap mencoba untuk menekuni kriket. Namun, pelatih kriketnya justru memaksa Bolt untuk lebih serius di atletik.

Bakat Bolt dalam berlari cepat mulai menuai prestasi saat dirinya bersekolah di SMA William Knibb Memorial. Dalam Kejuaraan Nasional Atletik Antarpelajar di Jamaika, yang terkenal dengan nama Champs, Bolt meraih medali perak nomor 200 meter dengan waktu 22,04 detik.

Champs adalah kejuaraan atletik yunior yang sangat kompetitif dan populer di Jamaika. Dari sinilah beberapa sprinter dengan prestasi tingkat dunia lahir, termasuk Bolt. Karier di dunia profesional dimulai pada 2004, di bawah asuhan pelatih Fitz Coleman, dengan fokus nomor 200 meter. Dia pun menjadi sprinter yunior pertama yang berlari 200 meter di bawah 20 detik, tepatnya 19,93 detik.

Namun, awal kariernya di arena profesional bukan hal yang mudah dijalani Bolt, apalagi dia termasuk malas berlatih. ”Saat naik ke tingkat profesional, saya harus meningkatkan kemampuan. Ketika itu, saya tidak siap,” katanya.

Salah satu petinggi Puma, perusahaan peralatan olahraga yang mensponsori Bolt, bercerita, dalam sisa waktu hanya sebulan, timnya pernah berusaha keras memaksa Bolt berlatih menjelang Olimpiade Athena 2004. ”Dia hanya mengatakan, ’Jangan khawatir, saya akan menjadi juara Olimpiade’,” kata Pascal Rolling, seperti dikutip dari ESPN.

Karena sikapnya itu, Bolt dipaksa untuk berlatih di Amerika Serikat. Namun, dia memilih tetap berlatih di Jamaika. Sikap pemalas membuatnya gagal di babak penyisihan nomor 200 meter. Dia juga hanya menempati peringkat ke-8 Kejuaraan Dunia Atletik 2005 di Helsinki, Finlandia.

Bolt mulai mengubah perilakunya menjelang Kejuaraan Dunia 2007 di Osaka, Jepang. Kerja kerasnya saat berlatih, didampingi Glen Mills yang menjadi pelatihnya sejak 2005, menghasilkan medali perak 200 meter. Inilah yang menjadi titik balik karier Bolt. Sekembali ke Kingston, dia menambah fokus latihan dengan target menguasai nomor 100 meter.

Semula, ayah dan pelatihnya meragukan kemampuan Bolt di nomor 100 meter. Namun, dalam sebuah kejuaraan di Rethymno, Crete, Yunani, Bolt yang berusia 18 tahun memenangi nomor 100 meter dengan waktu 10,03. Potensi di nomor ini pun mulai terlihat.

Karakter fisik, yaitu dengan kakinya yang panjang, menjadi keuntungan bagi Bolt. Langkahnya menjadi lebih panjang. Sekretaris Jenderal Badan Atletik Dunia (IAAF) Nick Davies mengatakan, Bolt punya kaki yang lebih panjang 20 cm dibandingkan sprinter terpendek. Sprinter AS, Tyson Gay, yang bersebelahan dengan Bolt dalam kejuaraan atletik di New York pada 2007 berkomentar, ”Lutut Bolt seperti sejajar dengan wajah saya.”

Meski menjadi keuntungan, kaki panjang juga membuat Bolt memiliki kelemahan saat start. Dengan posturnya yang tinggi, 195 cm, tubuhnya sering kali tak stabil saat start. Namun, dia tak akan terkejar ketika telah melewati 50 meter di lintasan, seperti yang dia lakukan saat melewati pelari Jepang di final estafet Olimpiade Rio.

Penampilan itu, termasuk gaya memanah yang menjadi ciri khasnya, tak akan terlihat lagi di Olimpiade Tokyo 2020. Padahal, dengan karismanya, Bolt telah membuat dunia atletik semakin menarik. Namun, tongkat estafet siap untuk dialihkan Bolt kepada para yuniornya.

YULIA SAPTHIANI


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Agustus 2016, di halaman 16 dengan judul “Akhir Manis ”Si Manusia Petir””.