Jalan Berliku Si Liliyana ”Butet” Natsir…

0
1002

Jalan berliku dan terjal harus dilalui Liliyana Natsir (30) dalam mencapai puncak prestasi di kancah dunia. Di panggung Olimpiade Rio de Janeiro 2016, Liliyana yang berpasangan dengan Tontowi Ahmad meraih medali emas ganda campuran cabang bulu tangkis.

Yana, demikian panggilan akrabnya, rela berhenti sekolah setelah tamat SD Kristen Eben Haezer Manado demi bulu tangkis. Air mata Yana tumpah membasahi sepiring nasi ketika harus berpisah dari orangtuanya saat ia masih belia.

Olly Olivia Maramis (58), ibu kandungnya, bercerita mengenai Yana ketika ditemui pada Minggu (21/8) di rumahnya, Jalan 14 Februari, Teling, Manado. Bagi Olly, Yana yang lahir di Manado, 9 September 1985, adalah anak luar biasa dan bisa membuat bangga keluarga.

”Saya dan Benno berpelukan menangis saat Yana dan Owi menang. Kami hanya berdua menyaksikan kemenangan Yana dari televisi,” katanya.

Olly dan suaminya, Benno Natsir (59), menyimpan trauma delapan tahun lalu ketika Yana gagal dalam final Olimpiade Beijing 2008. Ketika itu, Yana yang berduet dengan Nova Widianto kalah dari Lee Yong-dae/Lee Hyo-jung (Korea Selatan), dengan skor 11-21, 17-21.

Honce Maramis, paman Yana, menuturkan, pada 2008 itu di rumah Yana telah disiapkan pesta keluarga. Makanan dan minuman telah tersaji. Televisi layar lebar ditempatkan di ruang tamu agar seluruh anggota keluarga dapat menyaksikan kemenangan Yana.

Torang bauni (menonton) bersama. Ternyata Yana kalah. Trauma ini membuat kakak saya melarang anggota keluarga datang ke rumahnya menonton bersama di televisi,” kata Honce.

Namun, empat tahun kemudian, Kamis (18/8) dini hari WIT, perayaan kemenangan Yana berlangsung hingga subuh oleh tetangga-tetangganya warga Teling. Puluhan bendera Merah Putih dikibas-kibaskan di rumah keluarga Liliyana Natsir.

Yana mengenal dan berlatih bulu tangkis dari ayahnya di usia tujuh tahun. Menurut Olly, suaminya membentuk karakter Yana sedemikian keras sehingga tak mudah cengeng. Setiap selesai berlatih di klub, Yana harus menjalani latihan tambahan dari ayahnya di rumah. Net dibentangkan di ruang tamu, lalu Yana disuruh memukul kok selama satu jam. Tak jarang Benno marah jika Yana salah memukul.

Menangis

Latihan keras saat muda berbuah hasil ketika Yana menjuarai tunggal putri turnamen kelompok umur Piala Bhayangkara di Manado, di usia 10 tahun. Kemenangan pun diraih dalam berbagai turnamen di Kawanua.

Potensi luar biasa terus diasah dan dikembangkan hingga akhirnya Yana memilih bulu tangkis sebagai jalan hidup masa depan, mengorbankan pendidikan formal. ”Yana seperti berjudi dengan masa depannya. Kalau gagal, orangtuanya sudah menyiapkan pekerjaan menjaga toko, meneruskan usaha jual oli ayahnya. Yana terampil mengganti oli hingga membuka ban mobil ataupun sepeda motor di tempat usaha orangtuanya,” tutur Honce Maramis.

Masa sulit kembali dialami Yana saat jatuh bangun seorang diri merintis karier di Jakarta, dalam tiga tahun pertama. Sementara penghasilan Benno pas-pasan saja dari berdagang pelumas. ”Yana menangis tersedu saat harus berpisah dengan saya yang harus kembali ke Manado. Air mata Yana membasahi sepiring nasinya. Waktu itu Yana 13 tahun,” kenang Olly.

Yang unik, saat berlatih di Jakarta, nama Yana berubah jadi Butet. Seorang temannya yang berlatih di Bimantara Tangkas memanggil Yana dengan Butet, yang berarti anak bungsu kesayangan. Itu berawal dari kebiasaan Yana yang selalu menangis saat menelepon ibunya.

Saat berlaga di Medan, temannya dari tribune meneriakkan nama Butet untuk menyemangati. Teriakan itu diikuti penonton. Butet pun menjadi nama keberuntungan Yana, ia pun menang. Meski demikian, ujar Olly, keluarganya tetap memanggil Yana.

Kedua orangtua Yana, Benno dan Olly, berhasrat anaknya bisa pulang ke Manado sehari untuk diarak keliling kota seperti dilakukan Kemenpora di Jakarta.

”Saya minta Yana pulang dulu dan warga siap mengarak keliling kota. Masyarakat Manado bangga dengan Yana. Ini juga bagian dari kebanggaan kami sebagai warga Manado,” kata Benny Alo Tenda, tokoh pemuda di Manado.