Saat super benua Pangea bergerak dan terpecah ratusan juta tahun lalu, proses penciptaan Belitung dimulai. Kini, sisa pergerakan dan perpecahan daratan selama transisi triasik ke jurasik itu berwujud batu-batu raksasa yang antara lain tersebar di Pantai Tanjung Kelayang dan Tanjung Tinggi.

Granit-granit itu bagian dari batolit, batuan beku yang menjadi dasar Indonesia barat. Timbul dan menyebar dari Senoa di tepi Laut Tiongkok Selatan hingga Tanjung Tinggi di tepi Selat Karimata, granit-granit itu berusia hingga 245 juta tahun.

Usia batu-batu di Tanjung Kelayang dan Tanjung Tinggi hampir sama dengan umur fosil Nyasasaurus parringtoni (dinosaurus pertama di dunia). Fosil yang ditemukan di Tanzania itu dinyatakan berusia 240 juta tahun.

Granit di Belitung saat ini terdorong dari perut bumi melalui proses yang berlangsung jutaan tahun. Gempa berulang selama jutaan tahun memecahkan badan batuan granit di perut bumi itu dan mengangkatnya ke permukaan bumi. Pecahan-pecahan itu yang kemudian diinjak Ikal dan kawan-kawannya dalam film Laskar Pelangi. Ribuan orang pun mengikuti jejak Ikal hingga kini.

Pelancong Kanada, Carol, misalnya, mengakui keindahan itu. Dari puncak mercusuar di Pulau Lengkuas, pulau kecil di depan Pantai Tanjung Kelayang, Carol tak henti-hentinya berdecak kagum dan memotret berbagai sisi pulau.

Tugu Batu Satam yang berada di simpang lima Tanjung Pandan, Belitung, Kepulauan Bangka Belitung, Selasa (14/6). Kompas/Wawan H Prabowo (WAK) 14-06-2016
Tugu Batu Satam yang berada di simpang lima Tanjung Pandan, Belitung, Kepulauan Bangka Belitung, Selasa (14/6).
Kompas/Wawan H Prabowo (WAK)
14-06-2016

”Saya sering melihat pantai di mana-mana, tetapi ini luar biasa (incredible). Ini tidak ada di tempat lain. Saya tidak sengaja direkomendasikan oleh seorang Indonesia di Thailand dan saya sama sekali tidak kecewa. Ini seperti surga yang selama ini tidak diketahui orang. Lihat batu-batu itu,” katanya, pertengahan Juni lalu.

Masa lalu tidak hanya mewariskan granit kepada Belitung. Dari generasi ke generasi, orang Belitung mendengar cerita soal bajak laut atau lanun. Dari rumahnya di dekat Pantai Serdang, Belitung Timur, Sayuti Saleh menjejak dan mencatat para kerabat lanun di Pulau Belitung. Sayuti mengaku sebagai keturunan ketujuh dari lanun yang pernah bermarkas di Air Saga, kawasan di pinggiran Tanjung Pandan, Belitung.

Dari banyak versi, ada yang menyebut para lanun itu adalah prajurit laut untuk Sriwijaya. Mereka menavigasi kapal-kapal yang membayar pajak ke Sriwijaya. Kapal yang tidak membayar pajak akan diserang, lalu karam di perairan Belitung. Ada pula yang karam karena penyebab lain.

Arkeolog Belitung, Alwan Hadi, menyebut, hingga kini sudah diidentifikasi paling tidak 10 lokasi barang muatan kapal tenggelam (BMKT) di pesisir Belitung. Ada banyak lokasi BMKT lain yang belum diidentifikasi. Di lokasi yang sudah terdata ditemukan artefak berusia lebih dari satu milenium. ”Sebagian lokasi sudah didorong menjadi tempat menyelam,” ujarnya.

Para prajurit laut Sriwijaya itu disebut sejarawan AB Lapian sebagai orang Sekak, salah satu kelompok masyarakat yang dicatat sebagai suku terasing di Indonesia. Orang-orang Sekak mendiami Belitung jauh sebelum orang-orang Melayu dan suku-suku lain datang. Sampai sekarang, suku yang jumlahnya semakin sedikit itu masih mencari penghasilan dari laut.

Tambang timah

Sebagian dari mereka juga menjadi petambang timah ilegal. Timah memang sudah menghidupi Belitung selama berabad-abad. Pada puncak kejayaan penambangan timah Belitung, berbagai bangunan dibuat dan masih lestari hingga kini.

Di pusat ibu kota Belitung di Tanjung Pandan masih berdiri sisa kantor NV Billiton Maatschappij. Puluhan bangunan lain, dengan beragam kondisi, tersebar di berbagai penjuru Pulau Belitung. Gudang penyimpanan milik NV Billiton Maatshcappij yang kemudian dinasionalisasi menjadi aset PN Timah (perusahaan yang kemudian berubah lagi menjadi PT Timah Tbk) masih bisa dilihat di Tanjung Pandan, Kelapa Kampit, dan Gantung. Salah satu gudang itu dijadikan lokasi produksi film Laskar Pelangi.

Replika SD Muhammadiyah Laskar Pelangi - Wisatawan mengunjungi replika tempat shooting film Laskar Pelangi, SD Muhammadiyah Gantong di Kabupaten Belitung Timur, Kepulauan Bangka Belitung, Rabu (15/6). Kompas/Wawan H Prabowo (WAK) 15-06-2016
Replika SD Muhammadiyah Laskar Pelangi – Wisatawan mengunjungi replika tempat shooting film Laskar Pelangi, SD Muhammadiyah Gantong di Kabupaten Belitung Timur, Kepulauan Bangka Belitung, Rabu (15/6).
Kompas/Wawan H Prabowo (WAK)
15-06-2016

Sisa penambangan kekayaan alam Belitung memang pelan-pelan dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan bagi warga Belitung melalui pariwisata. Semua komodifikasi itu dilakukan karena semakin banyak orang Belitung percaya, pariwisata akan menjadi motor baru bagi Belitung.

Warisan lain dari penambangan timah adalah kebiasaan minum kopi. Sebagian kedai kopi di Tanjung Pandan dan Manggar sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Saat orang-orang di daerah lain sudah tergesa dengan berbagai urusan, orang-orang di Belitung masih menikmati kopi yang dipesan sebelum pukul 07.00. Di Manggar, ibu kota Belitung Timur, orang-orang bisa menghabiskan separuh hari di kedai kopi.

Amat kerap terdengar alunan suara Pance Pondaag dan rekan-rekannya di kedai-kedai itu. Padahal, di tempat lain, sudah lebih dari satu dekade tak ada lagi tempat minum yang memperdengarkan rekaman nyanyian selebritas era 1980-an itu.

”Banyak tamu kami justru mencari suasana itu. Mereka berlari dari kesibukan dan ketergesaan di daerah lain. Di Belitung, mereka bisa hidup lebih lambat. Tidak pernah khawatir terjebak macet atau terlambat menghadiri janji bertemu. Jam tidak berlaku di sini,” tutur Agus Pahlevi, pegiat pariwisata Belitung.

Bupati Belitung Sahani Saleh mengatakan, Belitung sudah mempunyai kawasan ekonomi khusus pariwisata dengan pusat di Tanjung Kelayang. Untuk menunjang hal itu, pemerintah menggenjot infrastruktur. Jalan sudah mulus dan lebar ke semua lokasi wisata. Landas pacu Bandar Udara HAS Hanandjoeddin ditambah dari 2.300 meter menjadi 3.000 meter. Akses air bersih dan listrik juga ditingkatkan.

Agus berharap pemerintah juga memperhatikan pengetahuan dan keterampilan warga. Hal itu untuk membuat warga bisa terlibat dalam industri pariwisata Belitung. Warga Belitung jangan sampai hanya menjadi penonton dan tetap miskin saat industri pariwisata terus menggeliat.


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Juli 2016, di halaman 24 dengan judul “Belitung, Tempat Waktu Berhenti di Masa Lalu”.