Bagi politisi, media sosial menjadi alat yang sangat berguna untuk menyampaikan pesan kepada banyak konstituen. Lewat media sosial, politisi bisa ”mengunjungi” ruang privat konstituen hanya dengan satu klik di gawai. Idul Fitri menjadi momentum yang sangat tepat menjalin silaturahim. Namun, apakah konten media sosial politisi sudah mencerminkan pola komunikasi media baru?
Hampir semua pejabat tinggi negara atau mantan pejabat tinggi yang memiliki akun Twitter menyampaikan pesan Idul Fitri melalui akunnya masing-masing. Ada yang menggunakan tulisan, foto, video, atau kombinasi ketiganya. Presiden Joko Widodo lewat akun @jokowi mencuit, ”Mari merayakan kemenangan dengan semangat kerja, bahu membahu membangun bangsa. Selamat Idul Fitri 1437 H _Jkw”. Di cuitan itu juga ada tautan video dengan narasi yang hampir serupa.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Ade Komarudin dalam akun @Akom2005 mencuit, ”Ade Komarudin dan Keluarga mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1437 Hijriyah. Taqabbalallahu Minna Waminkum”.
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Zulkifli Hasan dalam akun @Zul_Hasan juga mencuit, ”Saudaraku, Selamat Hari Raya Idul Fitri 1437 H. Mohon maaf lahir batin. Teriring doa semoga kita raih derajat takwa”.
Tidak ketinggalan, presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono juga mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri lewat akun @SBYudhoyono.
Sebagian besar politisi bervariasi dalam menggunakan wadah menyampaikan pesan. Namun, sayangnya, pesan yang disampaikan mereka masih cenderung datar, seragam, dan satu arah. Padahal, salah satu keunggulan media sosial terletak pada interaktivitasnya. Pesan tidak hanya terbangun dalam satu jalur dari politisi kepada banyak netizen atau pengguna internet, tetapi juga bisa hidup, berlangsung dua arah atau bahkan multiarah.
”Yang perlu dicatat adalah komunikasi politisi (saat ini) masih bersifat simbolis, seremonial, dan cenderung retoris. Kesannya, pesan itu sudah ada template-nya sehingga tinggal mengganti tahunnya saja,” ujar Wasisto Raharjo Jati, peneliti politik kelas menengah, masyarakat sipil, dan gerakan politik pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jumat (8/7).
Wasisto menilai, konten-konten ucapan selamat hari raya Idul Fitri idealnya lebih konstruktif dan reflektif, memberi konteks pada persoalan yang tengah dihadapi bangsa. Dia mencontohkan, bisa saja konten itu juga merefleksikan melesetnya program pemerintah untuk menekan harga kebutuhan pokok kendati sudah ada upaya operasi pasar. Selain itu, persoalan kemacetan arus mudik yang membuat geram pemudik juga bisa diangkat sebagai bahan refleksi.
Menurut dia, dalam konteks banyaknya ekspektasi publik yang meleset dari harapan, pesan komunikasi para politisi itu sebaiknya tidak sekadar memberikan ucapan. Permintaan maaf yang tulus dan dikaitkan dengan dua peristiwa itu, kata Wasisto, menjadi lebih riil dan bisa diterima publik daripada ucapan yang cenderung simbolis dan mengesankan formalitas.
Refleksi
Pengajar sosiologi komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro, Semarang, Triyono Lukmantoro, berpendapat, konten- konten media sosial dari politisi yang diamatinya belum menunjukkan refleksi mendalam. Ia menilai kultur reflektif belum muncul dalam konten-konten media sosial politisi pada saat momen-momen hari raya keagamaan ataupun hari besar nasional. Alhasil, konten media sosial politisi hampir sama dengan ucapan-ucapan pada kartu lebaran.
”Esensi media sosial itu interaktivitas. Kalau belum berhasil mengundang interaksi, berarti menandakan kegagalan komunikasi di media sosial,” ungkap Triyono.
Dia khawatir, konten-konten tersebut menandakan politisi menggunakan media baru, tetapi cara berpikir atau cara mereka memahami persoalan masih menggunakan perspektif media konvensional. Dengan kata lain, bersifat searah, berpusat kepada figur tokoh itu.
Batasan 140 karakter per cuitan di media sosial Twitter, lanjut Triyono, tak bisa membatasi kreativitas memformulasikan konten karena bisa digabungkan dengan gambar atau video. Dengan kata lain, konten yang dekat dengan keaktualan persoalan tak boleh ditinggalkan.
Bagaimana menurut MuDAers?
Antony Lee
Versi cetak artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 10 Juli 2016, di halaman 3 dengan judul “Politisi, Media Sosial, dan Idul Fitri”