Jam dinding peot berhenti pada angka 12.05. Jumat, 5 November 2010, rumah Sriyanto menjadi salah satu rumah yang disergap awan panas. Ayah dan saudaranya meninggal. Puluhan rumah lain di Dusun Petung, Kepuharjo, secara bersamaan seperti lenyap tiba-tiba. Belulang hewan, lelehan botol, tabung televisi, peralatan dapur, dan rangka sepeda motor jadi saksi bisu erupsi terbesar Merapi sepanjang sejarah modern.
Sriyanto mengabadikan seluruh kenangan erupsi Merapi itu di bekas rumahnya. Ia menyebutnya Museum Sisa Hartaku. Mungkin lebih tepat, inilah benda-benda kenangan yang menjadi pengingat ketika Gunung Merapi meradang pada tahun 2010, justru ketika banyak orang berharap sebaliknya. Bahkan Mbah Maridjan, yang bertahun-tahun ”bersahabat” dengan Merapi, tak luput dari amukan wedhus gembel (awan panas) gunung legendaris ini.
Rumah Sriyanto dan makam Mbah Maridjan di Dusun Srunen, Kepuharjo, Cangkringan, Sleman, DI Yogyakarta, sejak akhir 2011 menjadi situs untuk melakukan ”ziarah” laku keprihatinan. Secara populer kini banyak pencinta perjalanan menyebutnya sebagai bagian dari lava tour Merapi.
Bambang Sugeng, salah satu relawan Merapi, mencatat fenomena lava tour dimulai dari kreativitas anak gunung untuk mempertahankan hidup di tengah gejolak Gunung Merapi. Gunung berapi yang terletak di wilayah perbatasan Jawa Tengah dan Yogyakarta ini saban waktu selalu bergejolak dengan mengeluarkan erupsi. Di luar erupsi yang bisa terjadi 2-5 tahun sekali, Merapi memberi berkah kesuburan di lereng-lerengnya yang hijau. Di sana, penduduk menanam salak pondoh, memelihara sapi perah, dan menanam tanaman palawija yang menguntungkan. ”Bahkan sisa erupsi berupa berjuta-juta ton pasir dan batu jadi berkah yang melimpah bagi manusia,” ujar Bambang.
Merapi selalu berada dalam garis paradoks. Selain memberi berkah, sering kali gunung berapi teraktif di dunia ini memperbarui berkah dengan bencana. Namun, di sana, sekali lagi penduduk Merapi memperlihatkan keuletan tiada tanding. Tak berselang setahun setelah erupsi besar tahun 2010, para penyabit rumput (istilah Bambang) telah beralih profesi menyewakan motor trail untuk menjelajah bekas-bekas kampung yang dilanda awan panas. Bahkan pada akhir 2011 muncul ratusan jip tua yang dimanfaatkan sebagai wahana mengunjungi tempat-tempat ”bersejarah” dalam erupsi Merapi.
Batu Alien
Kini tak kurang dari 425 jip tua dalam delapan komunitas siap mengantarkan Anda menjelajah lereng-lereng Merapi sampai berujung di Kaliadem, puncak tertinggi yang bisa dilalui kendaraan. Kaliadem hanya berjarak 3 kilometer dari puncak Merapi. Di sana, bungker Kaliadem menjadi saksi balada perlindungan yang tak banyak berfungsi. Beberapa tahun sebelum erupsi 2010, dua warga yang mencari perlindungan di dalam bungker menjadi korban awan panas.
Sebelum tiba di puncak, Anda bisa memilih berangkat dari base camp Merapi Land Cruiser Community (MLCC) di Dusun Kinahrejo, Umbulharjo, Cangkringan. Di base camp ini terdapat 30 jip yang siap mengantarkan Anda menjelajah alam pegunungan dengan sisa-sisa semburan material dari perut Merapi. ”Paket pendek bisa jelajah Kali Opak, Dusun Petung, Kaliadem, dan Batu Alien,” ujar anggota staf pemasaran MLCC, Wanti Lestari. Anda hanya perlu merogoh kocek Rp 300.000 untuk satu jip dengan 3-4 orang dan kemudian menjajal medan ringan sampai berat selama 1-1,5 jam.
Paket medium dan panjang berharga Rp 400.000 dan Rp 500.000 dengan tambahan rute ziarah ke makam Mbah Maridjan dan Bukit Glagah Sari. MLCC juga menyiapkan paket sunrisebagi mereka yang ingin melihat matahari pagi dari ketinggian Kaliadem. ”Itu berangkatnya pukul 04.00 dini hari,” kata Wanti.
Salah satu monumen penting peristiwa erupsi 2010 adalah Batu Alien. Batu ini diperkirakan terlontar dari perut gunung saat Merapi meradang. Sebutan Batu Alien muncul karena dari satu sisi batu ini menyerupai wujud wajah manusia. Ia seperti teronggok di antara Kali Gendol dan Kali Opak yang menjadi alur utama aliran lahar. ”Kalau sedikit saja bergeser, batu ini bukan apa-apa. Justru karena dudukannya tepat, kami lalu menyebutnya sebagai Batu Alien,” kata Bambang, yang juga ketua komunitas pencinta jip Merapi itu.
Tentu selain mengunjungi jejak erupsi, menunggangi jip tua di pegunungan penuh legenda menumbuhkan pula atmosfer wisata yang impresif. Anda akan merasakan sensasi tiada duanya di dunia. Kita seolah terlontar dari masa-masa kesumpekan kota dengan peradaban yang makin instan ke wilayah perkampungan yang menyediakan elemen katarsis bagi jiwa. Dijamin, sepulangnya, pikiran dan hati Anda lebih segar dan berisi. Selain menghirup udara gunung yang murni, hati kita disentuh oleh peristiwa yang mengharu-biru peradaban. Tulang belulang sapi, piring-piring peot, rangka sepeda motor, serta jam dinding yang berhenti di angka 12.05 mengirim kabar tentang tragedi Merapi yang kapan saja bisa terjadi.
Putu Fajar Arcana & Thomas Pudjo Widijanto
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Mei 2016, di halaman 29 dengan judul “Jam Dinding Berhenti di Merapi”