FIGUR: Saat Jazz Menjadi ”Mudah”

0
1118

Tentu saja, sejarah musik jazz rumit, serumit sejarah puluhan ribu tahun manusia modern berkawin-mawin dan bermigrasi keluar-masuk-keluar Afrika. Namun, Tjut Nyak Deviana Daudsjah menutur sekitar 120 tahun sejarah jazz dengan jenaka, membuat para penyimak dua setengah jam ”kuliahnya” pulang dengan perasaan ”saya tahu sejarah jazz”.

Rabu malam pada Februari itu, Tjut Nyak Deviana Daudsjah menjadi pembuka pas bagi program ”festival” jazz Komunitas Salihara, Jazz Sans Frontieres. Dengan wajah riang, Deviana beruluk salam kepada para penonton, lalu duduk di balik piano Steinway & Sons hitam, memulai ”kuliah” sejarah jazz dengan seloroh.

”Kita santai saja, seperti duduk di ruang tamu di rumah. Kalau saya menceritakan sejarah jazz, akan memerlukan waktu yang cukup lama, bisa lima sampai enam tahun….”

Tawa kecil penonton terdengar di blackbox Teater Salihara, Jakarta. Deviana tersenyum pula, ekspresi wajahnya sungguh jahil. ”Namun, saya kira kita tidak akan duduk di sini selama lima-enam tahun, jadi saya akan menceritakan secara ringkas dalam kurun waktu dua hari….” Penonton tertawa lepas, angkernya kata ”jazz” dan ”sejarah” seketika luruh.

Deviana bukan cuma pandai bergurau, ia juga narator yang piawai. ”Banyak yang menganggap musik jazz lahir dari mantan budak di Amerika Serikat. Itu tak benar. Jazz memang lahir di Amerika Serikat, memadukan harmonisasi musik klasik Eropa dengan irama musik-musik Afrika,” ujarnya menggedor kesesatan umum soal jazz.

Lagi-lagi dengan jahil, ia bercerita soal silang pendapat ahli sejarah tentang asal-usul kata ”jazz”. Dari begitu banyak versi, inilah versi yang dipilihkan Deviana bagi penontonnya. ”Kalau dilihat dari slang bahasa Perancis, ’jazz’ berkonotasi ’sexual intercourse’. Lho, iya,” ujar Deviana. Rumitnya uraian harmonisasi musik klasik Eropa dan irama Afrika mencair lagi.

”Ketok magic”

Di balik kejenakaannya mengantar sejarah jazz, Deviana punya pencapaian akademik yang serius. Prof Tjut Nyak Deviana Daudsjah A Mus D menyelesaikan pendidikan musik klasik di Musikhochschule Freiburg, Jerman, meraih gelar bachelor degree dalam keahlian pianis konser dan komposer musik klasik. Di sekolah yang sama, perempuan kelahiran Jakarta, 13 Februari 1958, itu meraih gelar master dalam keahlian vokal musik jazz, berikut gelar doktor dalam bidang pendidikan musik.

Dibesarkan oleh ayah berdarah Aceh dan ibu berdarah Minahasa, Deviana menunjukkan bakat musiknya sejak belia. Saat berumur dua tahun, ketika keluarga bermukim di Bangkok, Deviana dihadiahi orangtuanya sebuah piano mainan.

Lecture Jazz - Tjoet Nyak Deviansjah Witjak Widhi Cahya P
Lecture Jazz – Tjoet Nyak Deviansjah
Witjak Widhi Cahya P

”Itu piano mainan bersuara cempreng, ha-ha-ha. Ibu saya kaget ketika saya bisa memainkan melodi musik Henry Mancini yang kerap ia putar di rumah. Saat berumur lima tahun, saya dibelikan piano Steinway & Sons. Saya belajar dasar-dasar musik klasik dari seorang profesor musik asal Amerika Serikat, guru sekolah internasional di Bangkok,” kata Deviana.

Deviana kecil tak bercita-cita menjadi musisi. Ia justru sempat bercita-cita menjadi insinyur gara-gara hobinya membongkar segala macam barang elektronik di rumahnya.

Namun, sang ibu terus memperkenalkan Deviana dengan beragam komposisi musik, mulai dari komposisi Johann Sebastian Bach, Sergei Rachmaninov, Adam Harasiewicz, atau Frédéric François Chopin; komposisi gitar duo Los Indios Tabajaras; sampai lagu-lagu Erni Johan.

Akhirnya, ketika lulus SMA di Jakarta, Deviana memantapkan diri berkuliah musik klasik dan jazz di Jerman hingga menjadi pengajar musik di sejumlah akademi musik di kutub musik klasik Eropa itu. Selama mengajar di Fakultas Jazz & Rockschule Freiburg, ia merancang kurikulum musik modern berbasis disiplin musik klasik. Ia juga pengajar di Music Academy Basel, Swiss, merancang kurikulum pendidikan vokal di sana. Dua kurikulum rancangannya itu mendapatkan pengakuan dari Pemerintah Federal Jerman dan Schweizerischer Musikpaedagogischer Verband.

”Itu jurus ketok magic. Di Eropa, ada banyak profesor musik klasik, sangat ahli. Yang mereka tidak punya, ya, jurus ketok magic ala Indonesia,” gurau Deviana.

”Orang Eropa hidup dalam tradisi musik klasik ketat. Kolega saya, para komposer, kadang mengalami kebuntuan menyusun komposisi. Macet di tengah jalan karena terjebak pakem struktur komposisi. Saya berjarak dengan pakem itu.

Mereka sering bingung dengan cara saya memecahkan kebuntuan itu. Lalu, tiba-tiba saya dicalonkan menjadi rektor, diminta menawarkan konsep. Eh, dipilih, saya jadi rektor dan merombak kurikulum dan diakui. Saya juga bingung kenapa, ya, karena itu ketok magic,” tukas Deviana terkekeh.

Pulang

Setelah 26 tahun bermukim di Eropa, pada 2000 sang profesor musik itu memutuskan pulang ke Indonesia dan pada 2001 mendirikan Institut Musik Daya Indonesia (IMDI), akademi musik yang mengadopsi pengalamannya mengembangkan pendidikan musik di Eropa. Hasilnya, sejak 2013, IMDI bermitra dengan University of Arts & Applied Science Freiburg, Jerman.

”Saya juga ingin seni pertunjukan di Indonesia dipandang dunia internasional,” kata peraih penghargaan Citra Kartini 2005 dari Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan saat itu. Ia juga mendirikan Asosiasi Pendidik dan Praktisi Seni Pertunjukan dan merintis Lembaga Sertifikasi Kompetensi Musik.

Lecture Jazz - Tjoet Nyak Deviansjah Witjak Widhi Cahya P
Lecture Jazz – Tjoet Nyak Deviansjah
Witjak Widhi Cahya P

Tak melulu bercokol di dunia akademis, Deviana juga tak berhenti membangun audiens bagi musik jazz. Selain berkonser dalam berbagai festival musik jazz, Deviana berkeliling dan bercerita tentang sejarah panjang jagat musik dunia kepada khalayak. Ia bertutur sejarah musik, baik dalam pertemuan khusus dengan undangan terbatas maupun ”kuliah umum” sebagaimana pembukaan Jazz Sans Frontieres.

Cerita-cerita Deviana tak pernah memusingkan para penyimaknya. Dua setengah jam ”kuliah umum” itu begitu mudah dicerna. ”Saya selalu berpatokan, jika peserta kuliah saya keluar dengan muka cemberut, kuliah saya gagal. Siapa, sih, yang mau mengingat-ingat narasi yang justru memusingkan kepala?” tanya Deviana tertawa.

Aryo Wisanggeni


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 Mei 2016, di halaman 22 dengan judul “FIGUR: Saat Jazz Menjadi ”Mudah””