Riwayat jengkol memikul paradoks yang menggelikan. Ia kerap dinista dan dicintai diam-diam. Martabatnya direndahkan, menjadi aib bagi kelas elite. Sang jengkol akhirnya memberontak, lalu mendirikan Republik Jengkol.
Matahari siang itu tengah garang-garang- nya bersinar di langit Cililitan, Jakarta Timur. Sebuah warung makan sederhana mulai dipenuhi pengunjung yang kegerahan dengan peluh bercucuran. Di muka warung itu salah satu dinding dihiasi tulisan: ”Sensasi Makan Jengkol Enak dan Tidak Bau. Enggeh. Republik Jengkol”.
Inilah warung makan yang menamai dirinya Republik Jengkol. Di RJ, begitu singkatan populernya, menu yang berdaulat adalah jengkol, dengan segala olahannya yang revolusioner. Sebut saja tongseng jengkol, jengkol lada hitam, nasi goreng jengkol, sampai pasta jengkol!
Hebatnya, tak tercium bau menyengat dari semua olahan jengkol itu. Tiada jejak bau tertinggal di ruang mulut seusai bersantap. ”Saya berani jamin, pipis pun nanti tak akan bau,” kata Fatoni (46), pemilik RJ.
Jengkol olahan Fatoni cukup menakjubkan. Kehebatannya adalah pada ketiadaan aroma menyengat, tetapi tetap mempertahankan kelegitan dan kepulenan daging si jengkol.
Fatoni tidak ragu berbagi rahasia. Jengkol yang telah direndam air semalaman dimasak dengan aneka rempah, antara lain jahe, serai, lengkuas, daun salam, dan daun jeruk. Hasilnya, musnahlah baunya.
Apa yang membuatnya dengan gagah percaya diri mendirikan warung khusus jengkol ini? ”Saya ingin menaikkan martabat jengkol. Biar saja ditertawakan, tetapi saya yakin sebenarnya banyak yang diam-diam suka. Jadi, saya ingin mengembalikan martabat jengkol ini kepada rakyat. Re artinya kembali, publik adalah rakyat. Jadilah Republik Jengkol,” kata Fatoni, yang di kartu namanya mempredikati diri sebagai Presiden Republik Jengkol.
Keyakinannya terbukti. Tanpa perlu waktu lama, sejak berdiri 2012, RJ mereguk pelanggan dari berbagai kalangan, dari rakyat jelata sampai pesohor. Pada akhir pekan, ia menghabiskan 25 kilogram jengkol, sementara pada hari biasa 15 kg jengkol per hari.
Namun, menurut Fatoni, yang pernah 15 tahun berkarier sebagai ilustrator di agensi periklanan ini, orang tampaknya lebih nyaman memesan melalui telepon. Setelah selesai dimasak, jengkol pun lalu dijemput dengan jasa kurir atau ojek dalam jaringan (daring).
Hina
Kepercayaan diri jengkol juga merambah di Bandung, Jawa Barat. Tahun 2014, Gunarsah mendirikan D’Jengkol Kapeh Restoh, kafe khusus jengkol. Coba simak tagline restoran ini: ”Tempatnya Jengkol Bermartabat”.
”Jengkol itu kesannya hina banget. Padahal, harganya pernah lebih mahal daripada daging. Artinya, dia banyak diburu konsumen. Itu saja menunjukkan bahwa jengkol punya tempat di hati banyak orang,” ujar Gunarsah (43).
Banyak penikmat jengkol mengambil sikap mendua; doyan dan memuji cita rasa jengkol, tetapi enggan dianggap sebagai penyuka jengkol. Alasannya, antara lain, jengkol identik dengan aroma tidak sedap. Aroma inilah yang kemudian bagaikan dosa asal sang jengkol. Apakah dosa itu bisa dihapus? Ternyata bisa.
Gunarsah mempunyai resep dan teknik tersendiri. Dia merendam jengkol selama 1 jam dengan air jeruk. Setiap 20 menit sekali, air jeruk itu diganti dengan air jeruk baru. Sim salabim, hilang baunya. Supaya empuk, ia merebus jengkol selama sekitar 1 jam.
Baik Gunarsah maupun Fatoni bersaksi, jengkol berkualitas bagus yang menjadi favoritnya adalah jengkol asal Jepara, Jawa Tengah. Bentuknya bulat wungkul tidak gepeng, legit, tidak ada sentilan pahit, dan mudah hilang baunya. ”Jengkol Jepara bagus meskipun harganya lebih mahal sampai tiga kali lipat daripada jengkol lain,” ujar Gunarsah.
Di D’Jengkol Kapeh Restoh, jengkol diolah menjadi aneka menu, mulai dari nasi jengkol rendang amajing, nasi jengkol balado masbuloh, dan jengkol goreng pertamak.
Dari DI Yogyakarta, martabat jengkol juga diperjuangkan Mujiyem (67), pemilik Warung Makan Rojo Jengkol di Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman. Warung yang berdiri sejak 2015 ini kian populer berkat kepercayaan dirinya mengkhususkan pada menu spesialis jengkol. ”Kami pilih jengkol sebagai menu utama karena banyak orang yang suka jengkol, tetapi malas masaknya,” kata Mujiyem.
Menu yang disajikan di Rojo Jengkol, antara lain, rendang jengkol, oseng-oseng jengkol, semur jengkol, balado jengkol, dan gulai jengkol. Saat liburan Natal dan Tahun Baru 2015, misalnya, pengunjung di Rojo Jengkol membeludak sehingga 15 kg jengkol pun habis dalam waktu hanya 3 jam. ”Kadang, ada saja pembeli yang pesan lebih dulu lalu beli jengkol sampai 1 kilogram untuk dibawa pulang,” ungkap Mujiyem.
Martabat jengkol di warung Rojo Jengkol diperjuangkan juga dengan menghilangkan baunya. Mujiyem mengolahnya selama tiga hari sebelum memasaknya. Ia menggunakan ramuan rempah-rempah untuk memusnahkan bau si jengkol.
Sayangnya, Mujiyem mengeluh harga jengkol yang kadang fluktuatif. Ramadhan tahun lalu, misalnya, harga jengkol sempat mencapai Rp 120.000 per kg melampaui harga daging sapi.
Semula anti
Pegiat jengkol tak berarti pada mulanya pencinta jengkol. Seperti Fatoni, yang semula
mengaku anti jengkol karena tak tahan baunya. Namun, sang istri amat menggemarinya. Fatoni lantas terpikir mencari cara mengolah jengkol agar tak lagi berbau.
Dia mengaku enggan terjebak pada citra jengkol yang hina. Setelah melepaskan kariernya sebagai ilustrator, ia bertekad mendirikan rumah makan khusus jengkol tanpa bau. Ia tak peduli kepada orang-orang yang menertawakan warungnya.
Cemoohan juga sempat diterima Gunarsah saat mempromosikan masakan jengkolnya di ajangcar free day. Orang-orang yang ditawari jengkol bebas bau tetap menutup hidung.
Inlander
Mengapa suatu makanan, seperti jengkol, bisa menyandang citra hina secara sosial? Sejarawan JJ Rizal menganggap hal itu tak terlepas dari warisan paradigma yang terbentuk sejak zaman Belanda ketika makanan-makanan tertentu dikotak-kotakkan menurut kelas sosial.
Rizal mencontohkan seperti jengkol, nasi pada mulanya distigmatisasi sebagai makanan inlander, tidak berkelas, tidak bermartabat, bahkan dikutuk sebagai sumber bau badan.
”Itu makanan pribumi. Dalam perjalanannya, orang Belanda ketika itu lalu diam-diam sampai terbuka menyenangi nasi. Mereka menyiasatinya dengan ritual ekstravaganza yang memunculkan rijsttafel,” kata Rizal.
Menurut Rizal, nasib durian yang juga berbau menyengat lebih baik daripada jengkol. ”Ini berkat stimulus elite yang terlibat dalam bisnis durian bangkok yang dihadirkan waralaba berkelas,” tambah Rizal.
Rizal juga kadang mencermati, kalangan elite yang menggemari jengkol masih terbelenggu gengsi. Itu mencerminkan betapa makanan pun bisa dianggap menyandang aib yang berpotensi menodai citra kelas. Inilah yang disebut Rizal sebagai arogansi kelas yang bersembunyi dalam produk budaya, yaitu makanan.
”Agar tidak malu pun, kelas menengah-atas bahkan menciptakan bahasa samaran atau kode untuk jengkol,” ujar Rizal. Lantas terciptalah istilah jengki yang terdengar lebih cute. (FRO)
SARIE FEBRIANE, M HILMI FAIQ, & HARIS FIRDAUS
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 April 2016, di halaman 1 & 15 dengan judul “Pemberontakan di Republik Jengkol”