Gaya Hidup: Gemerlap Derma Kaum Urban

0
1464

Industri gaya hidup selalu cerdik menangkap relung emosi orang urban. Berderma yang dahulu dilakukan dalam senyap pun kini tampil gemerlap di bawah sorotan lampu cerlang. Semua gembira. Hore!

Bangku-bangku telah tertata rapi di Sampoerna Strategic Square, Selasa (22/3) malam. Di antara bangku-bangku tersedia satu alur panjang untuk lenggak-lenggok para model yang akan memperagakan busana koleksi terbaru Lotuz untuk musim gugur dan musim dingin 2016/2017, Luci.

Peragaan busana kali ini terbilang istimewa karena tak hanya busana yang dipamerkan, tetapi juga disisipi acara lelang untuk amal. Yang dilelang adalah tas Hermes Birkin 35 yang telah dilukis oleh duo ibu-anak, Yulie Nasution Grillon dan Dara Setyohadi, serta gaun malam keemasan koleksi Lotuz.

Tamu yang hadir dalam acara ini mulai dari pejabat bupati, beberapa duta besar, hingga tentunya para sosialita.

Lelang dimulai sebelum peragaan busana. Pembawa acara, Aimee Juliette, mengumumkan, barang pertama yang dilelang adalah gaun keemasan koleksi Lotuz. Gaun itu dikenakan Felicia Hwang, Puteri Indonesia Lingkungan 2016.

Gaun itu bermotif bunga warna emas, ekor panjang, dan berkilauan. Dari harga pembukaan Rp 10 juta, akhirnya terlelang di harga Rp 13 juta kepada Dato Seri Jonesser Choi dari Malaysia.

Lelang kedua adalah tas Hermes Birkin 35 yang telah dilukis dengan motif bunga oleh Yulie Nasution Grillon dan Dara Setyohadi. Tas tersebut sebelumnya dijual di situs jual beli barang mewah Huntstreet.com. Tas mewah ”it bag” tersebut bekas pakai atau preloved, istilahnya kini. Untuk tas baru model yang sama, harganya sekitar 13.000 dollar AS.

Setelah dibuka dengan harga Rp 80 juta, tas Hermes Birkin 35 dengan lukisan tangan itu berpindah tangan kepada Tati Surjaputra, istri seorang pengusaha, pada harga Rp 150 juta.

Michelle Surjaputra, Direktur Lotuz, selaku penyelenggara pergelaran busana dan lelang amal, mengatakan, setiap tahun dirinya selalu menyelenggarakan lelang amal dalam peragaan busana. Tahun lalu, Lotuz juga mengadakan lelang amal untuk Happy Heart Foundation.

”Yayasan itu juga membuat sekolah di Tangerang. Tahun ini, hasil lelang kami sumbangkan untuk Sampoerna Foundation,” tutur Michelle.

Di masa mendatang, Michelle ingin membuat kegiatan yang sama, lelang di tengah peragaan busana. Dari minat orang yang hadir dalam acara itu, dia tahu banyak pihak yang tak segan membantu, terutama untuk dunia pendidikan.

Bagi Michelle, dirinya memilih bidang pendidikan untuk disumbang karena merasa pendidikan sangat penting untuk semua orang. Tanpa pendidikan, mereka tidak bisa hidup dengan layak. Dengan bersekolah, mereka memiliki bekal untuk hidup. Dan, banyak orang akan merasa tergerak menyumbang jika itu untuk pendidikan. Hal senada diungkapkan Creative Director Lotuz Kesya Moedjenan.

Format peragaan busana dan beramal juga digarap dalam Plaza Indonesia Fashion Week yang lalu. Yayasan Jantung Indonesia (YJI) bekerja sama dengan Didiet Maulana yang membawa labelnya, Ikat Indonesia. Skema penggalangan yang digarap adalah dengan menjual tiket kursi deretan terdepan alias front row—yang prestisius dalam pergelaran busana—seharga Rp 1 juta per kursi. Sementara pihak Plaza Indonesia menyediakan tempat dan menanggung biaya produksi.

Patty Siahaan, salah satu host acara tersebut, mengungkapkan, bahkan setelah tiket habis terjual, masih banyak yang ingin membeli, tetapi tak kebagian.

Esti Nurjadin, Kepala Bagian Pengembangan Dana YJI, mengungkapkan, malam amal yang dilebur dengan peragaan busana cukup efektif menggalang dana. Sebab, pihaknya tidak perlu mengeluarkan banyak biaya untuk menggelar kegiatan, tetapi beroleh dana yang besar. Dari 130 kursi yang dijual, YJI mendapat pemasukan Rp 130 juta dalam beberapa jam saja. Sementara pihak Plaza Indonesia menyediakan tempat dan menanggung biaya produksi kegiatan.

Dengan demikian, para pembeli tiket bisa beramal sekaligus eksis dalam perhelatan fashion show desainer kondang.

”Kesadaran orang untuk hal sosial makin besar, selain orang ingin selalu bersosialisasi. Jadi, kalau ada tawaran seperti ini, pasti menarik. Penyumbang juga dapat sesuatu yang lain. Bahwa mereka bisa duduk paling depan, penting enggak penting sih. Senang karena bisa lihat lebih jelas. Banyak juga yang ikut menyumbang, tapi justru enggak mau duduk di depan,” tutur Patty.

Menyumbang kalori

Tak hanya lewat fashion show, beramal kini juga dikemas dalam aktivitas olahraga yang masihngehits di kalangan kaum urban, yakni berlari.

Lewat kegiatan Run 4 PIKA yang digerakkan Canirunners Kolese Kanisius, misalnya, terkumpul dana Rp 1,53 miliar. Sebesar Rp 1,1 miliar berasal dari donasi kilometer yang ditempuh para pelari, sisanya dari sponsor.

”Ada 200 pelari yang mengumpulkan donasi dari kilometer yang mereka tempuh. Ada yang berlari 16, 33, dan 64 kilometer,” ujar Glenn Sebastian dari panitia penyelenggara acara.

Glenn mengatakan, dalam model amal itu, para pelari menjadi agen untuk mencari donasi. Ia pun ikut berlari untuk mengumpulkan dana. ”Saya kampanye ke sanak keluarga, saudara, dan teman. Saya bilang, ’Eh, gue mau lari ini, 64 kilometer, bukan lari gampang, bisa klenger di jalan, dukung dong’,” ujarnya.

Untuk mengetuk hati banyak orang, Glenn dan anggota panitia lainnya juga membuat poster-poster dengan kalimat andalan, seperti ”Lari Bukan dari Kenyataan, Tetapi untuk Kenyataan” dan ”Doa Saja Tidak Cukup”. Mereka juga harus mengenalkan SMK PIKA yang akan menerima bantuan itu dan mengadakan pameran hasil karya sekolah itu pada saat acara.

Perlahan tapi pasti, berita penggalangan dana itu mulai tersebar dan bantuan berdatangan. ”Awalnya, ini lari dengan modal sendiri, panitia tidak menyediakan apa pun karena dasarnya memang penggalangan dana. Tetapi, kemudian ada alumnus yang sudah jadi dokter menawarkan bantuan medik, ada yang menawarkan minuman, sampai mengawal kami berlari,” tuturnya. Seperti virus yang menyebar, banyak yang ketularan ingin ikut beramal.

”Donatur pun tidak harus selalu menyumbang besar. Dukungan bagi pelari bisa dimulai dengan Rp 100.000. Dengan begitu, kebiasaan beramal tidak harus dilakukan oleh mereka yang berkelimpahan. Siapa saja bisa membantu,” ujar Glenn. Dia meyakini, pada dasarnya manusia sebagai makhluk sosial selalu ingin saling membantu asal penyaluran bantuannya jelas.

Glenn menuturkan, dari acara Run 4 PIKA, terdapat sekitar 2.500 pledge (dukungan bagi pelari) dan setelah acara lari usai, 99 persen di antaranya membayar donasi yang dijanjikan. Para pelari terkadang tidak kenal langsung dengan pendukungnya yang memberikan sumbangan. ”Mereka unggah di medsos dan kemudian beritanya ke mana-mana dalam jejaring mereka,” ujarnya.

Yang paling banyak mendapat dukungan dalam acara yang diadakan oleh alumni Kolese Kanisius itu tentu saja para romo dan frater, tokoh agama Katolik. ”Larinya enggak jauh, tetapi umat yang dukung berjibun, he-he-he,” kata Glenn bergurau.

Setelah acara lari selesai, foto-foto pun diunggah ke media sosial. ”Karena larinya jauh, 64 kilometer, heboh posting fotonya bisa sampai sebulan, ha-ha-ha,” lanjut Glenn.

Acara beramal yang juga dikemas dalam aktivitas fisik yang akan berlangsung dalam waktu dekat adalah Peace of Mind Festival yang digagas Pink Shimmerinc, grup yang aktif mengampanyekan kesadaran akan ancaman kanker payudara.

Pink Shimmerinc bekerja sama dengan Kuningan City menggelar festival yoga tersebut diballroom Kuningan City pada 9 April mendatang. Tiket registrasi yang dijual akan menjadi donasi untuk kegiatan kampanye kanker. Peserta lalu akan diajak untuk posting foto tengah beryoga di Instagram. Foto yang menarik akan mendapat kupon belanja.

Charity is fashionable. Beramal masa kini tetap harus ngehits!

Fransisca Romana & Sri Rejeki


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Maret 2016, di halaman 1 & 15 dengan judul “GAYA HIDUP: Gemerlap Derma Kaum Urban”