Seorang anak laki-laki berusia lima tahun berdiri di depan etalase kaca. Matanya terpaku pada permainan teka-teki di hadapannya. Ia harus menyusun segitiga, bujur sangkar, dan lingkaran berwarna-warni sesuai dengan perintah di buku petunjuk. Di balik etalase, Kasman, petugas di sebuah kios, memberi semangat kepada anak tersebut dan sesekali memberi petunjuk mengenai kotak mana yang harus diisi dengan bangun bidang tersebut.
Coba, di lembar petunjuk, lingkaran merah diletakkan di kotak kedua dari kiri. Kira-kira, yang mana kotaknya?” kata Kasman. Mata anak tersebut lantas mencari-cari lingkaran merah. Sebuah lingkaran merah diambilnya dan kemudian diletakkannya di tengah kotak yang dimaksud.
Pemandangan semacam ini terdapat di hampir setiap kios mainan dalam Jakarta Toys March yang diadakan di Ratu Plaza, Jakarta, Sabtu (26/3). Berbagai mainan, seperti kartu, permainan papan, figur aksi, boneka, dan robot-robotan, dipampang di etalase. Pengunjung yang tertarik diberi kesempatan mencoba memainkannya.
Anak-anak yang penasaran boleh mengambil boneka Doraemon atau binatang dan memainkannya. Dalam sekejap, jalinan cerita meluncur dari mulut mereka. ”Permainan fisik tetap digemari anak-anak karena bersifat interaktif,” kata Restu Kurniasih dari bagian Relasi Konsumen Rumah Edukasi.
Perusahaan tersebut memproduksi permainan teka-teki untuk anak berusia satu tahun hingga lansia 108 tahun. Bentuk permainannya meliputi susun-menyusun balok, bangun ruang, mencocokkan teka-teki bangun bidang, hingga permainan mereka yang terkenal, yaitu Rush Hour.
Dalam Rush Hour, permainan untuk anak berusia delapan tahun ke atas, pemain harus bisa membawa mobil berwarna merah dari ujung ke ujung. Permasalahannya, jalur tersebut terhalangi kendaraan lain. Jadi, pemain harus memutar otak untuk menggeser mobil-mobil lain agar mobil merah bisa sampai di tujuan.
Permainan itu terlihat sederhana, tetapi sebenarnya membutuhkan konsentrasi dan strategi berpikir untuk mencapai tujuan akhirnya. ”Karena mainan ini bisa dipegang, anak pun dapat mengenal bentuk dan melatih keterampilan motorik mereka,” ujar Restu.
Berdasarkan masukan dari konsumen, Restu mengatakan bahwa anak-anak pada prinsipnya menyukai permainan yang menyenangkan dan menantang. Anak-anak juga jauh lebih menyukai permainan yang bisa langsung mereka sentuh, dengar, dan rasakan. Hal ini berbeda dengan kecenderungan orang dewasa yang bisa menerima konsep abstrak.
Gawai
Permainan berbentuk fisik dinilai memiliki berbagai kelebihan dibandingkan dengan permainan digital pada gawai. Dengan gawai, berbagai jenis permainan memang dapat diunduh secara mudah dan murah, tetapi terlalu lama bermain gawai bisa merusak mata. Selain itu, bermain gawai juga tidak mengembangkan fungsi motorik dan sosial anak.
Salah seorang konsumen, Tara (29), mengemukakan pendapat serupa. Ia dan istrinya sebisa mungkin menjaga putra mereka, Benji (2) , agar tidak terlalu dekat dengan gawai elektronik. ”Saya tidak mau dia kecanduan perangkat digital. Jadi, saya dan istri berusaha tidak menggunakan gadget di depan Benji,” katanya.
Menurut Tara, di usia balita, penting bagi Benji untuk memiliki mainan yang bisa disentuh dan dirakitnya sendiri. Tara meyakini, hal tersebut akan mengembangkan daya imajinasi dan kreativitas Benji.
Permainan membangun menara dari balok, boneka, dan robot-robotan diberikan kepada Benji. Putranya juga biasa bermain bersama kedua orangtuanya.
Tara tidak ketinggalan mengembangkan cerita untuk menjadi latar permainan anaknya. ”Hal yang paling penting ialah mainan itu aman untuk anak seusianya. Enggak pakai cat yang berbahaya atau terlalu banyak pretelan sehingga bisa membuat anak tersedak,” ucap Tara.
Anita (35), seorang pegawai negeri sipil, mengaku juga membatasi kedua anaknya yang duduk di bangku kelas I dan III sekolah dasar agar tidak terlalu sering bermain gawai. ”Maksimal dua jam di hari sekolah. Saat liburan, boleh enam jam, tetapi tidak terus-terusan di depan komputer. Minimal satu jam sekali berinteraksi dengan anggota keluarga,” ucapnya.
Di rumah, menurut Anita, anak-anaknya diberikan sebanyak mungkin permainan fisik, seperti bola, permainan papan teka-teki, dan alat musik. Ia berusaha pula sesering mungkin mengajak anak-anaknya untuk berjalan-jalan keluar.
”Sayangnya, di Jakarta tidak ada ruang terbuka tempat mereka bisa bermain layangan. Kegiatan fisik mereka cuma terbatas futsal dan berenang,” kata Anita.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Maret 2016, di halaman 5 dengan judul “Asyiknya Bermain dengan Papan Permainan”