Melongok kembali ke Pulau Buru, tak lagi ada bekas-bekas fisik yang membuktikan kekejaman terhadap para tahanan politik yang dituduh terkait peristiwa G30S. Mereka ditahan tanpa pengadilan dan bertahan hidup di tengah kerasnya alam. Pulau yang dulu menyimpan kengerian itu kini telah berhasil disulap menjadi hamparan hijau sawah sebagai lumbung beras di wilayah timur Indonesia.
Film dokumenter Pulau Buru Tanah Air Beta karya sutradara Rahung Nasution membawa Pulau Buru ke masa tergelapnya ketika kaki para tahanan politik menapaki tanahnya sebagai orang asing. Kehadiran mantan tahanan politik, seperti Hersri Setiawan (80) dan Tedjabayu Sudjojono, sebagai tokoh utama dalam film ini melahirkan lagi ingatan tentang kekejaman masa lalu. Ingatan yang ternyata masih dianggap sebagai ancaman oleh sebagian orang.
Dok. Film Pulau Buru Tanah Air Beta
Pemutaran film Pulau Buru Tanah Air Beta yang awalnya dijadwalkan di GoetheHaus terpaksa dibatalkan setelah Kepolisian Sektor Menteng memberitahukan adanya rencana unjuk rasa dari sebuah kelompok organisasi masyarakat. Film berdurasi 48 menit ini kemudian diputar terbatas di lokasi yang dianggap lebih aman, yaitu kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, Rabu (16/3). Pemindahan ini akibat tak adanya jaminan perlindungan keamanan dari negara, dalam hal ini aparat kepolisian yang enggan berusaha memberi pengamanan.
Bercerita tentang fakta sejarah sebagai tempat pembuangan tahanan politik tanpa melalui persidangan dan menjadi lokasi kerja paksa pada kurun 1969-1980-an, film ini dibuat untuk membuka mata generasi muda agar bisa belajar dari sejarah masa lalu.”Namun, ketakutan terhadap sejarah kelam ternyata masih dipelihara,” kata produser film Pulau Buru Tanah Air Beta, Whisnu Yonar.
Tokoh utama dalam film ini, Hersri Setiawan, merupakan sastrawan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang karyanya sudah dibawa ke biro pengarang Asia Pasifik pada masa Orde Lama. Ia juga menulis beberapa buku, termasuk Memoar Pulau Buru.
”Kami membuat dan merunut jejak langkah kami sebagai tahanan politik bersama 850 orang lainnya. Apa yang kami alami di tahanan, mulai dari penyiksaan, enggak ada enaknya. Tapi, waktu itu, kami harus tunduk kepada pemerintah. Dari pukul 4 pagi hingga 12 malam harus bekerja,” kata Hersri.
Bukan Diperiksa
Untuk mengedukasi penontonnya, film dokumenter ini banyak mencantumkan teks berisi tulisan fakta sejarah terkait Pulau Buru. Kisah cukup sederhana berputar pada perjalanan Hersri kembali ke Pulau Buru ditemani putrinya, Ken Setiawan (35), dan istrinya, Ita Fatia (57), untuk mengenang penahanannya selama sembilan tahun pada 1969-1978.
Perenungan mendalam tentang kondisi tahanan politik dihadirkan lewat bait-bait puisi yang dibacakan dengan suara bergetar oleh Hersri. Dalam salah satu puisinya, Hersri berkisah tentang jejak langkahnya di Pulau Buru bahwa dia dan teman-temannya disiksa, bukan diperiksa. Menjadi orang-orang yang berusaha berani dengan harapan bisa kembali pulang.
Perbincangan antara Hersri dan putrinya di Pantai Sanleko, Pulau Buru, memberi warna lain tentang cinta keluarga yang tak padam bagi para mantan tahanan politik ini. Ken memandang ayahnya sebagai sosok yang tegar dan selalu menjadi pahlawan baginya.
Dibawa dari Jakarta dengan kapal, Hersri pertama kali menapakkan kaki di Pantai Sanleko pada pukul 10.00. Tugas pertamanya kala itu adalah mencari pohon sagu di Hutan Tui dan belajar memerah sagu dari penduduk lokal. Ketika ditanya oleh anaknya tentang perasaannya kala itu, Hersri menjawab, ”Antara pengharapan dan penderitaan. Merangkak di panasnya pasir, masing-masing hanya mencoba memperpanjang umur agar bisa pulang.”
Jika Hersri menghuni unit 14, rekannya, Tedjabayu, yang juga sama-sama hadir di Pulau Buru, dulu ditahan di unit 4. Bersama-sama mereka mencoba mencari jejak masa lalu dengan mengunjungi gedung kesenian yang ternyata sama sekali berbeda dengan gedung kesenian di ingatan mereka. Gamelan-gamelan yang dulu ada di tiap unit juga sudah menghilang.
Sutradara Rahung Nasution sempat bingung ketika pertama kali menjejakkan kaki di Pulau Buru karena tak ada lagi jejak pengingat tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi di sana. Hanya ada monumen di Desa Savanajaya yang mencantumkan nama-nama tentara yang turut berjasa membangun lahan sawah di Pulau buru. ”Padahal yang bikin tahanan politik,” ujar Tedjabayu.
”Pemerintah masih buta dan tuli tentang kawan-kawan saya yang jumlahnya makin sedikit. Rasanya marah, tapi tidak cukup. Saya ingat kekejaman dan kebisuan pemerintah. Yang terjadi di Buru seolah dihilangkan begitu saja. Bahkan Presiden Joko Widodo ketika datang ke sini tidak bicara sepatah pun tentang kami. Bagaimana pemerintah mau membuka diri? Minta maaf saja sudah cukup. Sampai sekarang, penderitaan kami tidak diakui. Itu yang membuat kami harus marah,” tutur Hersri.
(Mawar Kusuma)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Maret 2016, di halaman 21 dengan judul ”Jejak Langkah Kekejaman”