Brown namanya, makhluk lucu yang bikin deg-degan. Kami menjumpainya dalam sebuah siang yang bahagia. Brown muncul begitu saja tanpa diduga. Saat itu, kami baru usai berlelah-lelah, berkubang di lahan gambut demi bertemu saudara-saudaranya.
Brown terlihat sedang bergelayutan di pepohonan di sekitar Visitor Center Punggualas pada jam makan siang. Ia lalu turun ke dahan yang lebih rendah, seperti sengaja ingin menampakkan diri. Orangutan ini dikenal ”ramah”, tidak takut sekaligus tidak agresif terhadap manusia. Beberapa orang yang kegirangan lantas berswafoto (selfie) dengan latar belakang Brown. Kami menyaksikan pergerakan Brown dengan santai, dengan hanya meniti jalan ”setapak” dari kayu yang dibuat sebagai pengantar dari visitor center untuk masuk hutan. Ia bagaikan ”bonus” setelah kami sepagian blusukan ke dalam hutan mencari sosok-sosok besar berbulu coklat.
Pagi harinya, kami memang bertemu beberapa orangutan, namun tidak bisa mengamatinya terlalu dekat. Dua orangutan dewasa yang kami temui berjenis kelamin betina. Mereka takut turun dari pohon jika mengendus kehadiran manusia. Satu orangutan lain berjenis kelamin jantan, namun masih kecil sehingga selalu menempel kepada ibunya. Jane, sang ibu, diperkirakan berusia 25 tahun, sedangkan anaknya, Jack, berusia tiga tahun. Sementara Iyes yang baru teridentifikasi sehari sebelumnya oleh tim belum diketahui hubungan persaudaraannya dengan orangutan lain.
Ketiganya kemudian berpindah dari satu dahan ke dahan lain. Mereka berhenti cukup lama ketika menemukan sumber makanan. Tiga sekawan ini lantas asyik memamah ranting kayu jelutung (Dyera lowii) yang rasa getahnya manis dan melepeh sisanya, yang kemudian jatuh ke tanah. Suku Dayak sering memanfaatkan daun jelutung muda untuk disayur.
”Pergerakan orangutan mengikuti musim buah. Kalau mereka bertemu dengan buah tutup kebali, mereka bisa makan enam jam nonstop sampai semua buah habis,” kata Restu, koordinator tim observasi.
Kali ini, ia bertugas bersama Andi Lala, Ipul, dan Robi, sesama warga Desa Karuing. Mereka melakukan tugas observasi selama 10 hari, lalu diganti oleh tim lain. Ada beberapa tim yang bertugas mengamati orangutan seharian penuh, sejak bangun hingga tidur lagi. Tim ini semula bertugas membantu para peneliti dan misi pelestarian orangutan oleh World Wildlife Fund (WWF). Belakangan, mereka kembali intensif melakukan observasi untuk kebutuhan pengembangan ekowisata orangutan di Punggualas.
Selain mengamati perilaku orangutan, mereka juga mengamati pepohonan di kawasan ini. Ada 137 pohon dari setidaknya 3.000 pohon yang diamati setiap bulan.
”Mereka mengamati dengan binokular, kapan pohon berbunga, mulai berbuah, hingga masak. Lebih dari 70 persen pohon itu bisa dikonsumsi orangutan, seperti bagian daun, buah, atau ranting,” kata Okta Simon, Koordinator Divisi Restorasi Taman Nasional Sebangau WWF Indonesia.
Sebanyak 60-70 persen waktu orangutan dihabiskan untuk makan. Selain bergelantungan dari satu dahan pohon ke dahan pohon lain, mereka juga mencari makan di tanah, misalnya menyantap semut di tanah atau makan rayap yang mereka bongkar dari kayu yang lapuk. Terkadang mereka juga makan lumut dengan cara mengisapnya.
Pergerakan orangutan
Kami mengikuti pergerakan orangutan dengan menembus hutan gambut yang di banyak tempat tanahnya tergenang air berwarna coklat kehitaman seperti air teh. Ketinggian air bervariasi pada permulaan musim hujan akhir Januari lalu, mulai dari semata kaki hingga sepangkal paha orang dewasa. Airnya terasa dingin ketika menyentuh kulit.
Langkah kaki harus berhati-hati agar tidak terjeblos ke dalam tanah yang seperti spons. Tanah gambut tersusun dari tumpukan dedaunan atau vegetasi pepohonan selama ribuan tahun, namun tidak terurai sempurna karena selalu terendam air. Kerapatan pepohonan juga menjadi tantangan tersendiri untuk menembusnya. Petualangan mengasyikkan bagi para pencinta alam.
Tim observasi yang dikoordinasi Restu menjadi pemandu kami, rombongan wartawan peserta Media Trip WWF Indonesia. Mereka sudah masuk hutan sejak pukul 03.00 agar tidak ketinggalan rutinitas orangutan. Karariyang atau jangkrik hutan akan membangunkan orangutan pada pukul 05.00. Mereka kemudian akan turun dari sarang dan memulai perjalanan mencari makan. Siang hari, mereka beristirahat sebelum mulai kembali makan. Pergerakan orangutan di atas dahan dapat diamati dari dahan-dahan yang bergoyang dengan ritme tertentu.
Orangutan jantan dalam sehari bisa bergerak 2-4 kilometer, sedangkan yang betina rata-rata 1 kilometer. Mereka akan terus makan hingga pukul 17.00 ketika karariyang kembali berbunyi, memberi tanda waktunya membangun sarang untuk tidur. Sarang dibangun dengan menyusun dan menjalin ranting-ranting di atas
pohon. Setelah kawin, orangutan jantan akan meninggalkan betina. Induk orangutan baru akan kawin sembilan tahun setelah anaknya besar. Orangutan bisa hidup sampai usia 50 tahun.
Informasi ini kami peroleh dari tim warga. Mereka hafal perilaku orangutan, selain mengetahui pergerakan mereka dari waktu ke waktu. Dengan begitu, pengunjung ekowisata hampir pasti bisa ikut mengamati perilaku orangutan. Ada sejumlah aturan yang harus diikuti, seperti tidak boleh memberi makan orangutan agar perilaku mereka tetap alami. Selain orangutan, pengunjung juga bisa mengamati aneka vegetasi, serangga, dan satwa lain di dalam hutan.
”Kami mendorong pengembangan ekowisata yang dikelola warga agar mereka mendapat manfaat ekonomi dari kekayaan alam di sekitarnya. Bukan dengan merusak, melainkan justru turut melestarikannya. Pada masa lalu, mereka mencari uang dengan membalak liar,” tutur Okta.
Untuk mencapai Punggualas, perjalanan bisa dimulai dari Desa Baun Bango, Kecamatan Kamipang, yang berjarak empat jam bermobil dari Palangkaraya. Dari Baun Bango, perjalanan dilanjutkan dengan menumpang perahu cepat menyusuri Sungai Katingan, lantas berganti dengan kelotok melewati Sungai Punggualas yang sempit, hingga akhirnya tiba di Kamp Punggualas.
Taman Nasional Sebangau termasuk kantong orangutan, satu dari empat kera besar di dunia. Hutan di kawasan ini menjadi gerbang dari jantung Kalimantan. Dari hampir 100.000 orangutan yang tersebar di Sumatera dan Kalimantan, 54.000 ekor berada di Kalimantan dan khususnya 39.000 ekor di Kalimantan Tengah. Hasil survei WWF Indonesia dan Taman Nasional Sebangau tahun 2015 memperkirakan, ada 5.800 orangutan di Sebangau atau meningkat 7,8 persen dalam 10 tahun terakhir.
Sri Rejeki
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Februari 2016, di halaman 25 dalam rubrik “ Perjalanan Bertemu Penjaga Gerbang Jantung Borneo”