Steik Berdesis dari New Orleans

0
1169

”Cesss”…. Sepotong steik seketika berdesis saat diletakkan di piring bersuhu 260 derajat celsius. Daging sapi kualitas tertinggi itu lalu menyatu dengan minyak mentega dan irisan daun peterseli. Desis yang mengantarkan aroma ini serta-merta memancing desahan. Ah….

Tak butuh lama sebelum suapan pertama meluncur memenuhi mulut. Tekstur lembut tenderloin yang dipanggang setengah matang itu membuatnya mudah dilumat. Sensasi daging yang empuk, hangat, dan bersari (juicy) pun langsung menggerayangi lidah. Maka, menyusullah suapan kedua, ketiga, dan seterusnya.

Hidangan bernama steik filet itu adalah salah satu menu andalan di Ruth’s Chris Steak House. Restoran fine dining asal New Orleans, Amerika Serikat (AS), ini baru membuka cabang pertamanya di Indonesia, tepatnya di lantai dasar Somerset Grand Citra, Kuningan, Jakarta Selatan.

Seperti namanya, steik adalah sajian utama jaringan restoran yang tahun ini genap berusia setengah abad itu. Selain filet dengan berbagai variasinya, ada pula pilihan seperti rib-eye (iga), T-bone, new york strip, dan porterhouse.

Semua steik itu disajikan dalam porsi ”tebal” khas Amerika dengan berat berkisar 230 gram hingga 620 gram. Bahkan, khusus porterhouse yang dirancang untuk dimakan berdua berukuran super jumbo, 1.130 gram!

Direktur Kuliner Ruth’s Chris Asia James Young mengatakan, steik yang mereka sajikan selalu menggunakan daging sapi kualitas teratas yang lazim disebut ”US Prime”. Jenisnya terdiri dari Angus, Hereford, dan Shorthorn yang semuanya diimpor dari AS.

Hidangan utama tenderloin steak filet khas Restoran Ruth's Chris Steak House, Jakarta, Kamis (11/2). Kompas/Lucky Pransiska
Hidangan utama tenderloin steak filet khas Restoran Ruth’s Chris Steak House, Jakarta, Kamis (11/2).
Kompas/Lucky Pransiska

Gaya selatan

Selain itu, Ruth’s Chris juga tak menggunakan banyak bumbu, gaya khas mengolah steik ala daerah selatan AS. Karena itu, jangan berharap menemukan saus sambal atau kecap di atas meja. ”Kami ingin setiap tamu merasakan sensasi alami daging seutuhnya,” kata James.

Dalam setiap steik, koki hanya memakai merica dan garam. Steik lalu disajikan dalam piring panas yang berisi minyak mentega dan irisan daun peterseli tadi. Piring panas itu juga berfungsi untuk menjaga kehangatan daging hingga gigitan terakhir.

Kunci cita rasa alami daging tersebut terletak dari cara memanggang dan alat pemanggangnya. Potongan daging dikurung dalam suhu sangat panas yang mendekati 1.000 derajat celsius dengan sebuah pemanggang (broiler) khusus.

Pemanggang itu mampu memanasi merata seluruh permukaan daging secara bersamaan sehingga sari pati atau ”jus” daging terkumpul di bagian inti dalam, tidak merembes keluar. Teknik ini amat krusial dalam mempertahankan manisnya sari atau jus daging. Hal itu tidak didapatkan jika memakai pemanggang konvensional yang hanya bisa memanasi satu sisi daging bergantian sehingga menyebabkan sari daging merembes keluar.

Teknik memanggang itulah yang dipakai oleh Ruth Fertel, perempuan pendiri restoran tersebut, sejak 1965 dan terus diterapkan hingga kini. Ruth bahkan disebutkan turut membantu mendesain alat pemanggang khusus tersebut.

Stanley Ko, Presiden Hasmore Limited, grup yang menaungi Ruth’s Chris Steak House, merekomendasikan setiap steik dipesan dalam tingkat kematangan medium rare atau medium. ”Tingkat kematangan seperti itu paling cocok untuk daging berkualitas tertinggi,” ujarnya.

Hidangan seafood sizzlin blue crab cakes khas Restoran Ruth's Chris Steak House, Jakarta, Kamis (11/2). Kompas/Lucky Pransiska
Hidangan seafood sizzlin blue crab cakes khas Restoran Ruth’s Chris Steak House, Jakarta, Kamis (11/2).
Kompas/Lucky Pransiska

Hidangan laut

Meski mengusung bendera steak house, Ruth’s Chris juga menyediakan pilihan hidangan laut yang tak kalah menggoda selera. Seperti steiknya, menu hidangan laut Ruth’s Chris pun membawa cita rasa New Orleans. Kami mencoba dua jenis hidangan yang masuk dalam kategori hidangan pembuka, yakni sizzlin’ blue crab cakes dan barbecued shrimp.

Sizzlin’ blue crab cakes adalah camilan berbahan utama daging kepiting biru yang dibentuk menjadi gumpalan dengan taburan irisan paprika merah-hijau dan peterseli. Menu itu juga disajikan dalam piring panas berisikan minyak mentega. Untuk menambah sensasi kesegaran, disediakan pula potongan lemon yang siap diperaskan di atas hidangan.

Adapun barbecued shrimp adalah udang windu panggang yang dilumuri saus creole khas New Orleans. Udang bertekstur lembut dan segar itu terasa pas dengan saus berminyak dengan cita rasa mirip-mirip bumbu sate itu.

Sebagai penutup, cheesecake dengan potongan stroberi yang memadukan sensasi creamy, manis, dan renyah menyempurnakan pengalaman bersantap siang itu. Selain cheesecake, bisa pula dipilih alternatif seperti chocolate molten cake, caramelized banana cream pie, ataupun es krim.

Ruth’s Chris mendesain interior restorannya dengan gaya elegan. Bentang ruangan berkapasitas 120 tempat duduk itu berbentuk cekungan dengan aksen warna didominasi putih, emas, dan coklat. Alunan jazz di latar belakang makin melengkapi nuansa New Orleans, yang juga merupakan tanah kelahiran aliran musik tersebut.

Hidangan seafood barbecued shrimp with creole butter khas Restoran Ruth's Chris Steak House, Jakarta, Kamis (11/2). Kompas/Lucky Pransiska
Hidangan seafood barbecued shrimp with creole butter khas Restoran Ruth’s Chris Steak House, Jakarta, Kamis (11/2).
Kompas/Lucky Pransiska

Stanley mengatakan, Ruth’s Chris di Jakarta merupakan cabang ke-11 yang dibuka di wilayah Asia. Cabang-cabang lain sudah hadir terlebih dulu, di antaranya, di Singapura, Shanghai, Tokyo, Taipei, dan Hongkong.

”Kami melihat pertumbuhan pesat kelas menengah di Indonesia. Perkembangan itu membuat makin banyak orang menginginkan hal-hal bagus, termasuk mencoba makanan-makanan berbeda dari berbagai belahan dunia,” ucap Stanley.

Cita rasa steik New Orleans di tengah jantung Jakarta ini makin menambah pilihan bagi pencinta kuliner Ibu Kota. ”Dan, Anda tak akan pernah pergi dengan perut yang belum kenyang,” kata Stanley.

(Mohamad Final Daeng)


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 Februari 2016, di halaman 20 dalam rubrik “Steik Berdesis dari New Orleans”