Lima tahun terakhir, mebel yang dibuat dari kayu tua menjadi primadona. Selain ramah lingkungan karena tak lagi harus menebang pohon atau mengeluarkan energi untuk pemrosesannya, kayu daur ulang juga dianggap karya seni yang ”seksi”. Pecintanya dengan mudah bisa menakar ketuaan kayu dari seratnya yang indah.
Pendiri Jakarta Vintage, Luthfi Hasan, jatuh cinta pada mebel dengan model tahun 1950-an, 1960-an, dan 1970-an yang tergolong kategori vintage. Meski kebanyakan orang memadankanvintage dengan lawasan, Luthfi menolak memakai kata lawasan yang, menurut dia, berkonotasi dengan sesuatu yang ketinggalan zaman.
Mebel vintage, menurut Luthfi, tetap harus mengandung unsur kekinian. Jakarta Vintage lantas memilih memproduksi mebel baru bergaya vintage dengan bahan baku kayu jati tua. Mebel yang diproduksi pun khusus, yaitu kursi. Kursi-kursi dengan model jengki yang sempat populer pada era lampau dihidupkan kembali dengan sentuhan kreativitas tinggi.
Ketika memulai usaha awal 2013, Jakarta Vintage sempat hanya menjual perabot tua yang direkondisi alias diperbaiki. Seiring makin tingginya permintaan, pembeli butuh jaminan kualitas. Beberapa bagian dari mebel tua sering kali sudah keropos termakan zaman. Perabot tua itu juga tak tersedia dalam jumlah banyak.
Pada akhir 2013, Luthfi akhirnya memilih membuat perabot baru dari kayu lama. Uniknya, kursi produksi Jakarta Vintage terjual hingga ke Timur Tengah. Kursi-kursi itu tampil modern dengan sentuhan tambahan bantalan empuk aneka motif, tetapi tetap terkesan tua. Kayu yang dipakai adalah kayu jati tua bekas bongkaran rumah, lemari, atau kayu gelondongan tua.
Kursi vintage, misalnya, didesain cantik dengan sentuhan tenun. Di tangan Luthfi, kursi dengan balutan tenun serta ikat itu justru tampak seperti kursi dari daerah Skandinavia dan terjual laris di Qatar. Bagi Luthfi, kursi ibarat kanvas untuk berkreasi. Dalam setahun, Jakarta Vintage minimal meluncurkan empat model kursi baru.
Tren ”Vintage”
Tak butuh banyak, menurut Luthfi, setiap ruang bisa saja hanya butuh satu kursi vintage ini sebagai aksen atau focal point. Apalagi, semua kursi Jakarta Vintage cenderung ramai dengan warna dan motif yang berani.
”Saya mulai bisnis ini sebagai hobi. Awalnya enggak sadar kalau ramah lingkungan. Pembeli enggak tanya lagi soal harga karena mereka merasa telah berbuat sesuatu yang baik untuk planet,” kata Luthfi ditemui di ruang pamer produknya di Darmawangsa Square.
Semua model mebel yang berumur di bawah 100 tahun sudah bisa dikategorikan sebagai vintage. Model yang lebih tua biasanya dikenal sebagai barang antik. Vintage lebih populer karena cenderung gampang diakses dengan ketersediaan barang yang masih banyak dibandingkan dengan barang antik.
Kegairahan kafe dan restoran mendesain diri dengan mebel vintage menjadi salah satu indikator tren vintage. Mereka yang lahir pada era 1970-an atau 1980-an, yang kini sudah cenderung mapan, biasanya juga punya kenangan terhadap mebel vintage dan ingin bernostalgia, lalu mencari barang yang mengingatkan masa kecil.
”Barang antik kalau dicat, nilainya enggak ada. Kalau vintage, dicat enggak apa-apa,” kata Luthfi. Vintage harus mau menginovasi diri dan terus memunculkan sesuatu yang baru. Jangan disajikan sekadarnya apa adanya. Harga sangat bergantung pada inovasi dan kreativitas.
Model mebel era 1950-an semakin cocok dengan masyarakat modern karena desainnya yang cenderung mulai ramping. Bandingkan dengan desain mebel art deco yang lebih bulky atau berisi.
”Ketika membuat desain, ikuti hatimu. Harus tahu tren, tapi enggak mau didikte. Tren untuk memberi inspirasi dan ide, bukan untuk sekadar diikuti,” ujat Luthfi, lulusan Ilmu Politik Universitas Indonesia ini.
Kota Lain
Tak hanya Jakarta, tren vintage pun merambah ke kota-kota lain. Di Yogyakarta, Ayu Indriani dan Aldo Setyatama Putra mendirikan Toko Temu Kangen Vintage, sedangkan Ricke Kristianto menghadirkan Kayu Lawas Furniture di Bondowoso. Temu Kangen memakai kayu jati tua untuk memperbaiki bagian yang rusak atau hilang dari mebel tua era pertengahan abad modern atau biasa disebut model mid century modern.
Mebel tua era pertengahan ini dimulai dari era pasca kemerdekaan Indonesia. Model pada era tersebut lebih dikenal dengan sebutan model jengki. Ciri khas dari model jengki sendiri adalah pada kakinya yang berbentuk lancip. Pada era tersebut, pembuatan kaki mebel dengan model jengki masih dilakukan manual, tanpa mesin. ”Itu yang menarik dari model jengki. Walaupun dengan kakinya yang lancip, furnitur tersebut memiliki konstruksi kuat dan tidak mudah rusak,” ujar Ayu.
Temu Kangen tidak memproduksi mebel baru dari kayu tua sehingga tak membutuhkan banyak bahan baku kayu tua. Selain kualitas lebih baik, serat kayu yang dihasilkan oleh kayu jati tua lebih bagus, tidak mudah melengkung, tidak mudah termakan rayap, dan jauh lebih kuat. Seiring makin diminatinya kayu jati tua, Temu Kangen terkadang sulit mendapatkan material kayu jati tua dengan harga ”miring”.
Berbeda dengan Jakarta Vintage dan Temu Kangen, Kayu Lawas memproduksi mebel baru dari kayu lama sekaligus menjual mebel lama setelah proses perbaikan. Tak hanya memakai kayu jati tua, Kayu Lawas juga memakai jenis kayu lain, seperti kayu nangka dan sonokeling. ”Dulu sempat jualan mebel antik, tetapi pasarnya tak seramai pasar vintage,” kata Ricke.
Maraknya pemakaian kayu tua jelas-jelas memberi dampak pada kelestarian lingkungan. Pohon-pohon tak lagi dipotong untuk bahan baku mebel. Gaya hidup vintage juga membawa pencintanya menjadi lebih kreatif, produktif, dan tidak konsumtif. Barang lama enggak harus dibuang. Yang lama justru makin berharga….
(Mawar Kusuma)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Januari 2016, di halaman 18 dengan judul ”Mebel Lawas Kian Menawan”
Comments are closed.