Bermain Puzzle dalam Peta Kertas

0
2084

Ada masa di mana peta kertas tergantung di dinding dan dijadikan pedoman perjalanan. Kini masyarakat lebih suka mengandalkan peta digital.

Bambang ”Paimo” Hertadi Mas, pesepeda yang rutin keliling dunia, masih mengandalkan peta kertas sebagai petunjuk jalan, termasuk ketika membawa sepeda ke puncak Gunung Kilimanjaro, 5.896 meter di atas permukaan laut. Peta acuan utama yang menjadi favoritnya adalah buku peta dunia buatan Inggris, dengan skala 1 : 50.000. ”Detail banget. Pokoknya asyiklah. Sering kali saya fotokopi untuk dibawa ke lapangan,” ujarnya.

Peta bekas keluaran tahun 2002 itu dibelinya di tukang loak dan menjadi petunjuk berharga ketika mencari rute sepeda. Biasanya, setelah tiba di lokasi tujuan, Paimo akan membeli tambahan peta kertas yang berisi tentang rute sepeda atau keterangan mendetail tentang sebuah kota.

Sayangnya, peta-peta yang kebanyakan dijual di lokasi tujuan adalah peta untuk jalur wisata yang mencakup hanya satu negara. Padahal, tujuan bersepedanya sering kali lintas negara dan melewati jalur yang tidak lazim ditempuh wisatawan. Agar tidak kesasar, Paimo memakai 2-3 kaca pembesar agar bisa membaca peta dengan lebih detail. ”Ada keasyikan tersendiri. Seperti bermain puzzle, ada sensasi yang beda,” tambahnya.

Ketika melintasi Spanyol pada 2010, misalnya, Paimo sempat kebingungan karena jalur di peta ternyata mentok, terpotong oleh hadirnya jalan raya nasional. Di Laos pada 2009, Paimo juga sempat tersesat di hutan dan dicegat tentara karena lokasi hutan tidak terdeteksi di peta.

Akibat akurasi peta yang parah, Paimo menabrak lempengan garam dan terbenam di salah satu danau garam terluas di dunia kala membelah Pegunungan Andes pada 2006. ”Dari awal pasrah karena titik sasaran hanya terlihat samar. Meleset dari tujuan. Petaku kurang akurat, tidak presisi, dan tidak mencantumkan pulau di sekitar daratan,” kata Paimo seperti dikutip dalam bukunya, Bersepeda Membelah Pegunungan Andes.

 

Referensi Terbaik

Buku peta karya Gunter W Holtorf edisi ke 12 cetakan tahun 2001. Buku peta maupun peta dalam bentuk lembaran perlahan mulai tergantikan oleh peta digital. Peta digital banyak dipilih karena lebih praktis dan mudah diakses melalui gawai, Kamis (21/1). Kompas/Lucky Pransiska
Buku peta karya Gunter W Holtorf edisi ke 12 cetakan tahun 2001. Buku peta maupun peta dalam bentuk lembaran perlahan mulai tergantikan oleh peta digital. Peta digital banyak dipilih karena lebih praktis dan mudah diakses melalui gawai, Kamis (21/1). Kompas/Lucky Pransiska

Meskipun pernah tersesat karena salah membaca peta, bagi Paimo, peta manual tetaplah referensi terbaik. Ketika kebingungan di Perancis Selatan, seorang temannya mencoba membantu dengan peta digital dan memberikan informasi bahwa lokasi yang dicari berada di pusat kota. ”Saya cek dengan peta manual, ternyata jalan yang saya tuju hanya 5 menit dari tempat saya berdiri,” ujarnya.

Memakai aplikasi peta seperti Google Map atau Google Street View juga pernah dilakoni oleh Paimo. Seperti ketika bersepeda ke Nepal pada 2008, ia jadi tahu kontur perbukitan dan lembah yang akan ditembuh sehingga merasa tidak ada kejutan dan kehilangan rasa takut. Akhirnya, beragam aplikasi itu hanya digunakan pada saat survei sebelum pergi.

Yoga Putra, lulusan Geografi Universitas Gadjah Mada yang sempat bekerja di lembaga swadaya masyarakat yang mengurusi masalah kebencanaan, juga bersetia dengan peta kertas. Ketika pergi ke lokasi tanpa sinyal internet seperti Kota Baubau, Sulawesi Tenggara, ia mengandalkan peta kertas.

”Peta jadul dua dimensi membangun kemandirian orang untuk melihat suatu wilayah secara komprehensif. Peta jadul tidak bicara, dia diam dan kita yang menafsirkan. Seiring kemajuan teknologi, peta menjadi perlahan lebih hidup. Sangat membantu, tetapi tidak memberikan informasi yang komprehensif,” tambahnya.

Peta digital yang terhubung ke satelit melalui internet memang dengan mudah memberikan informasi seperti alternatif pilihan jalan ketika terjadi kemacetan di jalur utama. Namun, rasa keingintahuan terhadap suatu wilayah justru lebih dibangun ketika hanya mengandalkan selembar peta kertas.

”Peta manual memang lebih repot, tetapi kita jadi lebih memperhatikan detail. Rasanya puas ketika bisa menempuh perjalanan sulit dengan peta kertas. Hanya satu lembar kertas tetapi terpapar informasi yang luas. Jadi lebih mengenali wilayah dan lebih bagus ke memori,” tutur Yoga.

 

Pembuatan Peta

Ahli geografi, T Bachtiar, menyebut peta kertas unggul karena masih tetap dapat digunakan di daerah-daerah yang tidak terjangkau ”sinyal”. Peta kertas bisa memberikan gambaran menyeluruh tentang sebuah medan penjelajahan sekaligus memaparkan kondisi kawasan sekitarnya. ”Kekurangannya, boleh dikatakan sangat kecil, bahkan banyak kelebihannya,” katanya.

Peta biasanya dibuat sesuai kebutuhan, pengetahuan, dan daya jelajah pada saat peta itu dibuat. Peta dibuat untuk kemudahan manusia melakukan kegiatannya. Peta tematis merupakan generasi awal dari sebuah peta. Peta tematis dibutuhkan untuk berbagai kepentingan seperti pencarian sumber minyak, membuat jalan, hingga kepentingan militer.

Pada mulanya peta dibuat belum menggunakan skala yang tepat karena dibuat berdasarkan hasil pengamatan selama penjelajahan. Peta di awal penjelajahan ini kebanyakan berupa peta rute laut atau peta pantai. Pada masa lalu, peta dibuat dengan alat ukur, dengan mengukir titik-titik dengan jarak sama membentuk jaring-jaring yang terhubung satu sama lain, lalu titik-titik pangkal itu diberi tanda, diberi nomor.

Pembuatan peta semakin detail ketika ada foto udara. Berbagai kawasan yang sulit dan bahaya untuk didatangi dapat memanfaatkan foto udara sebagai dasar pembuatan peta. Setelah ada peta dasar, baru diadakan penelitian lapangan untuk pembuatan peta-peta tematis yang dibutuhkan. Pembuatan peta lebih dipermudah lagi setelah ada citra satelit. Namun, untuk pembuatan peta yang lebih rinci, seperti peta kota, survei di darat tetap dibutuhkan karena jalan, gunung, sungai, gedung, dan lain-lain itu pada umumnya belum tertulis secara rinci.

(MAWAR KUSUMA)


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Januari 2016, di halaman 18 dengan judul ”Bermain Puzzle dengan Peta Kertas”