WASTRA NUSANTARA Songket yang Memikat

54
2816

Songket selama ini lekat dengan kain tradisional di Nusantara. Namun, di tangan beberapa kaum muda kreatif, khazanah tenun lokal itu ternyata bisa dikembangkan dengan sentuhan modern-kekinian. Jadilah, apa yang kemudian dinamai sebagai ”songket kontemporer”.

Apa itu? Coba kita temui pasangan suami istri Iswandi dan Miranda Alda, yang memiliki studio songket di Pinankabu, Canduang Koto Laweh, satu kota di Sumatera Barat. Sejak tahun 2012, keduanya bekerja keras memanggungkan kembali songket Minangkabau, terutama bagi generasi masa kini. Karyanya berusaha menghidupkan motif songket lama, tetapi dikemas dalam desain modern.

Motif

Menurut Miranda, terdapat 96 motif songket di Minangkabau yang kini cenderung terlupakan. Padahal, motif-motif itu mengandung makna dan filosofi mendalam. Ia sendiri baru mengembangkan tiga motif, yakni Saluak Laka, Tupai Managun, dan Salimpat.

Saluak Laka secara harfiah berarti anyaman dari keranjang. ”Maknanya, kebersamaan bisa mengatasi masalah. Di Minangkabau, kami menganut sistem matrilineal. Kalau anak disaluakkan itu artinya direntetkan ke dalam keluarga ayah. Intinya, kami tidak mengotak-ngotakkan lagi matrilineal atau patrilineal,” papar Miranda saat ditemui di Jakarta pada pertengahan Desember 2014.

Salimpat berarti pikiran yang berlapis-lapis. Adapun dalam motif Tupai Managun terkandung makna sikap waspada, misalnya seorang mamak (paman) harus mengayomi anak keponakannya karena mereka merupakan sendi dalam masyarakat.

”Saya membikin motifnya geometris dan floral, menandakan pemikiran yang berlapis-lapis, segala sesuatu harus dimengerti tidak hanya pada permukaan, tetapi harus lebih dalam,” katanya. Miranda dan Iswandi juga membikin motif binatang dengan mengulik bagian tertentu, misal kepala ikan.

Motif kain songket juga bisa dikembangkan dari motif ukiran kayu di rumah gadang. Hasilnya sungguh indah karena motif songket menjadi terkesan tiga dimensi dengan relung-relung seperti ukiran kayu. ”Penguatan desain dengan komputerisasi,” kata Iswandi.

Kreativitas mengantarkan songket-songket karya pasangan ini meraih UNESCO Award of Excellence 2012. Kerja keras mereka diharapkan menyulut gairah songket di Minangkabau, bahkan di Nusantara. Itu dimungkinkan karena sebagian besar masyarakat kita punya tradisi songket, yaitu metode tenun dengan menyelipkan benang pakan tambahan di antara benang pakan dasar.

Menghidupkan

Pemerhati dan penggiat wastra Nusantara Neneng Iskandar menilai upaya memopulerkan songket dengan unsur kontemporer berpotensi menghidupkan lagi tenun tradisional itu. Kaum muda diharapkan senang mengenakan songket di dalam keseharian, bahkan untuk bermain ke mal. Harapan senada dikatakan Ketua Yayasan Mahligai Songket Nandi Pinta Ilham.

Untuk lebih memopulerkan songket, digelar ”Yang Muda Yang Bersongket”, di Jakarta, 19 Desember 2014. Ini semacam parade mengolah songket oleh kaum muda. ”Saya yang sudah tua kalau memakai songket, ya, begini-begini saja. Kalau anak muda, tentu lain,” ujar Pinta.

Di tangan kaum muda, memang ada harapan, songket dapat diolah menjadi sesuatu yang lebih memikat. (Susi Ivvaty)

 

Foto:

KOMPAS/SUSI IVVATY