Kata cantik bak magnet amat kuat bagi sebagian besar kaum perempuan untuk berlomba mewujudkan dirinya menjadi sesuai kata itu. Demi mendapat sebutan cantik, mereka rela melakukan banyak hal, mulai merias wajah secara berlebihan, melakukan aneka terapi, hingga operasi.
Lihatlah tren mode terbaru yang menjadikan perempuan tampak cantik selalu laris manis. Kita tentu ingat beberapa waktu lalu mode rambut diluruskan (rebonding) mewabah. Mode itu banyak terpengaruh model iklan dan artis yang memperlihatkan rambut lurus sebahu nan indah.
Sebagian kaum hawa dari remaja sampai orang dewasa ramai-ramai ke salon untuk meluruskan rambut agar terlihat cantik. Banyak orang rela meluruskan rambut ikalnya yang unik dan indah karena rambut lurus identik dengan cantik.
Kini muncul mode alis dan bibir sulam. Sama seperti rebonding, perempuan segera berduyun-duyun ke salon kecantikan untuk melakukan sulam alis. Begitu keluar dari rumah perawatan kecantikan, bentuk alisnya menjadi rapi dan hitam tebal, bibir pun merah merona.
Dari sisi bentuk tubuh, pusat pelangsingan tubuh tak henti-hentinya memperkenalkan metode baru. Obat, minuman untuk melangsingkan tubuh, pun laris.
Fakta-fakta tentang usaha kaum perempuan menjadi cantik tersebut menjadi bukti persepsi sebagian orang tentang cantik belum berubah. Sebagian orang masih berpendapat cantik itu adalah memiliki tubuh langsing, putih, hidung mancung, wajah tirus, alis hitam tebal, bibir merah merona serta rambut panjang lurus. Hal itu sama dengan hasil penelitian tentang persepsi cantik yang diadakan di Semarang, Jawa Tengah, tahun 2013.
Persepsi keliru
Psikolog Efnie Indrianie dari Universitas Kristen Maranatha, Bandung, yang terlibat dalam pembuatan penelitian itu menjaring responden mahasiswi dari berbagai perguruan tinggi di Semarang secara acak. Hasilnya, lebih dari 70 persen responden mempersepsikan kata cantik sebagai berkulit putih, tinggi semampai (langsing), berhidung mancung. Efnie terkejut melihat hasil itu. Ia tak menyangka, di kalangan perempuan terdidik sekalipun mereka masih terjebak dalam persepsi itu.
Memang tak semua mahasiswa dan mahasiswi berpendapat sama dengan hasil penelitian tersebut. Annisa Ayu Chrisnadila, mahasiswi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang, Banten umpamanya. Dia berpendapat, cantik bukan urusan fisik, melainkan lebih kepada kemampuan dan kepribadian seseorang. Orang yang cantik di mata Annisa adalah perempuan yang punya kemampuan di bidangnya dan peduli kepada lingkungan di sekitarnya.
Mahasiswi semester II tersebut memberi contoh. ”Saya suka perempuan seperti Dewi Lestari (penulis buku dan penyanyi) serta Mira Lesmana (produser film). Buat saya, mereka cantik. Memang mbak Dewi memakai make up tetapi tak berlebihan. Yang saya lihat justru karya Mbak Dewi dan Mbak Mira yang menginspirasi banyak orang,” ujarnya.
Dari kalangan mahasiswa, Martha Wira Pratama yang kuliah di Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman, Puwokerto, Jawa Tengah, jadi contoh mahasiswa yang mengedepankan budi pekerti sebagai patokan menyebut perempuan itu cantik.
”Puncak kecantikan wanita itu berbanding lurus dengan tingkat perilaku dan budi pekertinya. Sumber penampakan lahiriah tergantung dari hati sehingga hati punya peran esensial,” ujar Wira.
Keluhuran budi
Efnie Indrianie, yang menjabat Head of Research Division and Lecturer Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha, Bandung, itu menyatakan, persepsi kata cantik itu sesungguhnya bertumpu kepada keluhuran budi pekerti seseorang.
”Sebenarnya cantik itu ya satu paket komplet. Ia terdiri dari pikiran, hati, tubuh, dan jiwa yang seimbang. Bagaimanapun bentuk tubuh dan kondisi wajah, rambutnya, seorang perempuan tetap akan cantik karena berbudi luhur dan bermakna bagi lingkungannya,” katanya.
Menanggapi persepsi cantik yang umum berupa berkulit putih, hidung mancung, rambut lurus, Efnie balik bertanya.
”Kalau persepsinya begitu, bagaimana dengan saudara kita di Papua dan tempat lain? Padahal, bangsa Indonesia punya 1.184 suku dari Aceh sampai Papua,” katanya.
Dengan cara pandang cantik itu paket komplet, kata Afnie, semua perempuan dari berbagai suku dengan kekhasannya masing-masing kemudian tetap bisa tampil cantik.
”Mereka yang berkulit hitam seperti model Naomi Campbell pun layak disebut cantik,” kata psikolog berambut panjang itu.
Soal mengapa masih ada pengertian keliru tersebut, Efnie menyebut, karena kita mewarisi cara pandang yang juga keliru dari orangtua dan leluhur. Contohnya sering ada kata-kata, jangan bermain di luar rumah nanti kulitmu hitam dan jelek.
”Nah, kata itu tertanam di benak kita, terbawa hingga dewasa. Padahal, berkulit hitam tak berarti jelek kan,” tuturnya tertawa.
Menurut Efnie, kita punya pekerjaan rumah besar untuk mengubah pola pikir yang salah tentang cantik. Pemikiran itulah yang harus diubah supaya tak menyesatkan banyak orang. Bagaimanapun, perempuan yang berbudi luhur, punya kemampuan tertentu, mensyukuri apa yang ada pada dirinya, sehingga percaya diri, sejatinya ia adalah perempuan cantik.
(SOELASTRI SOEKIRNO)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 Mei 2015, di halaman 34 dengan judul “Cantik Itu Paket Komplet”
Ilustrasi:
Jitet