Lewat program Duta Seni Rupa Kita dan Curators Labs, Jakarta Biennale 2015 memperluas capaian perhelatannya. Biennale bukan semata urusan karya seni rupa dan para senimannya, tetapi merengkuh dan belajar bersama publik.
”Kepo lu ah,” kata itu sering terdengar sebagai olok-olok bagi orang yang terlalu ingin tahu. Olokan itu justru sedang disandang dengan bangga oleh Adhitanto Nabil dan Muhammad Alip Noor, dua siswa SMA 87 Tangerang Selatan, dua Duta Seni Rupa Jakarta Biennale 2015.
”Kata ’kepo’ itu kan artinya ’Knowing Every Particular Object’. Buat kami, ’kepo’ punya makna baru, ’knowing every pARTicular object’, ada ’art’ di situ. Itulah proyek distribusi pengetahuan seni rupa yang kami rancang, kepoproject. Kami berbagi pengetahuan tentang seni rupa di akun Instagram kami,” ujar Adhitanto bangga saat mempresentasikan proyeknya dalam acara Duta Seni Rupa Kita di Gudang Sarinah, Jakarta, Minggu (20/12).
Enam pekan silam misalnya, Adhitanto dan Alip mengirim foto salah satu lukisan paling terkenal di dunia, ”Monalisa” karya Leonardo da Vinci, ke akun Instagram @kepo.project. Foto itu diimbuhi keterangan bahwa Leonardo da Vinci membutuhkan waktu 12 tahun untuk menyelesaikan lukisan bibir Monalisa. Pada keterangan foto, @kepo.project merinci informasinya tentang versi-versi lain yang membilang waktu da Vinci melukis bibir Monalisa, antara 3 sampai 22 tahun!
Akun @kepo.project juga berisi unggahan poster-poster digital yang berkabar tentang aktivitas seni rupa. Mulai dari pameran, diskusi, sampai jadwal pemandu kunjungan pameran Jakarta Biennale 2015. Sayang, informasinya masih tergolong sedikit.
”Proyek distribusi informasi tentang seni rupa ini memang belum selesai. Kami baru akan mulai malahan,” kelit Adhitanto.
Edukasi Publik
Gagasan @kepo.project itu hasil rangsangan program Duta Seni Rupa Kita, sebuah program edukasi publik yang menjadikan pelajar sekolah menengah atas sebagai pandu informasi. Terdapat 18 siswa yang terlibat dalam proyek itu, yang di akhir program menghasilkan delapan proyek penyebaran pengetahuan seni rupa.
Khalisha Tambunan, siswi SMA Global Jaya, berkolaborasi dengan siswi SMAK 1, Joviana Henza, membangun portal www.gelung.com. Portal ini serius mengolah berbagai informasi seni rupa, termasuk dengan mewawancarai narasumber, membuat resensi pameran seni rupa, yang dibuat sendiri oleh Khalisha dan Joviana. Keduanya bahkan terus membangun laman internet mereka agar dapat menyediakan informasi lengkap berbagai kegiatan seni rupa, juga tips membuat karya. ”Kenapa gelung? Itu kata lain lingkaran, kami suka lingkaran,” ujar Khalisha.
Internet memang punya keunggulan karena tiap-tiap informasi yang diunggah ke sana bisa dibaca siapa saja, dari mana saja. Kapan pun, siapa saja bisa membuka akun Instagram @kepo.project ataupun www.gelung.com. Namun, internet bukan satu-satunya medium yang dipilih para Duta Seni Rupa. Dua siswa Labschool Jakarta, Insan Fadhil dan Rahma Dhianti, misalnya, membuat proyek partisipatif dalam memancing percakapan tentang ”seni rupa itu apa?”.
Keduanya membuat kartu pos yang memakai rumusan ”5W1H” untuk menebar informasi dasar tentang seni rupa. Di halaman sebaliknya, Insan dan Rahma menyediakan ruang kosong dan mempersilakan para penerima kartu pos untuk mengekspresikan dirinya di sana. Corat-coret, menggambar, melakukan apa saja. Kartu pos itu dibagikan kepada teman sekolah Insan dan Rahma, membuat Jakarta Biennale 2015 menjadi percakapan banyak siswa Labschool Jakarta.
Izzudin Muhammadsyah dan Ramadanti Putri, dua siswa SMA Diponegoro 1, Jakarta Timur, ”menyerbu” sejumlah tempat di Jakarta dengan stiker-stiker rancangan mereka. Stiker-stiker Ambience in The School yang berukuran besar berisi berbagai pengetahuan tentang seni rupa itu juga ditempelkan di Gudang Sarinah. ”Ditempelkan di toilet sih, nasib proyek saya,” kata Izzudin tertawa-tawa dalam presentasinya.
Ramadanti Putri juga membuat buku ilustrasi tentang pengetahuan medium dan ruang lingkup seni rupa, serta menyebarkan buku ilustrasinya ke berbagai sekolah di Jakarta. Para siswa lainnya, Nadifa Hasnasari dan Laeticia Viorentine dari Erudio School of Art Jakarta serta Wilnie Chua dari SMAK 1 Penabur Jakarta, juga membuat booklet serta majalah dinding yang berbagi kabar tentang apa itu seni rupa. Semua menyasar kelompok yang jelas, sesama pelajar setingkat SMA, teman-teman mereka.
Publik yang Bagus
Program Duta Seni Rupa Kita itu melengkapi berbagai program edukasi publik Jakarta Biennale 2015, sekaligus menggenapi program Curators Lab yang ”memaksa” kurator Charles Esche membagikan ilmu mengurasi pameran seni kepada enam orang muda dari empat kota berbeda. Para kurator muda ini—Putra Hidayatullah (Banda Aceh), Benny Wicaksono (Surabaya), Anwar ”Jimpe” Rachman (Makassar), Asep Topan, Irma Chantily, dan Riksa Afiaty (Jakarta)—bersama-sama berproses dalam kurasi panjang Jakarta Biennale 2015.
Jakarta Biennale 2015 menjadikan perhelatan seninya bukan semata tempat merayakan pencapaian karya seni, melainkan juga wadah pembelajaran. Curators Lab memang masih berkutat dengan orang-orang seni.
Namun, Curators Lab jelas sebuah langkah konkret atas keluhan klasik medan seni rupa Indonesia, tentang kutub-kutub seni rupa yang melulu Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta.
Pada akhirnya, para kurator muda seperti Putra Hidayatullah, Benny
Wicaksono, dan Anwar ”Jimpe” Rachman akan menyapa publik sekaligus memanggungkan medan seni rupa di luar ketiga kutub, memanggungkan karya seni rupa dari Banda Aceh, Surabaya, dan Makassar.