Kolaborasi – Mencari Hakikat Seni

0
1548

”Pulchrum bonum verum”, indah baik benar. Di tengah Jakarta yang sumpek dan macet, kriteria estetik itu coba dimanifestasikan dalam arsitektur beserta seluruh isi dan kelengkapannya, dalam rumah Tuhan bernama Gereja Katolik Kristus Raja di daerah Pejompongan, Jakarta Pusat. Masyarakat sekitar menyebutnya Gereja Daun karena atapnya yang menyerupai daun.

Kami perlu berdiskusi selama dua tahun. Akhirnya tercipta daun, sebagai semacam oase di tengah kota,” kata Romo Rochadi Widagdo Pr, yang pada waktu gereja itu diresmikan sekitar tiga tahun lalu menjadi pastor kepala di situ. Arsitek penggarapnya Sindhu Hadiprana.

Kini, Romo Rochadi tengah menangani proyek yang kurang lebih sama, yakni Gereja Katolik Santo Yohanes Maria Vianney di Cilangkap. Pendekatannya sama: penerjemahan kekuatan ilahiah dalam estetika ruang.

Berbahagialah para seniman yang bekerja sama dengan Romo Rochadi. Dia adalah pendamping, memberi inspirasi melalui pergaulan yang erat dan penuh berkah, memfasilitasi pembikinan karya, menjadi teman diskusi, dan diam-diam memberi penguatan melalui doa. Dengan kata lain, meminjam istilah dunia seni rupa kontemporer, Romo Rochadi yang kini pastor kepala di Gereja Yohanes Maria Vianney adalah ”super-kurator”.

Tidak kenal

Bayangkan sendiri, ketika ia meminta I Wayan Winten membikin patung Yesus di kayu salib misalnya. Pematung terkemuka dari Bali itu mengatakan kepadanya bahwa ia tak kenal Yesus. Semua orang yang pernah menginjak Bali niscaya berpapasan dengan karya-karya Wayan Winten. Salah satunya terletak di dekat Bandara Ngurah Rai, berupa patung besar menampilkan tokoh wayang Gatotkaca.

”Saya doakan saja supaya Roh Kudus bekerja,” ucap Romo Rochadi.

Akhirnya seperti diceritakan Romo Rochadi, Winten mengambil sikap sekadar meminjamkan tangan. Seniman tadi percaya tentang spirit yang ada pada kayu jati besar yang hendak ditatahnya. Wujud akan keluar dengan sendirinya dari kayu. Patung Yesus di kayu salib dari kayu utuh itu pun kini bisa dilihat di gereja di Pejompongan.

Begitupun dengan seniman Yani Mariani Sastranegara. Kepada Yani yang kemudian membuat tempat paling disucikan di gereja yang disebut tabernakel, Romo Rochadi menceritakan kisah seperti terdapat dalam kitab suci, tentang semak belukar yang menyala. Tema itulah yang kemudian diambil Yani untuk menciptakan tabernakel dan semacam dudukan untuk menaruh piala di ruang adorasi.

Mengenai karyanya di ruang adorasi, Yani bercerita bahwa oleh Romo dirinya disodori
batu besar warna putih, yang entah bagusnya buat apa. Yani langsung berpikir, batu inilah yang paling tepat sebagai dudukan piala. Ia menatahnya, termasuk untuk tempat lampu yang menyala terus setiap hari selama 24 jam. Warnanya merah seperti bara api. Pada batu itu ia lilitkan sulur atau akar tanaman berduri.

”Orang Sunda menyebut akar kiasahan,” kata Yani, perupa yang berasal dari Banten ini.

Ada pengalaman tak ia lupakan. Ketika tengah membikin karya itu, ada jemaah gereja melihat. Si jemaah menangis, melihat lilitan sulur berduri pada batu. Yani terbawa, ikut meneteskan air mata.

”Saya tidak pernah mengira akan dampak karya ini,” ucapnya.

Kembang wijayakusuma

Di dalam Gereja Daun, mengelilingi dinding ruangan, tertempel panel-panel keramik, menceritakan perjalanan Yesus ke kayu salib. Rentetan cerita Yesus dari dijatuhi hukuman mati sampai wafatnya tersebut digarap oleh seniman keramik F Widayanto.

Dengan adanya panel-panel keramik yang merupakan jalan salib penderitaan Yesus, menjadi jelas statement hiasan lantai di tengah ruangan, di antara jejeran bangku gereja. Hiasan lantai, juga berbahan keramik khas Widayanto, berupa daun palem, simbol kebangkitan dan kemenangan.

Lantai membawa orang menuju altar, dengan latar belakang patung Kristus di kayu salib tadi. Altar bikinan Yani berornamen kembang wijayakusuma. Oleh sebagian orang, kembang wijayakusuma diasosiasikan dengan kehidupan. Dalam cerita pewayangan, Kresna menghidupkan orang mati dengan kembang wijayakusuma.

Di halaman gereja, tepatnya di tempat parkir, terdapat patung Bunda Maria dari bahan perunggu, berdiri di atas kolam air. Seniman Teguh Ostenrik, pembikin karya itu, ingin menampilkan (sifat) keibuan Maria yang lain. ”Maria yang tidak cantik,” kata Teguh.

Lengkaplah sudah narasi Gereja Daun, suatu proyek kolaborasi antara arsitektur, seni, dan rohani.

Berbeda-beda

Diceritakan oleh Romo Rochadi, pertemuannya dengan para seniman tadi terjadi begitu saja. Dalam bahasa dia, ”pertemuan itu karena Roh Kudus”.

Tentang biaya pembikinan gereja, menurut Romo Rochadi, dirinya tidak minta uang. ”Ini rumah doa. Saya tidak minta duit, saya minta doa. Uang itu wujud dari iman.”

Menurut dia, hanya manusia yang punya daya cipta. ”Saya dan para seniman ini seolah digerakkan Sang Pencipta. Sehati sejiwa dengan kehendak Tuhan,” kata Romo Rochadi, yang cita rasa estetiknya kelihatannya mengakar pada semangat kerakyatan dan pembebasan.

Dengan semangat itu pula, terjadi kolaborasi antara dia, para seniman, arsitek, dukungan para jemaah, melewati batas-batas konvensional sistem kepercayaan, disatukan oleh upaya pencarian sesuatu yang paling hakiki dalam keindahan.

Masih banyak lagi sebenarnya cerita para seniman itu yang bersifat sangat pribadi, yang tak bisa dipaparkan di sini. Biarlah ia menjadi rahasia pengalaman spiritual dari mereka, yang memiliki keyakinan berbeda-beda.

(BRE REDANA)


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Desember 2015, di halaman 01,15 dengan judul “Kolaborasi – Mencari Hakikat Seni”