Seniman-seniman yang biasa bertarung rupa di sesak jalanan kota ternyata juga piawai ”bergerilya” di ruang galeri. Lewat pameran ”Bebas Tapi Sopan”, 14 perupa/kelompok seniman jalanan itu hadir di Galeri Nasional Indonesia. Tanpa bermanis-manis, mereka menjadi ”hidangan pembuka” rangkaian perhelatan Jakarta Biennale 2015.
Melanjutkan siklus pameran besar seni rupa dua tahunan, puncak pameran Jakarta Biennale 2015 sebenarnya baru akan dibuka pada 14 November nanti. Apa yang dihelat pada Senin (26/10) lalu sebenarnya ”hanya” hidangan pembuka Jakarta Biennale 2015, tetapi pembukaan pameran ”Bebas Tapi Sopan” itu seheboh pesta.
Begitu pintu ruang pameran Galeri Nasional Indonesia di Jakarta dibuka, ratusan orang menyemut berebut masuk, gaduh tapi sopan. Celoteh-celoteh lucu terdengar mengomentari antrean orang di pintu masuk. ”Wah, kayak anak SD datang ke museum nih,” tutur yang satu.
”Siapkan buku catatan ya, tulis lengkap semua koleksi, dan dikumpulkan saat pulang,” tutur pengantre lainnya. Kerumunan itu tertawa, setengah langkah demi setengah langkah memasuki ruang pamer, lalu menyebar cepat ke ruang Gedung A Galeri Nasional Indonesia yang dindingnya penuh coretan mural dari cat, cat semprot, dan tempelan stiker.
Belasan orang muda ”terdampar” di salah satu ujung ruang, tempat sineas Anggun Priambodo menaruh karyanya, ”Perbaikan dan Keseimbangan Kota (Monster Blok)”. Anggun ”membobok” dinding putih mulus ruang pamer dengan cat abu-abu, warna cat yang biasa dipakai Satuan Polisi Pamong Praja DKI Jakarta untuk menutup grafiti atau mural para perupa jalanan Jakarta.
Anggun juga menaruh sederet foto kecil yang mengabadikan ulahnya. Sejak Agustus 2014, Anggun rajin berkeliling Jakarta demi menemukan blackout alias sensor mural para polisi pamong praja. Meski sensor itu kerap asal menoreh cat dan malah membuat kota kian jorok, Anggun menyebut bobokan cat itu sebagai ”lukisan polisi pamong praja”. Tiap menemukan ”lukisan polisi pamong praja”, Anggun mempercantiknya, dengan menggambar karakter-karakter jenaka di atasnya.
Awalnya, pengunjung pameran menonton foto berisi karya-karya Anggun merespons ”lukisan polisi pamong praja”. Tetapi segera saja orang-orang muda itu tahu ada beberapa kaleng cat ditinggal di ruang pamer. Tanpa ba-bi-bu atau kikuk, mereka mengambil kuas, merespons karya Anggun dengan gambar-gambar lucu, makian, juga petitah-petitih. Setengah jam saja, bobokan cat abu-abu Anggun terkena ”karmanya”, ditimbuni coretan-coretan baru para pengunjung.
Penuh daya hidup
Senin malam itu ruang pamer Gedung A Galeri Nasional Indonesia seperti simulasi pertarungan visual ruang publik Jakarta. Otoritas kekuasaan di Ibu Kota selalu memberi ruang bagi segala rupa komersial yang berizin (tentu saja membayar pajak) dan memberangus segala macam kemunculan visual tanpa izin (atau mungkin tanpa pajak?). Aksi ”blackout” itu pukul rata, mengubur segala macam rupa dan visual non-reklame. Mural atau grafiti seruan anti korupsi pun kerap berumur beberapa jam saja karena segera dibobok cat abu-abu polisi pamong praja.
Keliru jika penguasa Jakarta berpikir para petarung rupa di ruang publik bakal menyerah atau surut. Pertama, mereka banyak dan patah tumbuh hilang berganti, termasuk anak muda yang sekadar ingin menulis ”I Luv U Ery” atau menoreh eksistensi namanya di dinding jalanan. Kedua, mereka militan, apalagi mereka yang memahami coretan jalanannya adalah laku hidup merebut ruang kota dari visual dan rupa reklame komersial.
Elan vital para petarung rupa di jalanan itu berlimpah. Daya hidup yang sama juga terlihat di lapak Gardu House, kelompok seniman grafiti yang memenuhi separuh dinding ruang pamernya dengan stiker. Menandai (taging) sebuah lokasi dengan tempelan stiker hanya memakan waktu hitungan detik, seperti gerilya rupa. Di lapak Gardu House bertajuk #Glued2, pengunjung puas berlama-lama menempel stiker yang dijual Gardu House. Pengunjung berloncatan, membungkuk-bungkuk, merangkak, demi menemukan celah tersisa bagi stiker tempelannya, tanpa khawatir dicokok polisi pamong praja.
Di sebelahnya terdapat lapak RuangRupa, komunitas seni yang pernah meriset asal-usul dan peredaran berbagai stiker motor dan angkutan umum. Siapa sangka, kata-kata nakal seperti ”Nyalip dari Kiri Banci”, ”Yang Duduk di Depan Cakep”, atau ”Bebas Tapi Sopan” itu kebanyakan diproduksi massa sebuah pabrik stiker di Malang, Jawa Timur, dan beredar seantero Indonesia.
Jejak rupa komersial pedagang kaki lima, yang kontras dari segala keanggunan rupa komersial korporasi, dimunculkan oleh seniman-seniman Visual Jalanan. Kelompok riset street art dari Forum Lenteng itu memajang spanduk-spanduk bekas pakai bergambar lele, ayam, cangkir kopi, dan roti bakar di ruang pamer. Instalasi Visual Jalanan seperti pengingat bahwa medan seni rupa jalanan tengah diubah teknologi cetak digital, membuat spanduk lukisan tangan para pedagang kaki lima tersingkir oleh rupa spanduk cetak digital yang generik.
Narasi personal, model grafiti dan mural yang paling banyak bergerilya rupa di ruang publik, dihadirkan dengan memukau oleh The Popo, yang memenuhi ruang berdinding merah dengan grafiti yang mengenangkan figur ayahnya. Ace House Collective, ”Sobledobledo” menghadirkan modus operasi lain karya rupa jalanan, fotokopi gigantis dari coretan tangan kecil setiap awaknya. Mural-mural gigantis karya Vendy ”Methodos”, Milisi Mural Depok, Angga ”Acip” Cipta, ataupun Tutu juga kaya narasi.
Tak berhingga
Seni rupa jalanan ini memang tak terduga dan penuh kemungkinan. Siapa sangka, kolaborasi Klub Karya Bulu Tangkis dan Ricky Janitras menciptakan mural digital berupa video mappingperenang dan pelari. Memakai proyektor yang diangkut mobil bak terbuka, video mapping itu berlari dan berenang berkeliling dinding kota Jakarta. Rekaman video mural digital itu berkeliling Jakarta pada 3-10 Juni lalu dan turut dipamerkan dalam ”Bebas Tapi Sopan”.
”Penyimpangan” lain dihadirkan Dinas Artistik Kota, yang mencoba meretas kesementaraanstreet art. Dinas Artistik Kota membuat maket dari berbagai sudut kota Jakarta yang pernah atau masih tercoreti mural dan grafiti. Dinas Artistik Kota misalnya membuat maket suasana unjuk rasa pada 2011, berikut adegan Andy Rharharha melekati aspal depan Istana Negara dengan plakban (tape art) yang menggugat absennya negara dalam kasus kekerasan sektarian.
”Bahan dan gagasan untuk pameran ini memang melimpah, kami diskusikan dengan para senimannya sejak Maret 2015. Kami mencoba menghadirkan representasi kelompok, genre, dan medium karya rupa jalanan. Dari 25 perupa dan kelompok yang kami ajak, hanya 14 yang mau berpameran. Sebagian menolak karena ingin konsisten bertarung rupa di jalanan, menegaskan pameran di ruang galeri bukanlah ruang publik yang ingin direbut,” kata Andang Kelana, kurator pameran.
”Bebas Tapi Sopan” memang ”cuma” hidangan pembuka Jakarta Biennale 2015, yang tahun ini memilih ”Maju Kena, Mundur Kena – Bertindak Sekarang” sebagai tema. Toh, ”Bebas Tapi Sopan” yang dipamerkan hingga 16 November mendatang adalah hidangan pembuka yang bergizi.
Comments are closed.