Kelompok Orkes Moral Pengantar Minum Racun yang tidur panjang selama belasan tahun itu kini menggeliat lalu memeluk penggemar baru. Anak-anak usia belasan hingga awal dua puluhan tahun berjoget dan menyanyikan lirik-lirik PMR yang mereka hafal di luar kepala. Inilah periode alih generasi sahabat racun, sebutan penggemar PMR.
Orkes Moral Pengantar Minum Racun atau OM PMR pada Selasa (28/10) merayakan ulang tahun mereka ke-38 di sebuah kafe di bilangan Kemang, Jakarta. Ratusan penggemarnya memadati kafe yang hanya cukup untuk puluhan orang itu. Ruang pertunjukan penuh sesak hingga jarak personel PMR dengan penonton hanya selambaian tangan.
Namun, bukan PMR kalau memedulikan semua itu. Jhonny Madu Matikutu alias Jhonny Iskandar (vokal, suling, dan horamonisir), Adjie Cetti Bahadur Syah (tamborin, perkusi), Yuri Mahippal (mandolin, cuk), Harry Muka Kaphour (gendang), Budi Padukone (gitar), dan Imma Maranaan (bas) terus mengajak berjoget dan mengocok perut penonton lewat lagu maupun dialog konyol. Mereka saling lempar ejek atau canda segar yang memicu penonton pecah dalam tawa. Di usia yang rata-rata kepala lima dan enam, mereka tak berjarak lagi dengan penonton yang tiga puluh hingga empat puluh tahun lebih muda.
Personel PMR yang sejak kemunculannya nyentrik, malam itu tetap nyentrik. Jhonny mempertahankan rambut panjang keritingnya dipadu kacamata tanpa kaca lengkap dengan rantainya. Lima jemari kirinya penuh akik yang berkilauan tertimpa cahaya panggung saat dia memainkan seruling. Di lengannya melingkar akar bahar dan gelang rantai.
Personel lain tak kalah nyentrik dengan liontin batu akik dan bertopi. Uniknya, semua personel memakai kaus bertuliskan nama-nama band anak muda seperti Flowers dan Seringai. Lagu-lagu band itu dipermak PMR menjadi demikian jenaka. Itulah alasan mengapa malam itu tawa penonton pecah.
Sebelas lagu mereka suguhkan, seperti ”Istilah Cinta”, ”Boneka dari India”, sampai ”Judul-judulan”. Juga empat lagu yang terangkum dalam mini album bertajuk Orkeslah kalau Begitar.
Ketika Jhonny dan kawan-kawan turun panggung, penonton seolah enggan bergerak. Mereka merengek tambahan lagu. ”Kalau masih muda sih kite layani. Ini kite-kite udah pada tua. Gak kuat lagi,” kata Jhonny dengan ekspresi penuh canda.
Baru saja Jhonny hendak rehat, datang Dado Darmawan, anggota Manajemen PMR. ”Bang, bisa enggak nyanyi dua atau tiga lagu. Di luar banyak banget penonton yang tadi tidak bisa masuk. Biar mereka tidak kecewa.”
Setelah berembuk, Jhonny mengiyakan permintaan itu. Benar saja, sekitar seratus penonton memenuhi halaman parkir kafe. Jhonny dan rekan-rekannya pun menyulut kehebohan dengan mengajak berjoget dan bernyanyi (lagi) penonton di panggung dadakan dengan pencahayaan dan tata suara seadanya, tetapi semangat maksimal. Penonton yang semula hanya meminta dua lagu ternyata membengkak hingga delapan lagu.
Di halaman kafe itu, penonton lebih leluasa berjoget karena relatif lebih lapang dan tidak pengap seperti di dalam ruangan tadi. ”Di dalam tadi panas banget. Enakan di sini,” kata Faldi Fauzan (21), asli Depok, yang malam itu sengaja datang bersama Qodriansyah (20) dan empat rekan sebayanya untuk menonton PMR.
Pernah jaya
PMR meroket namanya seiring meluasnya lagu ”Judul-judulan” dari album berjudul sama yang dirilis tahun 1987. Lagu ini demikian terkenal melampaui PMR itu sendiri sehingga banyak orang hafal lagunya, tetapi tidak tahu penyanyinya. Dalam waktu tiga bulan, album itu terjual hingga 2 juta kopi. Penjualan yang luar biasa dalam sejarah musik Indonesia.
Banyak yang tidak tahu bahwa PMR sudah hadir sejak 1977 dan kerap mengiringi kelompok lawak Warung Kopi Dono Kasino Indro (Warkop DKI) siaran di Radio Prambors.
PMR sangat mahir memarodikan lagu, seperti dalam lagu ”Pergi Tanpa Pesan”, ”Gubuk Derita”, dan ”Antara Cinta dan Dusta”. Unsur jenaka juga amat kental dalam lagu-lagu ciptaan mereka sendiri sebagaimana tersurat dalam ”Judul-judulan”.
Gara-gara lagu ”Judul-judulan” pula, pemerintah Orde Baru lewat Menteri Harmoko sempat melarang PMR menyanyikannya. ”Karena dianggap liriknya tidak sopan. Tetapi, masyarakat sepertinya semakin penasaran,” kata Adjie Cetti Bahadur Syah.
Namun, mereka terus bertahan dengan gaya yang konsisten, termasuk warna musik yang unik. Jhonny menolak jika musiknya disebut musik dangdut. Pengamat dan kritikus musik lebih senang menyebutnya dangdut alternatif karena unsur kendang dan suling yang dominan. ”Ada musik gambus, melayu, rock, pop. Pokoknya semua jenis musik ada di PMR,” kata Jhonny.
PMR telah menghasilkan 15 album dan 7 album kompilasi. Namun, sejak kerusuhan Mei 1998, mereka seolah menghilang. Kata Jhonny, selain sepi order, saat itu seluruh master rekamannya terbakar bersama studionya dalam kekerasan massal di Jakarta.
Personel PMR pun bertahan hidup dengan caranya masing-masing. Belakangan muncul tawaran agar mereka tampil di Borneo Beerhouse di Jalan Madrasah hingga mereka pindah ke bilangan Kemang. Setelah yakin masih punya cukup tenaga, personel PMR kembali ”ngamen” di kafe hingga Pasar Santa. Di setiap penampilan, tak pernah sepi penonton.
Berbekal semangat itulah, mereka menerima tawaran untuk ”mengusili” lagu-lagu milik band-band dengan ratusan ribu penggemar berusia muda seperti Efek Rumah Kaca, Naif, dan Seringai. Lagu-lagu mereka dipermak dengan semangat jenaka dan rancak sebagaimana terangkum dalam mini album Orkeslah Kalau Begitar.
Simaklah lagu ”Posesif”, yang dipopulerkan Naif, dipermak sedemikian rupa oleh PMR menjadi ”Topan alias Tato apa Panu”. Sulit untuk tidak tertawa saat mendengarnya.
Kuingin tahu, bukalah bajumu
Gambar apakah itu, di balik punggungmu
Aku masih ragu, tato atau panu
Oh, panu…
Yang baru tahu, cuma aku
(Mohammad Hilmi Faiq)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 01 November 2015, di halaman 29 dengan judul “OM PMR – Alih Generasi Sahabat Racun”