Wajahnya yang ayu tiba-tiba berubah tak keruan. Menyeramkan. Bibirnya melotot ke samping kanan dan kiri, tak simetris. Pipinya melorot ke bawah, lalu tertarik ke atas. Bola matanya bulat melotot seakan-akan hendak copot….
Mila Rosinta Totoatmojo (26) tidak peduli jika harus kehilangan ekspresi kecantikan wajahnya saat menari. Ketika di atas panggung, ia memasrahkan diri, melebur dengan karakter yang ia bawakan. Tariannya adalah ekspresi jiwanya.
”Menari itu untuk apa sih, tergantung dari niatnya. Kalau menari untuk kelihatan seksi, ya begitu saja hasilnya. Bagiku, menari itu seperti berdoa. Seperti tari sufi yang menari untuk berdoa. Di atas panggung, saya niat berdoa, memasrahkan diri,” kata Mila.
Wajah mungilnya saat itu sedikit berembun karena lelah di sela persiapan pertunjukan kolaborasinya bersama penari senior Didik Nini Thowok, beberapa waktu lalu di Jakarta. Mila tampil percaya diri mewakili generasinya lewat karya kolaborasi berjudul ”Canda Tua Muda”. Tidak hanya ”beradu” kemampuan tari, tetapi juga menyelaraskan diri, berkomunikasi lewat gerakan dan pesan yang ingin disampaikan.
Tari telah menjadi bagian kehidupannya sejak kecil. Ketika di bangku SD, Mila ikut berbagai les. Namun, hanya les tari yang setia memberinya prestasi. Ia bahkan sudah mengkreasikan gerakan senam atau jaipong bersama untuk kegiatan di SD-nya. Selaiknya remaja Ibu Kota, Mila juga menyenangi pop dance dan tergabung dalam kelompok pemandu sorak di sekolah.
Ketika pindah ke Yogyakarta mengikuti orangtua, ia menemui tantangan baru. Saat itu, Mila diminta mengikuti seleksi pertukaran pelajar ke Jepang. Ia harus mempelajari tari Jawa yang halus. Padahal, selama ini yang ia pelajari tari Bali yang ekspresif. Setahun lamanya, ia ”berdarah-darah” belajar tari Jawa, termasuk kepada penari keraton. Hasilnya tak mengecewakan, Mila terpilih dan tinggal di Jepang selama setahun.
Rasa dahaganya mempelajari sesuatu yang baru membuatnya bak kutu loncat. Ia belajar ke sana-kemari tarian apa pun yang menarik hati, mulai dari hip hop, pop dance, sampai K-Pop. Sampai ketika harus kuliah, Mila memantapkan pilihan masuk Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta meski diterima pula di sejumlah perguruan tinggi ternama lainnya di Kota Gudeg. Ia tidak bisa mengingkari hatinya yang memilih tari. Untung saja, Mila berhasil meyakinkan orangtua akan pilihan itu setelah berjanji membiayai sendiri kuliahnya.
”Perjumpaan dengan seorang seniman asal Indonesia di Jepang membuka wawasan saya. Penari atau koreografer bisa menjadi profesi. Menyenangkan sekali, passion kita di situ, mengerjakannya tidak terpaksa dan menghasilkan,” kata Mila.
”Wirogo, wiromo, wiroso”
Segala macam tari tradisi Nusantara ia pelajari. Selain di kampus, Mila juga menimba ilmu kepada penari atau teman-teman dari lain daerah. Kesulitan dan tantangan masing-masing tarian menjadi ”tabungan” gerak tubuh seorang penari.
Kemampuan Mila semakin terasah setelah bergabung dengan Tembi Dance Company. Berbagai lokakarya membawanya berkenalan dengan tari topeng Cirebon hingga balet dan gerak gimnastik. Mila juga tidak hanya digembleng menjadi penari dan koreografer, tetapi juga penyelenggaraan acara, manajemen, ideologi, filosofi, dan politik tari. Dari sini, ia juga beroleh penghasilan untuk membiayai kuliah dan karyanya, selain dari beasiswa kampus. Hingga kini, sudah puluhan tari, baik karya sendiri, bersama Tembi maupun kolaborasi, yang ia pentaskan ke berbagai daerah dan negara, seperti Jepang, Belanda, Mesir, India, Thailand, dan Singapura. Di negeri orang, Mila akan menyuguhkan tari tradisi dan kontemporer.
Ia juga menambah kemampuannya mencipta tari dengan melanjutkan pendidikan ke tingkat strata dua di kampus yang sama dengan beasiswa dari India. Melihat pencapaiannya dalam menari, rasanya ia telah melampaui fase wirogo (teknik menari) dan wiromo (harmoni gerak tubuh dan irama). Sementara wiroso (rasa jiwa) yang membuahkan taksu dikembalikan kepada penilaian penonton.
”Ketika menari, saya mencoba melupakan masalah apa pun yang sedang saya pikirkan. Berusaha menyatu dengan apa yang ada. Saya percaya alam bersama kita. Sampai pernah tangan saya berdarah. Baru sadar setelah selesai menari,” kata Mila.
Setelah tiga tahun bergabung dengan Tembi, Mila memberanikan diri merintis sekolah tarinya sendiri, Mila Art Dance (MAD). Ia ingin menghidupi tari sekaligus hidup dari tari. Mila kemudian membaginya menjadi MAD School untuk yang tidak punya dasar tari dan MAD Group bagi para penari. Kebetulan yang bergabung dengannya sebagai pengajar kebanyakan para penari perempuan yang punya energi dan visi yang sama.
Mila sengaja menawarkan berbagai macam tarian, mulai tari tradisi, kreasi, yoga, ballroom, hip hop, hingga K-Pop. Selain mempermudah mereka yang ingin belajar berbagai jenis tarian di satu tempat, ia ingin menggaet simpati anak muda kepada tradisi. ”Mulanya mereka saya kenalkan dengan tari kreasi, tari yang ada unsur tradisinya. Lama-lama saya ajak melihat tari tradisi. Banyak yang tidak kenal, selain menganggap tari tradisi itu membosankan dan bikin ngantuk,” ujar Mila.
Apresiasi tradisi
Dari semula tidak menyenangi, anak-anak muda itu kemudian mulai mengapresiasi tari tradisi. Bahwa tari tradisi tidak kalah menantangnya. Saat ini, ada 60 orang yang bergabung di MAD School serta 18 pengajar dan penari di MAD Group. Pada awalnya, mereka harus menumpang latihan di lapangan atau pendopo rumah orang. Akhirnya sejak April lalu, mereka berhasil memiliki studio sendiri yang berlokasi di Jalan Manggis, Condongcatur, Sleman.
Setiap empat bulan sekali ia membuat lokakarya gratis bagi para peminat tari yang ingin bergabung dengan MAD. Peserta boleh mengikuti kelas apa saja selama sehari. Mila juga membuat Tinta Tari dan Metamorfosa, semacam festival yang mempertemukan penari yunior dan senior serta panggung menampilkan karya tari peserta.
Ketika menciptakan sebuah tarian, Mila tidak sekadar ingin membuat tariannya indah dilihat. Tariannya harus bisa menjadi penyampai pesan. Ia terbiasa riset untuk menyusun komposisi gerakan tarinya. Menurut dia, seniman punya tanggung jawab sosial. Seperti karyanya ”Sang Kaca Rasa”, yang wajahnya menjadi tak karuan, membawa pesan siapa menabur akan menuai.
”Saya yakin semua manusia punya tugas masing-masing, tinggal menyadari atau tidak. Nah, tugas saya adalah menari,” kata Mila.
(Sri Rejeki)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Oktober 2015, di halaman 17 dengan judul “Tarian Jiwa Mila…”