Komik Indonesia – Jangan Kalah Sebelum Bertanding!

0
2510

Komikus Indonesia ibarat bergerilya di medan berat. Mereka harus menemukan cara bertahan hidup di pasar domestik, sekaligus bertarung di pasar global. Pertarungan itu tak terhindarkan karena pemain global pun terus mengukuhkan kekuatan di pasar domestik.

Di tengah dominasi komik impor di negeri ini, komik Indonesia masih ada. Itu membuktikan keliatan ide dan semangat para komikus negeri ini. Beragam tantangan harus mereka atasi agar komik Indonesia sukses beredar di pasar. Terlebih lagi, agar karya itu bisa memberi penghidupan bagi pembuatnya, sekaligus memberi inspirasi tentang Indonesia bagi pembacanya.

Tantangan pertama, penerbit komik di Indonesia kerap tak menerapkan strategi promosi. Ini karena penerbit besar justru lebih terbiasa memasarkan terjemahan komik impor. Komik impor masuk ke pasar Indonesia dalam paket strategi pemasaran komprehensif dari pemegang properti intelektual di negeri asalnya.

Hanya lisensi untuk mencetak terjemahan yang diberikan pada penerbit di Indonesia. Peredaran film animasi, video game, serta merchandise—dari bolpoin, boneka, hingga makanan—berkaitan dengan karakter komik impor itu tetap dikelola si pemegang properti intelektual. Penerbit di Indonesia cukup disibukkan dengan sebanyak mungkin alih bahasa dan peluncuran komik impor baru tiap bulan.

Manajer Redaksi Fiksi Elex Media Ida Bagus Kade Syumanjaya menjelaskan, ratusan judul komik impor baru yang terbit setiap bulan sebenarnya mendorong pembaca untuk lebih selektif membeli komik.

Namun, penerbit seperti Elex memandang perlu menerbitkan banyak judul karena margin yang ditekan minimal demi harga jual rendah. Komik impor umumnya dijual dengan harga Rp 15.000 hingga Rp 25.000 per judul. ”Kami mengumpulkan pemasukan dari jumlah judul yang banyak dengan selisih margin kecil,” ujar Syumanjaya.

Masalahnya, penerbit kerap memperlakukan komik Indonesia seperti terjemahan komik impor. Tanpa promosi, berhadapan dengan komik impor, komik Indonesia ibarat kalah sebelum bertanding. ”Karena tidak dipromosikan, kebanyakan cetakan pertama komik Indonesia tidak habis terjual. Untuk menyelesaikan cerita pun sulit. Begitu komik volume pertama tidak sukses di pasar, penerbit tidak akan mau melanjutkan cerita di buku berikutnya,” ujar komikus Chris Lie.

Sensitif harga

Bukan hanya soal promosi. Secara umum, industri penerbitan di Indonesia pun belum berpihak kepada komikus. Mari kita tengok Jepang, negara produsen komik terbesar saat ini. Di sana, karya komikus dibayar dengan harga per halaman (page-rate). Mereka juga memperoleh pendapatan mengalir dari royalti atas karakter komik yang dikembangkan ke format animasi, game, atau aneka merchandise. Bahkan, pinjaman biaya produksi bisa diberikan kepada tim penggarap komik yang dianggap berpotensi.

Di Indonesia, sebagian besar komikus tidak dibayar dengan harga karya per halaman. Komikus semata berharap penghasilan dari royalti. Padahal, royalti tidak bisa jadi sandaran hidup apabila komik karyanya tidak sukses dicetak berulang kali. Di Indonesia, masih langka pula karakter komik yang dikembangkan dalam format lain seperti game atau film.

Kebanyakan penerbit komik tidak membayar komikus dengan harga karya per halaman sebab hal itu akan menaikkan harga jual komik. Sementara pembaca sangat sensitif merespons komponen harga. Mereka terbiasa dengan harga komik impor yang murah.

Saat ini pun komik Indonesia kerap dijual dengan harga lebih tinggi daripada komik impor. Komik Indonesia biasanya dikemas dengan kualitas kertas dan sampul lebih baik untuk menarik minat pembaca. Penerbit juga memberi royalti lebih tinggi, yakni 10 persen, untuk komikus Indonesia. Namun, total royalti yang diterima komikus tak luput dipotong pajak 15 persen.

Beng Rahadian, Editor Cendana Art Media yang khusus menerbitkan komik Indonesia, menambahkan, ”Peraturan Pajak Pertambahan Nilai pada harga buku, termasuk komik, juga mulai diterapkan per Agustus 2015. Makin sulit kami menghitung harga jual komik.”

Komik digital karya komikus Indonesia.  Kompas/Riza Fathoni
Komik digital karya komikus Indonesia.
Kompas/Riza Fathoni

Diincar asing

Tantangan yang dihadapi komikus Indonesia bakal makin berat. Kini, produsen komik Jepang justru makin serius menggarap pasar Indonesia. Hal ini terkait dengan kondisi demografis Jepang dengan penduduk menua makin besar. Di sisi lain, Indonesia adalah pasar yang amat besar. Sekitar 120 juta penduduk negeri ini berada pada rentang usia 15-44 tahun (Badan Pusat Statistik, 2014).

Selain itu, selama lebih dari 20 tahun terakhir, pasar Indonesia sudah sangat terbiasa dengan komik Jepang. Terlebih apabila dibandingkan dengan pasar besar lain, seperti Tiongkok dan India. Chris Lie dari majalah Reon mengakui, penerbit komik di Indonesia makin merasakan alotnya persaingan dengan penerbit Jepang di pasar dalam negeri. Apalagi, penerbit dari luar difasilitasi pemerintah mereka dengan data riset pasar Indonesia.

Di tengah beratnya tantangan pasar, kapasitas kreatif komikus Indonesia terus tumbuh. Dalam kompetisi manga di Jepang, komikus Indonesia kerap memborong penghargaan. Sejumlah karya komikus Indonesia juga kian diminati pasar global. Garudayana Saga karya Is Yuniarto, misalnya, kini siap diedarkan di Jepang oleh Digital Catapult, salah satu penerbit komik besar negeri itu.

Sweta Kartika tengah menyiapkan format baru komik daring (online) Nusantara Ranger untuk diterbitkan di luar negeri. Komikus lain, Faza Meonk dan Muhammad Isa, juga mencetak prestasi serupa. Karya para komikus yang menembus pasar global ini punya satu ciri, yakni konten bernuansa budaya Indonesia.

Para komikus Indonesia sudah membuktikan ketangguhan mereka dengan terus berkarya. Meski begitu, Indonesia memiliki potensi jauh lebih besar dari itu. Pemerintah perlu menangkap semangat dan mengelola energi kreatif tersebut.

Sayangnya, mencari kata ”komik” dalam dokumen pemerintah pun sungguh tak mudah. Rencana Pengembangan Penerbitan Nasional 2015-2019 yang merupakan penyempurnaan Cetak Biru Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2015-2025, misalnya, tidak mencantumkan elaborasi spesifik soal komik Indonesia. Belum jelas pula rencana pengembangan komik Indonesia oleh Badan Ekonomi Kreatif yang kini mengelola pengembangan industri kreatif, termasuk komik, di Indonesia.

Banyak hal tak bisa dilakukan sendiri oleh komikus Indonesia. Menjadi porsi pemerintah untuk mengatur kualifikasi kemitraan bisnis bagi penerbit asing misalnya. Juga menciptakan insentif atau setidaknya ketentuan perpajakan yang lebih ramah bagi komikus Indonesia. Hal lain yang perlu, skema pembiayaan untuk karya kreatif. Tak ketinggalan juga dorongan agar penerbit komik di Indonesia tidak menjadi ”besar” daripada terjemahan komik impor semata.

Mengembangkan komik—dan ekonomi kreatif umumnya—tentu bukan semata-mata tanggung jawab pemerintah. Namun, orang-orang kreatif ini pun tak bisa dibiarkan berjuang sendiri.

(NUR HIDAYATI)


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 Oktober 2015, di halaman 24 dengan judul “Komik Indonesia – Jangan Kalah Sebelum Bertanding!”