Kolaborasi Teater Tanpa Kata, Kaya Cerita…

0
1547

Dua kelompok teater dari dua belahan dunia, Teater Boneka Papermoon dari Yogyakarta dan Retrofuturisten dari Berlin, Jerman, bersua, lalu membangun seluruh percakapan mereka menjadi lakon puitik, ”Senlima”. Lakon tanpa kata yang kaya cerita.

Enam orang berbaju abu-abu bergumul, menyikut, merangsek, dan menendang, berebut sebuah kotak putih. Semua berebut mengintip entah apa isi kotak itu. Perebutan yang membuat tak satu pun dari mereka bisa mengintip.

Lalu, satu lelaki memisahkan diri dari pergumulan itu, menghilang ke balik tirai-tirai di latar panggung, sementara yang lima tetap gaduh berebut kotak putih. Dari balik tirai ia muncul, wajahnya menyeringai, tangannya terjulur dengan sebuah kotak kecil. Perlahan, seringainya terproyeksi di suluran kain-kain tirai
di latar panggung, mengagetkan kelima orang yang berebut kotak putih.

Enam orang itu sama-sama kegirangan menemukan solusi untuk pertikaian mereka, kamera video mungil yang bisa mengintip isi kotak putih dan memproyeksikan ”adegan” di dalamnya. ”Adegan” seseorang berjalan lesu diiringi detakan jarum jam, lalu duduk di sebuah sofa.

Seekor burung ada di sebelah sofa, berkicau nyaring. Sekitar sepuluh detik kemudian, ”adegan” itu berakhir ketika seseorang di dalam kotak putih berdiri, berjalan lesu, dan menghilang dari pandangan kamera video yang dicolok di mulut kotak. ”Wow,” gumam puas keenam orang itu.

Berulang-ulang, tiap si burung berkicau lagi, seseorang dalam kotak putih itu terlihat berjalan dan duduk di sofa, sepuluh detik lalu berdiri dan menghilang. Hingga suatu kali, si burung berkicau berulang-ulang, tetapi seseorang di dalam kotak itu tak lagi terlihat kamera.

Membincang batas

Kotak putih itu seperti parodi atas pengalaman Retrofuturisten berkolaborasi dengan Teater Boneka Papermoon. Orang-orang Jerman yang datang, mengintip bengkel kerja Papermoon di Yogyakarta dan girang menemukan sebuah ”jagat kecil” dari belahan bumi yang berbeda. Bisa pula sebaliknya, para awak Papermoon girang menonton ”jagat kecil” proses kreatif Retrofuturisten.

Ketika keenam pemeran dan pemain boneka itu (Franziska Dittrich, Magdalena Roth, Jana Weichelt, Caspar Bankert, Pambo Prioyati, dan Felix Schiller) membongkar ”dunia kecil” kotak putih, sebuah bayangan terbang pergi. Sebuah gulungan kertas penuh coretan terjulur panjang, seperti mengalir tumpah dari kotak putih. Panik, keenam pelakon itu buru-buru mencari kotak putih lain, menampung tumpahan ”teks” di kotak baru.

Berangkat dari percakapan para awak Papermoon dan Retrofuturisten tentang ”batas” dan ”perbatasan”, lakon ”Senlima” puitik membangun imajinasi penonton tentang ”dunia yang satu” dan ”dunia yang satu lagi”. Seperti lakon-lakon lain Papermoon, ”Senlima” yang dipentaskan di Teater Salihara Jakarta pada Minggu (4/10) bercerita tanpa kata-kata.

Dari kotak ”jagad kecil” putih itu, cerita dibawa ”terbang” sangkar burung yang digelayuti sebuah boneka lelaki. Sangkar burung mendaratkan si boneka lelaki di antah berantah. Adegan indah dimunculkan para pelakon dan pemain boneka ketika si boneka lelaki yang tidur memeluki sangkar burung dihampiri sesosok boneka perempuan. Para dalang sungguh piawai menghidupkan keharuan saat sang boneka perempuan menyelimuti si lelaki pemeluk sangkar.

”Dunia yang satu” dan ”dunia yang satu lagi” ditubuhkan oleh boneka lelaki dan boneka perempuan yang bersua. Keduanya saling menaut dengan berbagi sejarah kecil, seperti dua kekasih yang lama tak bersua. Sang perempuan berbagi halaman-halaman buku hariannya, adegan tanpa kata yang menjadi hidup karena proyeksi halaman-halaman buku harian di kain-kain tirai latar panggung. Begitu juga ketika sang lelaki berbagi ”dunianya”.

”Senlima” yang hadir dalam rangkaian Bienale Sastra Salihara bertajuk ”Sastra dan Rasa” itu lahir dari serangkaian perbincangan para awak Papermoon dan Retrofuturisten bertukar pandangan politik, sosial, dan pengalaman para awaknya. Tidak hanya menghadirkan ulah polah boneka- boneka yang hidup, tetapi juga kelihaian dua pembuat bonekanya— Iwan Effendi dan Magdalena Roth— menyulap berbagai benda sehari-hari menjadi ”pelakon” adegan teater boneka yang cemerlang. Kantong-kantong plastik berkepala senter yang membangkitkan khayalan akan kehidupan ”yang lain” dari ruang dan waktu yang berbeda.

Video olahan Felix Schiller menjadi penutur visual yang bercerita tanpa mencuri panggung. Dua sutradara ”Senlima”, Maria Tri Sulistyani dan Roscha A Säidow, memang piawai menata berlapis-lapis ”perbatasan” bertaut ”batas”, membangkitkan imajinasi penonton tentang ”yang lain” bersua ”yang lain lagi”, lalu sirna….


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 Oktober 2015, di halaman 26 dengan judul “Kolaborasi Teater Tanpa Kata, Kaya Cerita…”