Adu Gengsi dengan ”Ngedan” dan ”Nyeni”

0
2151

Orang gunung, ”wong ndeso” yang katanya paling udik, berlomba ”ngedan” dan ”nyeni” dalam Festival Lima Gunung beberapa waktu lalu. Segala hal dicomot, dioplos dengan riang dan semaunya sendiri. Seni pun dibumikan.

Mbah Mujar Sabar dan Suroso luwes mengangguk-anggukkan jaran kepang (anyaman bambu berbentuk kuda yang biasa dibawa penari tarian khas Jawa, jaran kepang) mereka. Kedua kakek itu memimpin tarian ”Jaran Papat”, memacu jaran kepangnya mengawali Festival Lima Gunung XIV yang digelar di Dusun Mantran.

Sejak 14 tahun silam, Festival Lima Gunung berkeliling dusun-dusun yang berada di kaki lima gunung di Kabupaten Magelang—Gunung Merapi, Merbabu, Sumbing, Andong, dan Menoreh. Sebagai tuan rumah festival XIV, para warga Dusun Mantran membuka festival itu dengan ”Jaran Papat”, tarian sakral warisan leluhur dusun asri di kaki Gunung Andong itu.

Mbah Mujar Sabar, Soroso, serta Sudiman dan Naryo yang menjadi jaran kepang bertombak sungguh seperti kebanyakan penari jaran kepang—tradisi yang hidup di kalangan warga pedesaan di Jawa. Keempatnya sama-sama berpakaian tradisional Jawa, menari diiringi gending gamelan Jawa, bersuluk (ungkapan pembuka tarian) dalam bahasa Jawa. Tariannya lamban, dengan gerakan berulang, diiringi tabuhan gamelan yang juga lamban. ”Zadul” alias zaman dulu sekali. Anehnya, warga tetap saja menyemut di panggung dadakan di Mantran.

Penonton bersorak melihat Mbah Mujar Sabar dan Suroso berlarian dengan jaran kepang mereka. Tiap kali Mujar Sabar dan Suroso saling songsong dan mengadu pedang, penonton tempik-sorak kian riuh. Lalu tibalah saatnya Mbah Mujar kesurupan, jaran kepangnya meliar. Penonton girang, sementara pedang di tangan Mujar tak lagi menari, tapi menebas-nebas dan memburu leher Suroso.

Menyambut Para Tamu-Warga menyambut Yenny Wahid dengan ramah saat hadir pada Festival Lima Gunung XIV di Dusun Mantran Wetan, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (16/8). Kehadiran para tamu dari luar dusun itu mereka terima dengan rasa persaudaraan. Mereka juga menyiapkan makanan dan minuman di sejumlah rumah. Kompas/P Raditya Mahendra Yasa
Menyambut Para Tamu-Warga menyambut Yenny Wahid dengan ramah saat hadir pada Festival Lima Gunung XIV di Dusun Mantran Wetan, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (16/8). Kehadiran para tamu dari luar dusun itu mereka terima dengan rasa persaudaraan. Mereka juga menyiapkan makanan dan minuman di sejumlah rumah.
Kompas/P Raditya Mahendra Yasa

Jaran kepang Suroso berlari menjauh seperti ketakutan, sementara penonton girang. Belasan lelaki dewasa naik panggung, memiting Mbah Mujar Sabar yang 75 tahun itu, merebut pedang berkaratnya. Lima menitan kemudian, setelah Sudiman dan Naryo berduel tombak, giliran Naryo kesurupan. Penonton kian riuh bersorak melihat Naryo galak menyeret-nyeret belasan lelaki yang meringkusnya.

Adu gengsi

Jangan salah, ritual tarian sakral ”Jaran Papat” bukan format suguhan Festival Lima Gunung. Setelah Mbah Mujar Sabar dan Naryo dengan dramatis diturunpanggungkan belasan pemuda kekar, barulah ”inti” Festival Lima Gunung XIV dimulai. Orang- orang gunung yang sehari-harinya petani, pedagang sayur, guru, pamong desa, tukang rumput, bocah sekolah, juga pemuka agama tiba-tiba ngedan dan nyeni demi merayakan festival.

Muda-mudi Dusun Mantran membuka festival dengan tarian ”Topeng Ireng”, yang trengginas mengibas- ibaskan bulu-bulu ayam di mahkota serupa mahkota suku Indian itu. Para penari bertopeng gesit dan cepat mengentakkan kaki dan tubuh, membunyikan klinthingan (lonceng kecil) yang memenuhi pelapis betis dan kostum mereka. Iringannya, paduan gamelan dengan senar drum, gitar listrik ”bercengkok” dangdut, dan nyanyian petuah.

Festival Lima Gunung-Kelompok kesenian dari berbagai desa menampilkan tarian khas mereka masing-masing saat memeriahkan Festival Lima Gunung XIV di Dusun Mantran Wetan, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Sabtu (15/8). Festival ini merupakan pesta budaya para petani menampilkan kesenian dari ciptaan mereka atau secara turun temurun dilestarikan. Kompas/P Raditya Mahendra Yasa
Festival Lima Gunung-Kelompok kesenian dari berbagai desa menampilkan tarian khas mereka masing-masing saat memeriahkan Festival Lima Gunung XIV di Dusun Mantran Wetan, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Sabtu (15/8). Festival ini merupakan pesta budaya para petani menampilkan kesenian dari ciptaan mereka atau secara turun temurun dilestarikan.
Kompas/P Raditya Mahendra Yasa

Penonton terbahak-bahak oleh polah jenaka para penarinya yang megal-megol, kostum penuh bulu yang meliuk-liuk lucu. Supadi, ketua panitia Festival Lima Gunung XIV yang juga warga Dusun Mantra, semringah melihat kekompakan anak-anak muda Mantran bergoyang.

”Kalau tarian ’Jaran Papat’, itu tradisi sakral. Kalau tarian ’Topeng Ireng’, ya kreasi baru, oplosan bermacam-macam, khusus untuk Festival Lima Gunung,” kata Supadi tertawa.

Dari tahun ke tahun, Festival Lima Gunung memang jadi ajang adu gengsi dari dusun-dusun di kaki lima gunung. Sepanjang 15-17 Agustus lalu, sedikitnya sepuluh dusun di kaki-kaki Gunung Merapi, Merbabu, Sumbing, Andong, dan Menoreh saling mengadu suguhan tari dan tetabuhan. Bukan cuma mengadu gengsi di antara sesama ”dusun nggunung”, mereka juga ingin unjuk gigi mengimbangi penampilan 20 lebih pertunjukan seniman profesional yang turut memeriahkan Festival Lima Gunung XIV.

Jarak Magelang dan Ponorogo lebih dari 181 kilometer, tetapi 14 bocah Dusun Gondhangan di kaki Gunung Andong tak canggung menarikan Warok Bocah. Iringannya, keyboard dan gamelan yang lincah menggoyang para bocah.

Lebih ngedan lagi 50 penari kuda lumping warga Kecamatan Grabag di kaki Gunung Andong. Turidi yang asli Karasan ternyata lincah menarikan leak Bali dan menyongsong amukan kuda lumping dari Desa Karasan. Suliyo, petani yang juga Kepala Dusun Tawang, Grabag, piawai memainkan barong Bali, beradu cekatan dengan kuda lumping.

”Asal-usul leak dan barong menari bersama kuda lumping ya cuma ikut-ikutan,” kata Suliyo terkekeh. ”Ini cerita tentang Prabu Kelanaswandana yang jatuh cinta kepada Nyi Sangga Langit dari Bali. Cerita persisnya saya juga tidak tahu. Kami kan cuma ikut-ikutan tarian leak dan barong kreasi Dusun Sawit, tetangga dusun kami. Ya kami ikut-ikutan,” ujar Suliyo.

Pengiring tarian kuda lumping, leak, dan barong pun dipilih yang enak di hati para penari. Alhasil, gamelan, keyboard, ketipung, dan bas elektrik pun dipadu. ”Warga Grabag juga punya warok, kami juga biasa mementaskan sendratari Singosari, ya tentang Ken Arok. Apa saja, asal menarik, ya kami pentaskan. Tanggapan satu malam pun jadi,” kata Suliyo tertawa.

Adu ”nyeni”

Hibridasi model begini muncul dalam belasan pertunjukan yang disuguhkan wong nggunung. Penari obros dari Desa Petungan di kaki Gunung Sumbing berjoget dengan jenggot palsu sedada, baju gamis sebetis, berkalung tasbih raksasa, dipadu sarung tangan putih dan kacamata hitam. Tanpa beban, panggung Festival Lima Gunung memunculkan segala macam tarian dan tetabuhan.

Buat warga di kaki lima gunung, justru sudah tak musim lagi beradu gengsi dengan mobil atau rumah mewah, antena parabola, atau televisi LCD. Mereka memilih beradu nyeni, sambung-bersambung setiap tahun. Bahkan, dusun-dusun di kaki lima gunung saling intip, mencuri rencana dusun tetangga di Festival Lima Gunung berikutnya.

”Kadang menggemaskan, tetapi juga menggairahkan. Tiap tahun, dusun saya harus punya kreasi tarian baru karena kreasi tahun sebelumnya pasti jadi pasaran dan dicontek. Dusun lain juga selalu membikin tarian baru yang semakin kolosal dan megah. Tarian baru ya berarti kostum baru, alat musik baru. Ada dusun yang nekat beli barong, leak, bahkan gamelan Bali puluhan juta rupiah, demi berunjuk seni. Bagaimana ya, namanya kebahagiaan kan tak ada harganya,” kata Supadi

Membumikan seni

Ketika hari terakhir Festival Lima Gunung XIV diboyong dari Dusun Mantran menuju Dusun Tutup
Ngisor di kaki Gunung Merapi, kegembiraan ngedan dan nyeni dihadirkan para ibu Dusun Tutup Ngisor yang menarikan jalantur di pendapa Desa Sumber. Perempuan Tutup Ngisor dan Dusun Gumuk tak cuma piawai bertani atau mengurus dapur, tetapi juga jago njathil menarikan kuda lumping, yang lagi-lagi berbeda dari tarian kuda lumping dusun lainnya, dan lagi-lagi mengoplos pernak-pernik tradisi dan aksen-aksen budaya pop.

Ngedan dan nyeni yang tanpa beban itu selalu memukau banyak orang, termasuk Sukamso, dosen Jurusan Karawitan, Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Surakarta.

”Orang-orang di kaki kelima gunung seperti tak pernah kehabisan daya untuk nguri-uri dan melestarikan kesenian tradisinya,” tutur Sukamso memuji.

Menyambut Para Tamu-Warga membuat masakan istimewa khas desa untuk menyambut para tamu saat Festival Lima Gunung XIV di Dusun Mantran Wetan, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (16/8). Kehadiran para tamu dari luar dusun itu mereka terima dengan rasa persaudaraan. Kompas/P Raditya Mahendra Yasa
Menyambut Para Tamu-Warga membuat masakan istimewa khas desa untuk menyambut para tamu saat Festival Lima Gunung XIV di Dusun Mantran Wetan, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (16/8). Kehadiran para tamu dari luar dusun itu mereka terima dengan rasa persaudaraan.
Kompas/P Raditya Mahendra Yasa

Sitras Anjilin, pandega Komunitas Lima Gunung di Dusun Tutup Ngisor, seperti jengah mendengar pujian Sukamso. ”Kami itu semangatnya bukan nguri-urilho. Kami itu semangatnya merusak tradisi, yang sudah ada dirusak-rusak,” kata Sitras tersenyum. Sukamso tertawa.

Sekilas, para warga kelima gunung memang sekadar ”tukang rusak” tradisi, seperti kebersahajaan Sitras membilang polah para warga dan Komunitas Lima Gunung. Dengan mengobrak-abrik tradisi, seni tetap membumi. Di kaki kelima gunung, seni hadir sebagai ekspresi kebahagiaan mereka yang bukan seniman—mereka yang sejatinya petani, juragan sayur, guru, pamong desa, atau pemuka
agama.

(Aryo Wisanggeni)


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 04 September 2015, di halaman 24 dengan judul “Adu Gengsi dengan  ”Ngedan” dan ”Nyeni” “