Tjoet Nyak Dien tak pernah mati. Kini ia mewujud dalam sosok Sha Ine Febriyanti. Api perlawanan menghadapi para ”kaphe”, yang menjajah tanah Aceh terus menyala di panggung pentas monolog, Rabu (30/9) di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Ini bukan pentas biasa. Ine bermonolog di tengah-tengah ratusan anggota pramuka yang sedang mengadakan malam refleksi Pancasila dan Kita, yang dipelopori Ketua Kwarnas Adhyaksa Dault. Di panggung yang terasa ”heroik” itu juga tampil aktor Sari Madjid, Tubagus Arie Rukmantara, dan Olivia Zalianty yang membacakan puisi. Ine tanpa merasa terganggu berhasil mengatasi ”keriuhan” panggung oleh seremoni, yang tidak berhubungan langsung dengan teater. Ia cuma berujar, ”Teater harus menyelip di mana saja,” katanya.
Ine merasa api perjuangan Tjoet Nyak Dhien harus tetap menyala, di mana pun, bahkan di panggung yang tidak khusus disiapkan untuk satu pementasan. Monolog ini bahkan sudah dimainkan Ine di beberapa kota di Jawa dengan kondisi panggung seadanya. ”Ada misi yang harus sampai. Kepahlawanan itu tak harus soal perang, tetapi bagaimana seorang perempuan menjalani perannya secara lengkap. Tjoet Nyak Dhien adalah ibu, istri, dan panglima perang,” kata Ine.
Ine, yang menulis naskah dibantu oleh sastrawan Agus Noor, menyutradarai pertunjukannya sendiri. Ia memadukan antara narasi monolog, yang dalam naskah amat sederhana, dengan teknologi multimedia, dengung celo, serta sesekali lengking tembang tradisi Aceh. Perpaduan unsur-unsur ini membuat pertunjukan memiliki kedekatan konteks dengan kultur dan gaya hidup masa kini. Ia seolah menjadi bagian, di mana kita semua bisa ulang alik tanpa beban, untuk kemudian diberi nilai oleh pesan lakon ini.
Pembuangan
Kisah bermula ketika Tjoet Nyak Dhien menjalani masa pembuangan sekitar awal tahun 1900-an. Aktivitasnya melawan kaphe-kaphe (penjajah) dikhianati oleh Pang Lot, bangsa Aceh sendiri. Begitu juga dua suaminya, Teuku Ibrahim dan Teuku Umar, ditangkap Belanda oleh pengkhianatan.
Tjoet Nyak Dhien diasingkan ke Sumedang, dijauhkan dari Nangroe, tempat ia lahir. Ia mengerti pengasingan itu dilakukan Belanda untuk memadamkan sisa-sisa perlawanan bangsa Aceh, yang kemudian dipimpin Tjoet Gambang, anak dari Tjoet Nyak Dhien. Dari pengasingan inilah lakon bergerak mengisahkan kepahlawanan nenek moyang, kelahiran, pernikahan, dan perlawanan terhadap kaphe-kaphe yang menjajah tanah Aceh. Perang Aceh berkobar bertahun-tahun sampai wafatnya Tjoet Nyak Dhien tahun 1908.
Naskah tujuh bagian itu dimainkan Sha Ine Febriyanti dengan kedalaman penghayatan yang menawan. Ia merasa perlu melakukan riset untuk mencari dialek perempuan Aceh serta idiom-idiom khas perempuan pada masa perang dahulu. ”Aku bertemu, wawancara dengan budayawan Aceh, lalu napak tilas ke makam Tjoet Nyak Dhien di Sumedang,” kata Ine.
Itulah kemudian yang menjadi nyawa dari narasi naskah yang sederhana. Ine memberinya sentuhan pelisanan dan permainan mimik serta gerak tubuh yang meyakinkan kita bahwa Tjoet Nyak Dhien, perempuan yang tampak lembut tapi berhati baja itu, benar-benar menjelma di hadapan kita. Forum para pramuka, yang barangkali jarang menyaksikan pertunjukan teater, seperti tercekam. Tak ada celetukan, apalagi keriuhan. Semua terhanyut oleh kisahan Sha Ine Febriyanti tentang perempuan yang menginspirasi perjuangan bangsa ini.
Masalahnya, kata Ine, ia merasa perlu mengingatkan, bangsa ini selalu jatuh oleh pengkhianatan. Kobaran api perjuangan melawan penindasan sejak masa lalu sampai kini, selalu padam di tengah jalan oleh laku pengkhianatan. Pahlawan sebesar Teuku Ibrahim, Teuku Umar, Tjoet Nyak Dhien, bahkan Diponegoro, tambah Ine, selalu akhirnya kalah karena pengkhianatan.
Pada masa sekarang, bentuk-bentuk pengkhianatan, terutama terhadap perempuan, masih terus berlangsung. Berbagai kasus poligami, kekerasan terhadap perempuan, penelantaran, serta pelecehan bisa dengan mudah kita temukan dalam kehidupan kita sehari-hari. ”Kisah hidup Tjoet Nyak Dhien masih terus relevan untuk menjadi teladan kita semua,” kata Ine.
Ine berencana ”memulangkan” Tjoet Nyak Dhien ke tanah asalnya di Aceh. ”Aku belum pernah menginjak tanah Aceh, karena ini aku bertekad membawakan monolog ini di hadapan orang Aceh,” ujar Ine.
”Pemulangan” Tjoet Nyak Dhien ke tanah Aceh menjadi penting karena peristiwa itu yang akan memberinya konteks lebih dalam. Kerinduan terhadap tanah kelahiran dan kesadaran tentang pengasingan yang memberinya rasa sepi, akan memberi kesempatan kepada Tjoet Nyak Dhien hidup dan tumbuh kembali dari tanah, tempat ia lahir, hidup berumah tangga, berjuang, dan melayani bangsanya.
(Putu Fajar Arcana)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 04 Oktober 2015, di halaman 26 dengan judul “Teater Tjoet Nyak Dhien, tak Pernah Mati”