Diperlakukan berbeda, ditolak, atau merasakan diskriminasi tentulah tidak menyenangkan. Sayangnya, perlakuan ini masih ada di sejumlah perguruan tinggi yang seharusnya menjadi kumpulan pelaku akademis yang berwawasan luas dan sadar dengan hak-hak mereka yang berbeda.
Fakta itu terungkap dari hasil jajak pendapat Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kompas, beberapa waktu lalu. Di luar dari jajak pendapat, sebagian mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang mengirimkan pendapatnya ke rubrik Kompas MuDA mengakui ada perlakuan yang tidak pada tempatnya itu.
Yang menarik, di antara korban diskriminasi ataupun mereka yang ingin relasi antarmahasiswa atau antarmahasiswa dengan dosen dan staf di kampus punya cara untuk mencari solusi. Untuk menghentikan diskriminasi, para korban memilih menaikkan kapasitas dengan cara menampilkan kemampuan di acara kampus. Sementara mahasiswa yang ingin mencegah diskriminasi mengajak kawan-kawannya saling mengenal dan menghargai.
Prasangka negatif
Diskriminasi adalah perilaku menolak seseorang semata-mata karena dia anggota atau bukan anggota kelompok tertentu. Perlakuan berbeda umumnya lebih didorong prasangka yang biasanya negatif.
Daft (1999) mengarahkan hubungan diskriminasi dan prasangka lebih spesifik. Menurut dia, diskriminasi terkait dengan kecenderungan menilai secara negatif orang lain yang memiliki perbedaan dalam berbagai hal, misalnya seksualitas, ras, etnik, atau kekurangan kemampuan fisik.
Perbedaan perlakuan hanya atas dasar prasangka nyatanya masih terus berlangsung hingga saat ini, bahkan di kampus-kampus di negeri ini. Hasil jajak pendapat lewat telepon oleh Litbang Kompas terhadap 697 mahasiswa dan mahasiswi di enam kota besar di Indonesia menguatkan kesimpulan ini.
Soal penampilan
Diskriminasi yang terjadi di tempat kaum terpelajar berkumpul ini terutama terjadi antara yang berpenampilan menarik dan kelompok berpenampilan biasa-biasa saja. Sebagian besar peserta jajak pendapat (56,8 persen) menyebutkan pernah melihat ataupun merasakan perbedaan akibat pakaian dan aksesori yang dikenakan. Hal yang menarik, diskriminasi antara yang berpenampilan menarik dan yang biasa-biasa saja lebih terasa di kalangan mahasiswi dibandingkan mahasiswa.
Setelah urusan penampilan, sebanyak 44,6 persen peserta jajak pendapat juga merasakan pembedaan antara kelompok mahasiswa pandai dan kelompok yang kurang menonjol dalam prestasi akademik. Perbedaan perlakuan ini menyebabkan munculnya kecemburuan dari kelompok mahasiswa dan mahasiswi yang dianggap kurang berprestasi secara akademik.
Selain itu, dua dari lima responden mengaku pernah melihat ataupun merasakan pembedaan kelas sosial ekonomi. Perlakuan yang tak sama kepada kelompok yang dianggap berada secara ekonomi dan yang kurang berada muncul di lingkungan kampus. Para mahasiswa dan mahasiswi dengan uang saku paling banyak Rp 1 juta per bulan paling merasakan perbedaan ini.
Meski demikian, diskriminasi yang terkait hal lain, misalnya jenis kelamin, agama, dan kondisi fisik tubuh, relatif minim. Mahasiswa dan mahasiswi yang mengaku menjadi korban diskriminasi di lingkungan kampus pun sedikit, 16,4 persen responden.
Kabar baik ini diharapkan bisa menjadi pereda perlakuan diskriminatif karena beda penampilan, kepandaian, dan kelas ekonomi yang masih lekat terasa. Sivitas akademika harusnya bisa memupus diskriminasi di kampus mereka dan selanjutnya menjadi contoh bagi khalayak luas demi Indonesia majemuk.
ARGUMENTASI
Butuh Kesadaran Diri
Tindakan diskriminasi bukan hal yang mudah untuk benar-benar dihapus dalam kehidupan sosial. Butuh kesadaran setiap individu. Saya belum pernah mengalami diskriminasi di kampus, tetapi sangat disayangkan terjadi diskriminasi di kampus. Itu karena sebagai mahasiswa kita harus sudah mengerti tentang perlunya saling menghargai satu sama lain. Kekurangan dan kelebihan manusia seharusnya tak menjadi pembeda karena setiap individu punya hak sama di kampus. Kita bisa saja tanpa sengaja mungkin menjadikan kawan-kawan yang memiliki ”keunikan” sebagai bahan lelucon tanpa memikirkan perasaan mereka. Pastilah tidak nyaman menjadi pihak yang terdiskriminasi. Akan sangat nyaman jika kampus tempat kita menuntut ilmu bebas diskriminasi.
Perpustakaan Eksklusif
Universitas dibangun untuk menjadikan mahasiswanya pintar. Untuk keperluan itu, pihak kampus gencar melakukan pembangunan fisik dan nonfisik demi menunjang pembelajaran, tetapi banyak pembangunan fisik masih mengutamakan kepentingan kaum mayoritas, tak memperhatikan kelompok minoritas tertentu.
Pembangunan perpustakaan di UNS, misalnya. Pengelola perpustakaan yang berisi buku, jurnal ilmiah, dan bahan lain tersebut semestinya menyediakan sarana dan kemudahan bagi semua mahasiswa, baik yang berfisik normal maupun berkebutuhan khusus (difabel). Sayang sekali, hal itu belum dilakukan. Banyak mahasiswa difabel belum bisa menikmati fasilitas perpustakaan kampus karena letaknya yang di lantai-lantai atas sulit diakses mahasiswa pengguna kursi roda. Di sana juga belum tersedia buku-buku berhuruf braille bagi mahasiswa penyandang tunanetra. Semoga di perpustakaan baru yang sedang dibangun, kampus mengakomodasi kepentingan mahasiswa difabel.
Penampilan Fisik
Saya mahasiswi baru. Saat orientasi kampus, saya merasakan sendiri yang disebut dengan diskriminasi karena penampilan fisik. Mereka yang berwajah cantik, berkulit putih, dan berambut panjang lebih bisa mendapat tempat dan kesempatan daripada mereka yang berwajah biasa. Mahasiswi berpenampilan menarik lebih mudah lolos dari kegiatan ospek tanpa menghadapi rintangan berarti. Sementara kami yang berwajah biasa harus berlari ke sana kemari mencari senior untuk mendapat info kegiatan.
Yang bisa saya lakukan adalah berbicara dengan sopan, jelas, dan tegas ketika bercakap-cakap dengan kakak senior, menunjukkan bakat saya ketika berlatih bernyanyi dalam paduan suara untuk malam inaugurasi, menunjukkan jiwa kepemimpinan ketika berdiskusi dengan sesama mahasiswa baru. Cara-cara itu banyak membantu. Senior yang semula tak acuh perlahan mulai memperhitungkan keberadaan saya.
Pemicu Berkembang
Diskriminasi muncul akibat perbedaan fisik, suku, kasta, agama, kemampuan, dan hal lain yang ada karena berkumpulnya berbagai jenis manusia dalam satu lingkungan yang dinamakan kampus. Aku tak pernah mengalami diskriminasi dari teman-teman. Namun, rasa itu justru datang dari diriku sendiri karena aku memandang diri lebih rendah daripada orang lain, terutama jika itu menyangkut kasta keluarga. Aku anak dari keluarga yang hidup pas-pasan di desa yang membuatku minder, lebih-lebih jika berkumpul dengan anak-anak orang kaya. Tetapi, di tengah ”kejahatan” diriku sendiri, aku menganggap diskriminasi ini sebagai alat pacu untuk berkembang. Aku ingat kata pamanku, cukup jadilah yang terbaik, cukup bersikap baik kepada semua orang, ikut kegiatan kampus yang membuatku berkembang dan berprestasi di kelas. Dari tiga hal itu, aku sudah dibanjiri orang yang ingin berteman tanpa peduli kasta, fisik, dan hal lain.
Menjadi Diri Sendiri
Sejak bersekolah di SMP hingga kuliah, saya menemukan ”kelompok eksklusif” yang kehadirannya mampu mendiskriminasi orang lain. Ciri ”kelompok eksklusif” tersebut adalah gaya hidupnya cenderung mewah. Mereka membentuk kelompok yang sulit ditembus orang yang berbeda dengan mereka.
Pengaruh kelompok itu sangat besar. Bisa dipastikan ketika ada ”orang baru” yang berusaha masuk lingkaran tersebut, ia akan tersisih dan diperlakukan secara buruk, minimal tidak dianggap kehadirannya. Hal tersebut membawa implikasi kurang baik kepada orang di sekitarnya, tetapi kehadiran mereka tak dapat dihindari. Menurut saya, kita perlu sadar, tiap manusia punya hal unik. Kita tidak bisa menilai ”baik” atau ”buruk” berdasarkan perbedaan kita dengan orang lain. Apalagi sampai memilih membuat barikade pergaulan. Alangkah bijaksana jika kita tidak mendiskriminasi orang lain hanya karena mereka berbeda dengan kita. Yang terpenting, mari menjadi diri sendiri, jangan mengubah jati diri hanya demi pergaulan.
(Soelastri SoekirnoI/Kendar Umi Kulsum/Litbang Kompas)
Versi cetak artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 2 Oktober 2015, di halaman 34
Comments are closed.