Jazz Banyuwangi, dari Perkebunan Kopi Turun ke Pantai

0
1396

Musik jazz kini merambah pelosok desa. Di Banyuwangi, Jawa Timur, jazz mengalun mulai dari perkebunan Ijen, turun ke pantai, merangkul petambang Ijen, hingga ibu-ibu sebagai penonton.

Maryanto (45) manggutmanggut saat penyanyi Andre Hehanusa ber-scat singing menyanyikan lagu ”Bidadari” bernuansa jazz, Agustus lalu. Maryanto, warga asli Desa Taman Sari, Kecamatan Licin, Banyuwangi, duduk paling depan dengan kaki selonjoran bersama cucu laki-lakinya. Saat irama musik jazz berdetak, kedua telapak kakinya ikut bergoyang.

Malam itu, di kebun tak jauh dari pedesaan di kaki Ijen, Andre menyanyikan lagu jazz untuk warga Ijen seperti Maryanto. Walau Maryanto tak mengenal lagu ”Karena Ku Tahu Engkau Begitu”, ”Kuta Bali”, apalagi lagu terbaru Andre, ”All About Love”, ia tampak senang menonton acara itu.

”Kapan maneh, isun nonton ngenean (kapan lagi saya bisa menonton seperti ini),” kata Maryanto yang sehari-hari naik-turun bukit membawa belerang dari Ijen.

Saat ditawari Andre untuk meminta lagu, Maryanto menyeletuk, ”Lagu Usingan (lagu tradisional using),” teriaknya.

Pentas Jazz Ijen digelar di dekat perkebunan kopi di kaki Gunung Ijen. Panggung dengan tata lampu warna warni mengubah kebun yang kosong menjadi panggung unik dengan latar belakang gunung dan pohon kopi yang sedang berbunga. Lampion dari anyaman bambu dirangkai menerangi perbukitan itu. Tempat duduk dibuat lesehan dengan jerami sebagai alasnya. Di sekitar panggung, minuman tradisional, kopi, dan aneka gorengan dijajakan. Pergelaran jazz gratis juga menjadikan warga kampung sekitar bisa menonton ramai-ramai bersanding dengan eksekutif muda hingga pengusaha. Suasana kebun pun berubah jadi meriah dan hangat

Di pentas itu, lagu pop sendu ikut memberi warna. Saat Kerispatih mulai memainkan lagu ”Bila Rasaku Ini Rasamu”, suhu dingin Ijen pun berubah jadi hangat karena gelora emosi penonton muda yang menyanyikan lagu itu bersama.

Jazz tak hanya menyemarakkan kebun, tetapi juga melebur di tepi pantai Selat bali. Di Pantai Boom, Banyuwangi, Sabtu (12/9), jazz bersanding dengan 100 rebana dan penari gandrung. Shalawat Badar, yang biasanya dipentaskan di acara pengajian, naik ke panggung jazz.

Malam itu pula, Shiena Marciana mengambil hati penonton Banyuwangi dengan lagu ”Rehana”, lagu asli Banyuwangi. Lagu lokal yang sarat dengan irama kendang dan kempul itu diaransemen ulang dengan iringan saksofon.

”Rehana oh Rehana lare kok ayu temenan, kulite kuning ya kuning langsat, alise nanggal sepisan”. Penonton pun ikut berdendang.

Ketua Penyelenggara Banyuwangi Beach Jazz Festival, Husin Al Badar ingin acara ini punya sentuhan etnis. Karena itu, selalu ada tampilan tradisi lokal dalam setiap pentas jazz di Banyuwangi. Tahun lalu, para gandrung diajak naik ke panggung menyanyikan lagu daerah dalam irama jazz. Kali ini gandrung dipadukan dengan tradisi Islam, hadrah kuntulan, dalam pergelaran musiknya.

Penonton histeris saat Marcell Siahaan tampil dengan lagu romantisnya, ”Firasat”. Diva Indonesia, Vina Panduwinata, memilih mencopot sepatu hak tingginya demi bisa berjalan di pasir pantai mendekati penonton.

Malam itu, di tepi pantai, Vina, yang mengisi puncak acara Banyuwangi Beach Jazz Festival, membawa penonton kembali ke era 80-an. Lagu ”Di Dadaku Ada Kamu”, ”Surat Cintaku”, dan ”September Ceria, mengalun ceria di tengah deburan ombak.

Meluap

Jazz menjadi tontonan anyar di kota kecil seperti Banyuwangi. Selama tiga tahun digelar, Banyuwangi Beach Jazz Festival selalu kebanjiran penonton. Penonton rela merogoh kocek Rp 500.000 hingga Rp 2 juta untuk bisa menyaksikan aksi panggung Vina Panduwinata, Marcell Siahaan, Citra Skolastika, Once, dan Shena Malsiana.

Suprapti (45), ibu rumah tangga di Banyuwangi, misalnya, rela membeli tiket mahal untuk sesekali bisa menonton jazz. Toh tontonan Jazz di pantai hanya ada setahun sekali. Saat berbayar pun ramai penonton, maka jazz gratisan seperti di Ijen tak bisa menampung seluruh penonton karena banyaknya yang datang menyaksikan acara itu.

Penonton yang datang dengan kendaraan roda empat, misalnya, harus berjalan kaki 2 km ke perbukitan tempat panggung digelar karena jalur tak bisa dilewati saking padatnya. Artis pendukung harus rela diantar ojek atau berjalan kaki untuk menembusnya.

Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas mengatakan, pihaknya menggagas pentas Jazz di kebun dan pantai agar kawasan itu kian dikenal wisatawan. ”Jazz gunung sudah biasa, kini kami tawarkan jazz kebun di kaki Ijen dan pantai,” katanya.

Dari pentas jazz di kebun, petambang ijen dan warga sekitar tak hanya bisa menonton, tetapi juga menerima donasi Rp 350 juta untuk biaya kesehatan dan beasiswa bagi anak-anak mereka dari penonton yang menyumbang. Langsung dari pentas, Anas memimpin aksi penggalangan dana itu. Jazz pantai pun menyumbangkan Rp 350 juta untuk masuk ke kas APBD Banyuwangi. Di kebun dan dipantai, irama musik jazz terus berdetak menyatukan hati.


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 September 2015, di halaman 10 dengan judul “Jazz Banyuwangi, dari Perkebunan Kopi Turun ke Pantai”